Aku tidak akan membiarkan, Saudara tiri dan Ibu tiri menginjak-injak harga diriku.
Ikuti kisah Intan, yang berjuang agar harga dirinya tidak injak-injak oleh ibu tirinya dan kakak tirinya. Tidak sampai situ saja, ikuti kisah perjuangan Intan untuk bisa berdiri di kaki nya sendiri hingga dirinya sukses.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pchela, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
07
Intan bangun pagi-pagi sekali, pukul lima pagi intan sudah selesai untuk mandi dan bersiap mengenakan seragam sekolahnya. Tak lupa dia juga mengunakan parfum beraroma stroberi.
Saat jam sudah menujukan pukul setengah enam pagi, Intan bergegas ke dapur. Dia menyalahkan kompor lalu mulai membuat nasi goreng dengan lauk frozen food yang dia beli kemarin. Untung saja, nenek lampir itu tidak melihat frozen foodnya kalau sampai dia lihat bisa habis tak bersisa.
Setelah selesai sarapan pagi, Intan melihat ayahnya yang terduduk dibale di bawah pohon rambutan. Seperti ayah Intan lagi banyak pikiran. Biasanya dulu saat masih bersama ibunya, dia sudah menyeduhkan kopi buat Herman tapi sekarang ibu tirinya itu bahkan belum bangun.
Karena merasa kasihan, Intan sendiri berinisiatif untuk membuatkan ayahnya itu kopi. Saat dia hendak membuka toples tempat kopi, terlihat kosong bahan sesendok pun tidak ada. Mungkin, ayahnya tadi sudah sempat mau bikin sendiri, tapi tidak ada kopi hal hasil dia hanya bengong tanpa minum kopi.
“Aku kasihan melihat ayah seperti itu, tapi ini semua juga ulahnya sendiri. Ayah tega menceraikan mama demi bisa nikah sama Maya. Padahal mama orangnya tidak neko-neko. Yaudah, mau gimana lagi mungkin ini pelajaran buat ayah yang jahat sama istrinya sendiri.” Intan kembali ke kamarnya, dia akan bersiap ke sekolah dengan berjalan kaki.
Intan berangkat pukul setengah tujuh, dia berangkat lebih pagi karena dia akan berjalan kaki. Dari rumah nya ke SMA cukup memakan waktu yang lama kalau jalan kaki. Jadi Intan memilih berangkat lebih pagi.
Tin!!
Tin!!
Saat tengah mengikat tali sepatu, Intan melihat mobil pikap membawa satu motor matic mengarah ke halaman rumahnya. Sepertinya ini motor baru untuk Mila yang di belikan oleh ayahnya juga Ibu tirinya itu.
“Mila sini kamu!! Motor kamu sudah datang nih!! Sini lihat motor mahal nih! Anak itu mana bisa beli motor keluaran terbaru seperti ini” ucap Maya yang menyindir Intan. Intan yang tengah mengunakan sepatu hanya diam tidak menggubris sindiran ibu tirinya itu.
“Mana-mana Bu! Wahh bagus banget motor ku!! Makasih ya bu! Mila sayang banget sama ibu! Pasti teman-teman di sekolah ku bakalan pada kagum-kagum melihat motor ku ini” Ucap Mila yang kesenengan melihat motor barunya sudah datang.
“Ya dong sayang, kamu pamerin gih ke teman-teman kamu di sekolah! Dan inget ya! Setelah Ibu belikan motor ini! Kamu harus cari cowok yang lebih kaya! Jangan cari cowok yang miskin! Inget ya kamu harus cari cowok kaya! Gimana pun caranya, ibu nggak mau kamu bawa cowok miskin! Nggak level tau nggak!” Perintah Maya ke anak nya itu. Bukannya ke sekolah nyuruh anak biar belajar yang bener, malah nyuruh anak nyari pacar yang kaya.
Intan hanya mengeleng tapi dia melihat tatapan mata ayahnya sangat lesu. Wajahnya seperti memucat, sama sekali tidak tergambar wajah bahagia saat melihat anak tirinya itu menurunkan motor barunya.
Intan mendekati papanya, guna untuk menyalami ayahnya. “Pah Intan berangkat ya!” Ucap Intan. Ayahnya pun merasa iba melihat putri kandungnya yang begitu tegar dalam keadaan ini. Intan tidak pernah menutut apapun darinya, anak ini selalu berusaha sendiri untuk mendapatkan apa yang dia mau.
“Nak, maafin papa nggak bisa kasih kamu uang jajan. Papa nggak ada uang sama sekali, kalau kamu mau uang jajan minta sama Maya ya, uang papa di pengang sama Maya semua. Sama, maafin papa juga nggak bisa belikan kamu motor baru seperti Mila.” Ucap Herman, hatinya begitu rapuh ketika dia tidak bisa adil kepada anak kandungnya itu.
“Nggak apa-apa pah, Intan ada kok uang buat jajan. Nanti ke sekolah, Intan bakalan ada kok teman dari sma lain yang jalan kaki. Papa tenang aja, Intan nggak bakalan sendiri” ucap Intan mencoba menenangkan ayahnya itu.
Maya melirik tidak suka melihat percakapan ayah dan anak itu. Ada rasa ingin memisahkan mereka, sebab Maya memang sangat benci dengan kehadiran Intan yang dia anggap menjadi beban untuk dia dan Herman.
Dengan rasa yang malas Intan menyalimi Ibu tirinya itu. Itupun, atas permintaan ayahnya. “Aku nggak bisa kasih kamu uang jajan! Aku nggak pegang uang” ucap Maya di saat Intan menyalimi tangannya. Rasanya Intan ingin meremas tangan ibu tirinya itu.
“Mila, kamu berangkat sekolahnya sambil bonceng Intan ya! Kasihan dia harus jalan kaki ke sekolah!” Pinta Herman ke Intan. Namun, ia hanya mendapat sinisan dari Mila yang tidak suka dengan permintaan ayah tirinya itu.
“Nggak mau om, lagian arah sekolah aku dan Intan itu beda. Jadi aku ngak bisa anterin dia!” Ketus Intan menjawab Herman. “Tapi kamu bisa nuruin Intan di pertigaan. Setelah itu Intan bisa jalan lagi ke sekolah, seengaknya itu bisa meringankan Intan.”Sahut ayahnya lagi.
“Apaapan!! Sih kamu mas!! Nggak ada! Biar Mila bawa sendiri motornya! Itu motor masih baru! Saya nggak setuju kalau motor barunya buat ngebonceng! Kamu kira mila itu tukang ojek apa mas! Nggak ada! Biar intan jalan sendiri ke sekolah! Siapa suruh sekolah di sma unggulan kan jauh! Coba berhenti saja sekolah, lagian dia sekolah buang-buang duit buat jajan saja! Mendingan uang itu buat Mila! Dia masa depannya lebih cerah daripada intan!” Ketus Maya. Ucapan itu membuat hati Intan rasanya teriris, dia tidak melajutkan mendengar ucapan ibu tirinya. Intan melenggang pergi meninggalkan mereka.