Dieksekusi oleh suamiku sendiri, Marquess Tyran, aku mendapat kesempatan untuk kembali ke masa lalu.
Kali ini, aku tidak akan menjadi korban. Aku akan menghancurkan semua orang yang telah mengkhianatiku dan merebut kembali semua yang menjadi milikku.
Di sisiku ada Duke Raymond yang tulus, namun bayangan Marquess yang kejam terus menghantuiku dengan obsesi yang tak kumengerti. Lihat saja, permainan ini sekarang menjadi milikku!
Tapi... siapa dua hantu anak kecil itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BlackMail, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27 : Bermain Petak Umpet
Jatuh.
Itulah sensasi terakhir yang kurasakan. Kegelapan yang dingin, suara angin yang menderu, dan benturan keras yang merenggut kesadaranku.
Saat aku membuka mata, yang pertama menyambutku adalah rasa sakit. Sakit yang tajam, menusuk punggung, seolah tulangku retak menghantam permukaan keras.
Yang kedua adalah dingin. Dingin yang begitu dalam hingga terasa membakar kulitku dari dalam, membuat gigiku bergemeletuk tak terkendali. Nafasku sendiri berubah jadi asap putih yang cepat lenyap di udara.
Aku berada di dasar sebuah celah es. Dinding-dinding biru kehitaman menjulang seperti tembok penjara, licin, tak memberi ampun. Di atas sana, langit malam tampak begitu jauh, dihiasi kilatan sihir biru dan hitam yang beradu bagaikan bintang-bintang jahat.
Pertempuran tampaknya masih berlangsung di permukaan.
Sementara aku? Sendirian. Terluka. Terjebak di dalam labirin maut ciptaan mereka.
Keputusasaan adalah gelombang pasang yang dingin, mengancam akan menenggelamkanku. Aku sendirian. Aku terluka. Aku akan mati di sini.
"Mama..."
Bisikan lembut itu hampir tak terdengar, seperti hembusan angin melewati celah batu. Aku menoleh cepat, jantungku berdegup panik, tapi tak ada siapa pun. Hanya pantulan wajahku di es yang retak.
Aku pasti sudah gila.
"Mama, ayo main!"
Suara tawa kecil menyusul, riang, jernih, terlalu polos untuk tempat ini. Suara seorang gadis kecil. Tawanya memantul, membuat labirin terasa lebih dalam, lebih menyesatkan.
"Si… siapa di sana?" suaraku pecah, gemetar antara dingin dan ketakutan.
"Cepat ikuti kami…" suara anak laki-laki kini terdengar, lebih berat, mendesak. Dari lorong sempit di kanan.
Tubuhku bergetar.
Hantu-hantu dari mimpiku. Mereka ada di sini.
Tak ada alasan untuk percaya, tapi langkah kakiku tetap bergerak. Rasa takutku tak hilang, justru bercampur dengan dorongan aneh. Suatu tarikan halus yang seakan menuntun hatiku.
Dengan erangan, aku berdiri, meraba dinding es untuk menopang tubuh. Setiap gerakan menusuk, membuat dunia berputar.
"Di mana kalian?" bisikku.
"Ayo main petak umpet!" jawab suara gadis kecil itu riang, seolah kami berada di taman bunga, bukan di medan perang yang membeku. "Cari kami, Mama!"
Aku mulai melangkah tertatih, mengikuti arah suara anak laki-laki. Labirin ini menipu: lorong berputar, pintu buntu, bayangan seakan bergerak sendiri. Tapi bisikan mereka jadi kompasku.
"Jangan lewat sana!" bisik suara Kaelus — entah bagaimana aku tahu nama itu — tepat di telingaku.
KRAK!
Aku tersentak dan melompat ke samping. Sebuah stalaktit es sebesar pedang jatuh dari langit-langit, pecah berkeping-keping tepat di tempat aku akan melangkah.
"Hampir saja..."
Aku mengikuti tuntunan mereka, berbelok ke lorong-lorong yang tampaknya buntu, merangkak melewati celah-celah sempit. Dinding es di sekelilingku terus bergeser dan berubah, seolah labirin ini sendiri adalah makhluk hidup yang bernapas.
Ini adalah permainan petak umpet paling mematikan yang pernah ada. Aku adalah pencarinya, dan hadiahnya adalah nyawaku sendiri.
"Sudah dekat!" bisik Valleria — nama gadis kecil itu juga muncul begitu saja di benakku.
Siapa mereka?
Kenapa mereka muncul di hadapanku?
Mengapa mereka memanggilku dengan sebutan Mama?
Mengapa aku tahu nama mereka?
Pertanyaan demi pertanyaan berputar di kepalaku tanpa jawaban.
Setelah perjalanan yang terasa sangat lama, bisikan-bisikan itu membawaku ke sebuah dinding es yang buntu dan suara-suara itu pun tidak terdengar lagi.
Aku hampir menyerah. Dinding ini terlalu tinggi untuk dipanjat. Lalu mataku menangkap sesuatu berkilau di es. Gagang perak belati dari Cedric. Tanganku bergetar saat meraihnya.
Belati ini… satu-satunya senjataku. Harapanku.
Tidak aku sangka akan datang hari dimana aku merasa Cedric berguna.
Pengingat bagiku akan hubungan keluarga.
Mengabaikan rasa sakit, aku menancapkan belati itu ke dinding, membuat celah pijakan. Aku melepas sepatuku. Rasa sakit yang luar biasa kurasakan saat telapak kakiku menyentuh bongkahan es.
Sedikit demi sedikir, waktu demi waktu. Aku memanjat es yang retak, otot jari kakiku menjerit, paru-paruku terbakar. Tapi aku terus bergerak. Setiap langkah terasa seperti keajaiban kecil.
Akhirnya, dengan satu dorongan terakhir, aku keluar dari labirin. Aku terhuyung, lalu berdiri di tebing es.
Pemandangan di bawah membuat nafasku tercekat.
Pertempuran para dewa… telah berakhir.
Pantai Atika dipenuhi oleh pecahan-pecahan es raksasa. Dua sosok berdiri di sana: Marquess Tyran dan Grand Duke Orkamor. Baju zirah mereka hancur, wajah penuh luka, tubuh goyah. Pedang patah, sihir habis.
Ini bukan lagi duel megah. Ini perkelahian primitif.
Aku melihat Marquess Tyran meninju, menghantam keras ke wajah Grand Duke Orkamor. Grand Duke membalas dengan sundulan kepala, keras dan brutal.
Mereka bergulat di atas pasir basah seperti dua binatang buas yang terluka, terengah-engah, kekuatan mereka kini setara dengan kekuatan manusia biasa.
Mereka lelah. Mereka terluka.
Mereka... rentan.
Saat itulah kata-kata Luna kembali terngiang di benakku.
"Harusnya kamu menusukku tadi... Jika kamu ingin merobek jantung patriarki, jangan ulangi lagi."
Ini dia. Kesempatan itu. Kesempatan yang tidak akan pernah datang dua kali.
Datang.
Sudah datang.
Pria yang telah membunuhku, yang telah menghancurkan hidupku, yang jiwanya terhubung denganku dengan cara yang menjijikkan — dia ada di sana. Lemah dan dalam jangkauanku.
Aku bisa.
Aku menatap belati Cedric di tanganku. Gagang peraknya terasa pas di genggamanku yang gemetar.
Aku bisa.
Untuk keluargaku. Untuk Duke.
Aku bisa melakukannya.
Untuk... diriku.
Aku...
Semua rasa takutku menguap, digantikan oleh gelombang amarah dan dendam yang dingin dan murni. Aku tidak lagi berpikir. Aku hanya bertindak.
Aku bangkit, dan mulai berlari menuruni lereng tebing yang licin, menuju dua predator yang terluka itu.
Aku berlari dengan tenaga dari tekad.
Dinginnya es di bawah kakiku, rasa sakit yang menusuk di punggungku, deru ombak dan gema pertempuran — semuanya lenyap.
Telingaku terasa menuli dan duniaku menyempit menjadi satu titik fokus: punggung Marquess Noctis Tyran yang tegang dan tidak terlindungi.
Dia lemah.
Dia terluka.
Dia dalam jangkauanku.
Napas memburu di paru-paruku, bukan karena lelah, tapi karena amarah. Amarah dari kehidupan yang direnggut. Amarah dari eksekusi yang dingin itu. Amarah dari tatapan matanya yang posesif, yang seolah mengklaim jiwaku.
Untuk keluargaku.
Untuk Duke.
Untuk... diriku sendiri.
Pikiranku menjeritkan pembenaran itu berulang kali. Aku semakin dekat. Tiga puluh langkah. Dua puluh. Sepuluh.
Mereka begitu terlarut dalam pertarungan brutal mereka, mereka tidak menyadari kehadiranku. Grand Duke Orkamor baru saja mendorong Marquess hingga tersungkur. Marquess bangkit dengan susah payah, darah menetes dari bibirnya.
Ini kesempatanku.
Aku mengangkat belati Cedric tinggi-tinggi, mengarahkannya tepat ke titik di antara tulang belikat Marquess.
Jantungnya.
Aku akan merobek jantungnya, sama seperti dia yang telah merobek hidupku.
Aku akan menusuk jantungnya tanpa ampun, sama seperti dia yang menebas leherku.
Niat membunuhku mencapai puncaknya.
Inilah akhirnya Marquess!
MEMBUSUKLAH DI NERAKA!!!