PERINGATAN!!!! SELURUH ISI CERITA NOVEL INI HANYA FIKTIF DAN TIDAK RAMAH ANAK ANAK. PERINGATAN KERAS, SEMUA ADEGAN TAK BOLEH DITIRU APAPUN ALASANNYA.
Setelah membantu suaminya dalam perang saudara, dan mengotori tangannya dengan darah dari saudara-saudara suaminya, Fiona di bunuh oleh suaminya sendiri, dengan alasan sudah tak dibutuhkan. Fiona bangkit kembali, ke lima tahun sebelum kejadian itu, dengan tekad kuat untuk membalas Dendam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khusus Game, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 21: tekad Verdian yang mirip Vergil
Verdian melahap sup jamur dengan begitu antusias, matanya berbinar penuh semangat. Senyum hangat tersungging di bibir Fiona, mengamati putranya. Tiba-tiba, ketukan di pintu memecah keheningan yang nyaman.
"Luis?" ucap Fiona, keheranan. "Apa yang membuatmu kemari?"
Luis tersenyum ramah. "Aku datang untuk menjenguk Verdian. Kudengar dia akan memasuki akademi."
"Kau datang di saat yang tepat," kata Fiona. "Aku baru saja menyiapkan makan siang. Maukah kau bergabung dengan kami?"
Verdian yang melihat gurunya, segera berdiri dan memberi hormat. "Selamat datang, Guru!" serunya, wajahnya berseri-seri.
Fiona tersenyum tipis. Mereka menikmati makan siang sambil mengobrol hangat. Verdian bercerita dengan semangat tentang semua persiapannya untuk masuk akademi. "Aku akan berlatih lebih keras lagi," katanya dengan bangga. "Aku akan menjadi yang terbaik dari yang terbaik!"
Luis tersenyum. "Itu semangat yang bagus. Kau punya bakat yang luar biasa, nak. Aku tak pernah meragukanmu."
"Aku hanya khawatir," kata Fiona, menghela napas. "Verdian terlalu ambisius."
Luis menepuk bahu Fiona. "Jangan khawatir. Itu wajar bagi anak seumuran dirinya." Ia kemudian melirik Verdian. "Percayakan saja pada anakmu, aku akan membantunya."
Di istana yang megah, Vergil memimpin rapat dengan para jenderal dan prajuritnya. Wajahnya keras dan dingin, hanya aura kekuasaan yang terpancar darinya.
"Bagaimana kemajuannya?" tanya Vergil, suaranya dalam dan tenang, tetapi penuh tekanan.
Seorang jenderal menundukkan kepalanya. "Mohon ampun, Yang Mulia, pencarian masih belum membuahkan hasil. Kami sudah menyisir seluruh desa, namun tidak ada tanda-tanda keberadaan Fiona."
"Tidak!" Vergil menatap tajam, matanya menyala. "Dia tidak mungkin mati. Dia terlalu licik, dia akan terus melarikan diri dariku. Aku tahu itu!" Vergil melambaikan tangannya. "Kalian semua dipecat! cari Fiona sampai aku menemukannya!" ucapnya, nadanya dingin.
Semua jenderal dan prajurit itu segera mundur dengan wajah pucat. Vergil kembali duduk di takhtanya, tangannya memijat pelipisnya.
"Maaf atas kelancangan hamba, Yang Mulia," ucap salah seorang jenderal yang baru saja akan pergi, nadanya lembut dan penuh rasa hormat. "Namun, jika anda mencintainya, maka carilah dia sebagaimana seorang pria mencintai wanita, bukan sebagai seorang penguasa."
Vergil mengangkat wajahnya, terdiam sejenak. Tatapannya yang tajam melunak, seolah kata-kata jenderal itu menyentuh sesuatu yang sudah lama hilang dari hatinya.
"Terima kasih atas saranmu, aku akan mempertimbangkan itu." Perintah untuk memecat para prajurit dan jenderal seketika ditarik, dan ia mengizinkan mereka pergi.
Di saat Vergil tenggelam dalam pikirannya, seorang penasihat istana memasuki ruangan.
"Yang Mulia," kata sang penasihat. "Hamba hanya ingin mengingatkan Anda akan jadwal besok. Upacara penerimaan murid baru Akademi Alvez akan diselenggarakan, dan kehadiran Anda sangat dinantikan."
Vergil menghela napas, ia mengusap wajahnya yang lelah. "Aku tahu," jawabnya singkat. "Baiklah, siapkan segalanya, aku akan hadir."
Langit pagi berbalut warna jingga, memandikan jalanan desa dengan cahaya lembut. Verdian dan Luis telah memulai perjalanan mereka, suara derap kaki mereka memecah keheningan. Verdian yang masih sedikit gugup, mengayunkan pedangnya di tangannya.
"Apakah aku akan baik-baik saja?" Verdian bertanya dengan suara bergetar. "Bagaimana jika aku tidak lulus?"
"Kau akan baik-baik saja," kata Luis sambil menepuk punggung Verdian. "Kau sudah berlatih sangat keras, kau pasti bisa. Tidak ada yang tidak bisa kau lakukan, Verdian."
"Aku tahu," jawab Verdian, menarik napas dalam-dalam, "tapi aku merasa gugup. Ini adalah kesempatan terbaikku!"
"Kau tidak perlu menjadi yang terbaik, cukup lakukan yang terbaik," kata Luis sambil tersenyum. "Kau adalah salah satu murid terbaikku, jadi aku tahu kau akan berhasil. Lakukan saja apa yang sudah kau latih."
Verdian mengangguk, tatapannya kini berubah menjadi penuh tekad. Mereka melangkah melewati gerbang, menyusuri jalan setapak yang dipenuhi oleh murid-murid lain dari berbagai latar belakang, semuanya bersemangat dan berambisi untuk menjadi yang terbaik.
Seorang pria dengan seragam instruktur berdiri di depan panggung. Wajahnya keras dan tidak menunjukkan emosi apa pun. Ia memandang ke arah kerumunan murid-murid baru, matanya menyapu setiap wajah, seolah-olah mengukur kekuatan dan bakat mereka.
"Selamat datang di Akademi Alvez," ucapnya dengan suara dalam, menggelegar di seluruh lapangan. "Namaku Artera, dan aku adalah instruktur kalian."
"Aku tidak peduli dari mana kalian berasal atau apa yang sudah kalian capai. Di sini, di Akademi Alvez, yang terpenting adalah bakat dan ketekunan. Bukan keturunan atau kekayaan," kata Artera, suaranya dipenuhi dengan otoritas. "Ujian masuk akan dibagi menjadi tiga tahap. Tahap pertama, ujian kekuatan. Kalian harus mendorong patung batu yang terletak di ujung lapangan hingga garis batas. Semakin jauh kalian mendorong, semakin tinggi nilai kalian."
"Bagus," kata Luis sambil tersenyum. "Kau akan lulus dengan mudah, nak. Kau sudah berlatih dengan beban yang lebih berat." Verdian mengangguk, matanya menatap tajam ke arah patung batu.
Verdian berdiri di barisan, memperhatikan setiap orang yang maju. Ia melihat beberapa orang mendorong patung dengan mudah, sementara yang lain kesulitan bahkan untuk menggerakkannya. Ia menarik napas dalam-dalam, mengencangkan tinjunya, dan saat namanya dipanggil, ia melangkah maju dengan penuh tekad. Dengan satu dorongan kuat, patung itu meluncur melewati garis batas, berhenti jauh di depan.
"Luar biasa!" bisik Luis, matanya berbinar bangga.
Artera memandang Verdian dengan tatapan tajam, seolah sedang mengukur kekuatan murid baru itu. Senyum kecil yang tak terlihat melintas di wajahnya. "Tes kedua," ucap Artera, suaranya kembali menggelegar. "Tes bakat. Kalian harus menemukan cara untuk menyeberangi jurang. Jurang itu penuh dengan tebing-tebing curam dan air yang mengalir deras di bawahnya. Kalian tidak diperbolehkan menggunakan alat-alat apa pun. Hanya akal dan pikiran kalian yang bisa membawa kalian menyeberang."
Saat para kandidat lain masih sibuk memikirkan cara, Verdian melangkah maju. Dia tidak berusaha menemukan jalan, dia justru melihat sekelilingnya. Dengan cermat, dia mengamati jurang di depannya. Matanya menemukan sebuah celah kecil di tebing seberang, tempat sebatang pohon tua tumbuh, batangnya menjulur ke atas.
Artera, sang instruktur, memperhatikan setiap gerakannya. Para kandidat lain dan Luis tercengang melihat Verdian melepaskan ikat pinggangnya, yang ternyata adalah tali yang digulung dengan rapi. Tanpa ragu, Verdian mengikatkan salah satu ujung tali itu pada sebuah batu besar, lalu dengan cekatan melemparkan ujung lainnya ke arah pohon tua di seberang jurang.
Tali itu melesat dan melingkar di batang pohon. Verdian menariknya kuat-kuat, memastikan ikatannya aman. Dia kemudian melompat ke sisi tebing, berpegangan erat pada tali, dan mulai menyeberangi jurang dengan cepat dan gesit.
Para kandidat lain dan Luis tercengang. Mereka tidak percaya dengan apa yang baru saja mereka saksikan. Mereka tahu bahwa tidak ada aturan yang melarang penggunaan pakaian sebagai alat, tetapi tidak ada yang memikirkan hal itu.
Artera tersenyum, senyuman yang jarang terlihat, seolah ia baru saja menemukan sesuatu yang berharga. Selama ini, para kandidat hanya akan menangguk setuju dengan aturan yang dia berikan, dan kemudian mereka akan berakhir pasrah. Tapi Verdian tidak seperti itu. Dia melanggar aturan demi berhasil, hal yang tak pernah ia lihat sebelumnya.
Artera menghela napas, matanya tertuju pada Verdian. "Kau berhasil menyeberangi jurang," ucapnya, suaranya datar. "Tapi kau melanggar aturan. Aku sudah bilang, kalian tidak boleh menggunakan alat-alat apa pun."
Verdian menatapnya. Matanya yang tajam memancarkan tekad yang kuat. "Anda bilang kami tidak boleh menggunakan alat-alat apa pun, tapi saya menggunakan ikat pinggang saya. Bukankah ikat pinggang termasuk bagian dari pakaian saya? Saya tidak melanggar aturan."
Artera terdiam. Ia memandang Verdian dengan ekspresi yang tak terbaca. "Tapi itu tidak sesuai dengan jiwa tes ini," katanya.
"Lalu kenapa Anda membuat tes ini?" balas Verdian. "Apakah Anda ingin melihat kami gagal? Jika saya mengikuti aturan, saya tidak akan berhasil menyeberangi jurang itu. Saya tidak akan berhasil tanpa alat. Jika tidak ada aturan yang dilanggar, maka apa gunanya mencoba?"
Artera tercengang. Ia belum pernah bertemu dengan murid seberani ini. "Kau berani membantahku?" tanyanya, suaranya dipenuhi dengan amarah yang terpendam.
"Saya tidak membantah Anda, saya hanya mengatakan kebenarannya. Saya akan melakukan apa pun untuk mencapai tujuan saya. Saya tidak peduli dengan aturan atau cara-cara yang mulia. Saya akan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan saya!" Verdian membentak.
Wajah Artera memerah karena amarah, tapi ia terdiam. Ia menatap Verdian dengan tatapan yang penuh dengan kekaguman. Anak ini berbeda. Anak ini tidak seperti yang lain. Ia memiliki tekad dan keberanian yang langka.