"Izinkan aku menikah dengan Zian Demi anak ini." Talita mengusap perutnya yang masih rata, yang tersembunyi di balik baju ketat. "Ini yang aku maksud kerja sama itu. Yumna."
"Jadi ini ceritanya, pelakor sedang minta izin pada istri sah untuk mengambil suaminya," sarkas Yumna dengan nada pedas. Jangan lupakan tatapan tajamnya, yang sudah tak bisa diumpamakan dengan benda yang paling tajam sekali pun. "Sekalipun kau benar hamil anak Zian, PD amat akan mendapatkan izinku."
"Karena aku tau, kau tak akan membahayakan posisi Zian di perusahaan." Talita menampakkan senyum penuh percaya diri.
"Jika aku bicara, bahwa kau dan Zian sebenarnya adalah suami istri. Habis kalian." Talita memberikan ancaman yang sepertinya tak main-main.
Yumna tersenyum sinis.
"Jadi, aku sedang diancam?"
"Oh tidak. Aku justru sedang memberikan penawaran yang seimbang." Talita menampilkan senyum menang,
Dan itu terlihat sangat menyebalkan.
Yumna menatap dalam. Tampak sedang mempertimbangkan suatu hal.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon najwa aini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 07
Setidaknya, saya sudah nepatin janji untuk tidak mencintai wanita lain, selain dirimu, Azaira Mahrin.
Sebelumnya, setiap untaian kalimat itu tak pernah mencuri perhatian, apalagi menggetarkan perasaan. Bahkan, untuk sekedar diperhatikan dengan seksama pun, tidak. Tapi, beda dengan kali ini, Azaira Mahrin masih membaca ulang chat yang dikirim di aplikasi hijau itu berkali-kali, dan perhatiannya juga enggan beralih.
Yumna yang melihat Aira begitu terpaku menatap layar ponselnya, sengaja terbatuk pelan.
"Eh Yumna, sudah datang?"
Ternyata Aira memang tidak menyadari keberadaannya.
"Udah sepuluh menit lalu, kali."
"Iya kah? Aku kok gak tau."
"Itu lagi mantengin ponsel." Yumna menunjuk dengan dagu.
Aira tersenyum menatap layar ponselnya.
"Apa ada gambar Deng Wei di sana? Aktor Dracin kesukaanmu itu."
Aira tergelak sambil menggeleng.
"Aku lagi baca chat."
"Dari siapa?"
Yumna malah kepo.
Aira hanya mesem, enggan menyebutkan.
"Dari ustadz Raizan?" Yumna mulai menebak-nebak.
"Apa iya, beliau akan kirim pesan pribadi padaku?"
"Kali aja hubungan kalian udah sedekat itu. Tapi kak Aira gak cerita buat ngasih kejutan."
"Gencar amat kamu dan Dira mau jodoh-jodohin aku sama ustadz Raizan."
Aira bangkit menuju dapur dan tak lama muncul lagi membawa segelas minuman coklat yang sudah dingin dari dalam kulkas.
"Ya abis, kalian cocok banget." Yumna mengambil minuman coklat di tangan Aira, lalu tanpa permisi menyesapnya sedikit.
"Besok lusa ada acara ustadz Raizan di stasiun tv lokal. Kalian ikut ya, nanti aku kenalkan ke beliau. Biar tahu yang sebenarnya gimana."
Aira balik mengambil minumannya dari tangan Yumna.
"Tentu." Yumna mengangguk mantap. Sesaat diam, lalu tiba-tiba tersenyum-senyum sendiri.
"Malah senyum-senyum sendiri. Mana ambil minuman gak permisi." Aira sedikit menggerutu. Tapi begitulah, keduanya memang begitu dekat. Selayaknya saudara kandung tapi beda nasab.
"Aku lagi ngebayangin kak Aira itu mengenalkan ustadz Raizan pada kami sambil bilang, Yumna, Dira. Ini Raizan Khalif calon kakak ipar kalian. Ahay senangnya."
Aira hanya menggeleng pelan seraya menyesap minuman.
"Kak Aira gak nemenin Zian di rumah sakit?" Yumna tiba-tiba teringat hal itu
"Zian sudah pulang. Diandra dan Dira yang nemenin."
"Udah boleh pulang?" Tadi siang Yumna memang langsung kembali ke kantor usai rencana marah-marahnya pada Zian gagal total. Menyisakan Di, Aira dan Dira di sana.
"Iya. Kata dokter udah gak papa. Tapi dua hari lagi dia harus medical check up."
"Oh." Mengangguk paham. Turut merasa senang sang atasan tidak terlalu lama dalam perawatan. Berharap dalam waktu dekat sudah bisa kembali beraktivitas. Bisa-bisa dia pusing tujuh keliling kalau harus menangani semua pekerjaan Zian di kantor.
"Yumna, tadi sebenarnya ada apa?"
Aira pun teringat bagian Yumna yang marah pada Zian hingga seakan hendak memakannya mentah-mentah.
"Tadi itu, Talita putrinya pak GM menemuiku, Kak. Dia ngasih tau kalau sedang hamil anak Zian."
Aira tidak menyela ucapan Yumna, gadis manis itu fokus mendengarkan dengan seksama.
"Selama ini Talita dan Zian itu cukup dekat. Mereka sering pergi bersama. Ya aku gak tau, mereka pergi itu untuk urusan pekerjaan, atau urusan pribadi."
"Kamu gak nanya ke Zian?"
"Gak lah, Kak. Di kantor, Zian itu atasanku. Aku gak boleh melewati batas."
"Iya, benar." Aira mengangguk setuju.
"Menurut kak Aira, Zian sama Talita itu pacaran gak sih?" yumna terlihat begitu penasaran.
"Aku gak tau. Sama Talitanya aja aku gak tau." Aira sedikit tertawa saat menjawab itu. "Ya mungkin mereka memang benar pacaran," ucap Aira kemudian.
"Mungkin? Berarti kak Aira juga gak yakin? Tapi kenapa tadi, kau begitu yakin kalau Zian gak menghamili Talita?"
Sudah dari tadi Yumna ingin protes perihal ini pada Aira. Karena keyakinan gadis itu yang membuat Zian merasa tidak perlu menjelaskan apa-apa.
"Meyakini Zian pacaran dengan Talita, dan meyakini dia menghamili pacarnya, itu dua hal yang berbeda, Yumna. Bisa jadi Zian memang ada hubungan asmara dengan Talita. Tapi, kalau sampai Zian menghamilinya, itu kemungkinan yang sama sekali tidak bisa aku percaya.
Aku tahu siapa Zian. Aku kenal bagaimana dia. Zian gak mungkin bisa ngelakuin hal itu."
Ucapan Aira yang begitu mantap membuat perasaan Yumna tercubit. Pelan gadis cantik itu bergumam, "iya sih. Harusnya tadi aku juga berpikir demikian. Tapi, aku malah emosi duluan."
"Ya pasti karena kamu gak terima." Aira berkata dengan senyum. Teringat perdebatan Yumna tadi dengan Dira di rumah sakit perihal donor darah.
"Iya lah. Tapi aku juga senang sih udah mukul dia balik."
"Mukul?" Aira langsung merasa kalau Yumna sudah main tangan pada Talita. Tapi...
"Mukul dia dengan fakta yang kubuat. Dia tadi sampai shock, kaget, dan wajahnya jadi pucat," urai Yumna dengan raut wajah penuh rasa puas.
"Kamu bilang apa?"
"Dia nyangka aku istrinya Zian. Aku jelasin dia gak mau. Ya udah aku diemin. Trus aku bilang aja kalau Zian itu udah punya istri dua. Istri pertamanya, Kak Aira."
"Konyol nih anak." Aira langsung berdecak dengan raut wajah kesal. "Bisa-bisanya malah ngarang cerita. Ngadi-ngadi lagi. Gimana kalau si Talita itu benar-benar percaya?"
"Ya emang dia udah percaya," sahut Yumna santai.
"Yumna."
"Ya biarlah, Kak. Kamu gak liat tadi gimana ekspresi Talita. Dia langsung pucat dan pergi gitu aja." Yumna tergelak dengan rasa puas.
"Seru tau," seloroh Yumna dengan sisa tawanya.
Aira hanya menggeleng, tak habis pikir dengan ide konyol Yumna itu.
"Aku jadi ngebayangin kita beneran jadi madu. Sama-sama jadi istrinya Zian. Kayak mau muntah pelangi aku kak."
"Yum, kamu gak mikir apa, gimana jika kabar Zian punya dua istri itu tersebar di kantor? Apa itu gak ngejelekin reputasi dia. Kamu bilang Zian sedang dipromosiin naik jabatan."
Aira menatap Yumna dengan khawatir.
Mendengar itu sepasang mata Yumna berkedut samar. Ada kekhawatiran yang tiba-tiba datang. Tapi...
"Gak mungkin Talita menyebarkan kabar itu, Kak," katanya, walau dalam hati, Yumna tidak begitu yakin.
"Berharap saja demikian.."
Suasana menjadi hening. Keduanya terdiam dengan jalan pikiran masing-masing. Hingga lalu terdengar notifikasi chat di ponsel Aira.
Aira.. kamu bebas membuat pilihan, apa pun yang kamu inginkan. Tapi ingat yah, kamu gak bebas dari konsekuensi pilihan kamu.
Baris kalimat dari chat itu membuat Aira menahan napas lalu mengempaskannya perlahan.
Benar. Kalimat itu memang benar. Tapi, Aira tahu apa maksud terselubung dari si pengirim chat itu padanya. Dan hal itulah yang membuat Aira menghela napas berat.
Selang lima menit, terdengar lagi notif chat berikutnya.
Dan satu lagi, Aira. Suatu saat akan datang waktu di hidup kamu, ketika kamu harus memilih untuk membalik halaman, menulis buku yang lain. Atau sekedar menutupnya.
Aku kasih vote biar calonnya Zian tambah semangat