NovelToon NovelToon
Pengkhianat Yang Ditendang Ke Dunia Modern

Pengkhianat Yang Ditendang Ke Dunia Modern

Status: tamat
Genre:Romantis / Transmigrasi / Permainan Kematian / Tamat
Popularitas:903
Nilai: 5
Nama Author: Carolline Fenita

Di sudut kota Surabaya, Caroline terbangun dari koma tanpa ingatan. Jiwanya yang tenang dan analitis merasa asing dalam tubuhnya, dan ia terkejut saat mengetahui bahwa ia adalah istri dari Pratama, seorang pengusaha farmasi yang tidak ia kenal.

Pernikahannya berlangsung lima tahun, hanya itu yang diketahui. Pram ingin memperbaiki semuanya. Hanya saja Caroline merasa ia hanyalah "aset" dalam pernikahan ini. Ia menuntut kebenaran, terlebih saat tahu dirinya adalah seorang bangsawan yang dihukum mati di kehidupan sebelumnya, sebuah bayangan yang menghantuinya

Apakah mereka akan maju bersama atau justru menyerah dengan keadaan?

p.s : setiap nama judul adalah lagu yang mendukung suasana bab

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Carolline Fenita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Jintian – Scattered

Saat Caroline asyik mengamati sehelai daun dengan pola unik, sebuah suara lembut namun ceria terdengar dari belakangnya.

"Kak Inee? Sudah bangun?"

Caroline tersentak. Dia berbalik dengan cepat, jantungnya berdebar kencang. Gadis muda, mungkin sekitar awal dua puluhan, dengan rambut pendek terurai dan senyum lepas sedang berdiri tegak. Gadis itu mengenakan kaus oblong longgar dan celana pendek, tampak santai.

Wajahnya membuat Caroline merasa tengah memandangi Pram versi perempuan. Keduanya terlihat mirip satu sama lain dengan aura berbeda. Pram tenang dan berbicara seperlunya, sedangkan anak ini lebih antusias.

"Eh… Iya." Caroline tergagap karena ia justru lupa dengan nama adik iparnya.

Gadis itu mendekat, matanya berbinar. "Syukurlah Kakak sudah bangun! Aku Adik kesayangan Kakak!"

Saat dia memperkenalkan diri, tubuhnya condong ke depan dan mendapati bahwa Caroline meresponsnya lebih lambat. Senyumnya sedikit meluntur. "Oh, maaf. Kak Pram sudah cerita kalau Kakak mungkin sedikit lupa."

Natasya mengulurkan tangannya. "Tidak apa-apa. Senang bertemu Kakak lagi, atau lebih tepatnya, bertemu Kakak untuk ribuan kalinya. Ekhem! Pertama kali di taman ini.”

Dia menaikkan salah satu alisnya dengan nakal.

“Aku Natasya Kirana Dananjaya, adiknya Kak Pram. Funfactnya, nama tengahku kembaran sama Kakak, hehehe."

Caroline mengangguk dan terhibur oleh adiknya ini. “Sepertinya aku tahu bagaimana kamu bisa menjadi adik kesayanganku.” Dia menjabat tangan tapi Natasya menarik telapaknya tiba-tiba.

Dia berseru, “Bukan begitu caranya. Kita ada salam tos, sini kuajarkan.”

Kini kedua perempuan itu berbicara soal kesepakatan tos tangan. Satu mengamati geli, satu lagi menyerocos tanpa henti. Saat Caroline sudah mengingatnya dengan baik, Natasya pun melangkahi tanaman. Lalu dia berhenti di sebuah kolam, tampaknya kolam ikan yang baru disebutkan Pram.

“Sini, Kak. Ikan disini itu hasil kerja rodiku, lho.”

Caroline terkikik dan datang. Berdiri di belakang Natasya dan melihat ikan gembul kecil beraneka ragam. Dia baru tahu bahwa disini selain tanaman, juga ada kolam ikan. Sepertinya ini bukan hanya markas ia sendiri.

“Oh ya? Kerja rodimu, atau kerja rodi asisten disini?” goda Caroline, senyum tipis terukir di bibirnya. Interaksinya dengan Natasya terasa ringan dan natural, jauh dari ketegangan.

Natasya Kirana Dananjaya merasa tertantang! Dia membalikkan badan, membusungkan dadanya dengan bangga. "Ih, mana ada! Aku yang milih ikannya, aku yang sering kasih makan, aku yang bersihin kolamnya. Mereka ini... bayi-bayiku!" Dia mengelus permukaan air dengan lembut, membuat riak-riak kecil yang membuat ikan-ikan mendekat. "Kak Pram mana mau repot-repot begini, dia bisanya cuma bayar doang!"

Caroline tertawa kecil. Suara tawa itu terasa asing namun menyenangkan di telinganya sendiri. Tidak pernah dalam hidupnya, ia tertawa seperti ini. Gadis mungil ini agak polos tapi juga nakal.

"Nanti kalau sudah lebih sehat," Natasya melanjutkan, matanya berbinar-binar, "kita bisa kasih makan ikan bareng! Kakak suka banget kan kalau lihat ikan-ikan ini berebutan pelet?"

Caroline menatap ikan-ikan yang berenang lincah di kolam. Meskipun ingatannya kosong, ada sensasi hangat yang menjalar di dadanya. Ia mengangguk pelan. "Ide yang bagus."

Natasya tersenyum lebar. "Pasti! Oh ya, Kak," dia tiba-tiba teringat sesuatu. "Kak Pram titip pesan. Berkas tugas penelitianku yang kupinjam dari Kak Pram, katanya kalau bisa ditaruh di meja kerjanya Kak Pram. Sebenarnya itu datanya milik Kak Ine, sih. Dulu kalau ada tugas yang tidak bisa kuselesaikan, aku akan bertanya ke Kakakku sendiri tapi lebih sering ke Kak Ine. Soalnya dia galak."

Rasanya Tasya sedang melaporkan keluhannya, bukan menceritakan penelitiannya.

Caroline mengerutkan kening. "Berkas? Meja kerja?"

Natasya mengangguk antusias. "Iya! Tugas biokimia! Kakak pintar sekali kalau soal ginian." Natasya lalu menunjuk ke arah pintu di dalam rumah. "Meja kerjanya Kak Pram itu di ruangan yang agak besar di ujung koridor atas. Nanti aku tunjukkan jalannya kalau Kakak belum ingat."

Caroline terdiam. Meja kerja. Ruangan yang tadi ia masuki, dengan buku-buku tebal, "kaca hitam berbentuk persegi panjang," dan rak-rak penuh kertas itu. Apakah rak penuh kertas itu adalah tugas Tasya atau data mereka bertiga? Sedikit demi sedikit, potongan-potongan puzzle mulai menemukan tempatnya. Sebuah gambaran samar tentang dirinya yang membantu Natasya belajar, dikelilingi buku-buku dan kertas, mulai terbentuk di benaknya, walau masih kabur.

"Baiklah, jadi tugas penelitianmu sudah selesai dan datanya ingin dikembalikan kesana lalu ingin aku menemanimu?” simpul Caroline cepat. Ikan yang mendekat pada mereka menyibakkan air sehingga mereka berdua mundur secara otomatis.

Natasya melihatnya dan mengangguk penuh semangat. “En! Sekalian tur keliling rumah!” Salah satu tangannya terangkat ke depan dan mengepal. Mengirimkan semangat.

Caroline tersenyum kecil. Antusiasme Natasya mengingatkannya pada salah satu teman yang ia miliki di kehidupan lamanya, tetapi ia melupakan nama temannya. Semua gerak-gerik Natasya terasa akrab dan ia dengan mudahnya terbiasa. Biarpun dirinya sendiri sudah berkeliling, mungkin saja ada sesuatu yang ia lewatkan.

"Baiklah, ayo berpetualang."

Natasya berseru riang, lalu menarik tangan Caroline dengan lembut. "Siap, Kak Inee! Kita mulai dari sini!"

Mereka melangkah masuk ke dalam rumah. Natasya membawa Caroline kembali ke area ruang keluarga yang luas. "Ini ruang keluarga, tempat kita sering nonton film atau ngobrol-ngobrol ga jelas." Natasya menunjuk sofa-sofa empuk dan televisi besar. "Kalau malam, Kak Pram kadang suka ketiduran di sofa ini."

Caroline melirik sofa itu, mencoba membayangkan Pratama tertidur di sana. Sedikit demi sedikit, setiap sudut ruangan mulai terisi oleh detail-detail yang diberikan Natasya. Bayang demi bayang seperti pemandangan sekilas.

“Kenapa tidak tidur di kamar?” tanyanya.

Natasya menyahutnya santai. “Dihukum Kak Ine. Ga boleh masuk kamar.” Dia berlari meninggalkan Caroline yang diam membatu. Dia? Menghukum Pram?

Natasya berjongkok di antara meja kaca, mengambil tumpukan majalah dan koran lalu menaruhnya ke atas meja. “Biasanya Kak Pram duduk di sofa ini dan selalu membaca majalah atau koran yang sama. Waktu aku nanya dia bosen atau engga, katanya gak sama sekali. Kak Pram itu aneh sih.”

Caroline ikut duduk bersila dan melihat tulisan kecil di kertas yang hampir rapuk. Ada yang buram, tapi masih terbaca baik. Disana ia membaca penanggalannya dan tertegun. Koran dan majalah ini agak tidak beraturan namun dikeluarkan dalam tiga tahun yang sama. Sekitar 2019 sampai 2021. Sebelum membaca habis, adik iparnya sudah menarik lengan bajunya.

“Kak, aku lapar. Ayo ke dapur, aku ambil camilan di almari.”

Dari ruang keluarga, Natasya membawa Caroline ke area dapur dengan panci yang dipenuhi bubur ayam dan beberapa benda lainnya. Dia agak menjauhi area pisau, rasanya dia masih agak merinding saat melihat benda besi tajam itu.

Beberapa pelayan yang ada di dapur menundukkan kepala seperti menyapa, lalu bergeser ke samping. Di tangannya ada alat pembersih atau serbet. Tampaknya mereka baru saja membersihkan dapur.

Tasya melompat kecil lalu menggapai bungkusan snack. "Di sini Frans dan timnya akan memasak untuk kita semua. Dulu Kak Inee juga sering masak, lho! Tapi biasanya cuma pas weekend atau lagi iseng pengen bikin sesuatu yang aneh-aneh. Katanya sih aneh, tapi rasanya behh!! Takendol-kendol ngeunah!”

“Misalnya, sup warna ungu dari sayuran dan tahu, terus rasanya manis gurih aneh. Tapi enak! Terus pernah bikin cake pakai... pakai jahe? Pokoknya aneh-aneh deh. Tapi Kak Pram selalu habis paling banyak! Berebutan sama aku."

“Hmm... sampai berebutan.” Dia tidak bertanya, hanya agak heran. Lalu baru benar-benar bertanya, “Weekend itu kapan?”

“Sabtu dan minggu! Di hari itu banyak yang istirahat atau selesai bekerja. Tapi hari itu, bagi kalian berdua itu sama seperti hari biasa. Saat kumpul, kalau bukan Kak Pram yang sibuk dengan panggilan telepon, pasti Kak Ine sibuk sendiri dengan kerjaan.”

Aroma bubur ayam yang masih tertinggal sedikit membuat Caroline bingung. Dia ingin memastikan sesuatu. “Bubur yang kumakan itu khusus buatan Kakakmu, atau dibantu Frans?”

Natasya memutar matanya. “Pasti Kakak sendiri. Masakan paling enak yang dia buat itu bubur ayam, sisanya layak dibuang ke tong sampah.”

Apakah seburuk itu?

Seolah-olah membaca pikiran kakak iparnya, Natasya berbalik dan bertanya pada salah satu pelayan. Menyuruhnya menjelaskannya.

Pelayan yang ditanya, seorang wanita paruh baya dengan senyum ramah, sedikit terkejut ditanya langsung oleh Natasya. Dia segera membungkuk kecil “Tidak baik mengatakannya, namun memang bubur merupakan sajian yang sering dibuat oleh Bapak."

Natasya menyenggol bahu pelayan itu seraya membuka bungkus snack. "Bu Ndeng, ceritakan saja yang jujur! Toh orangnya lagi ga ada disini."

Bu Indeng berpikir agak lama sebelum tangannya di belakang menerima keripik Tasya baru mau berbicara. "Bapak Pratama itu orangnya sangat teliti dan perfeksionis, ya kan Nona Natasya?"

Natasya mengangguk setuju. Sudah tahu dengan gaya pelayan ini.

"Tapi..." suaranya sedikit melirih, "…kalau sudah di dapur, perfeksionisnya hilang entah ke mana. Dulu pernah, Bapak mau buat nasi goreng. Semua bahan sudah lengkap, kompor sudah menyala. Tetapi nasinya benar-benar digoreng, di minyak yang banyak."

Gayanya, memuji sebelum membongkar keburukannya.

"Oh, itu belum seberapa, Kak Inee!" seru Natasya, gatal ingin menambahkan. "Menu bistik andalannya itu, menu untuk kejutan karena penelitian Kak Ine yang sukses. Dia baca resepnya, lalu meremehkan. Tapi Kakak tahu apa yang terjadi?"

Caroline menggeleng, penasaran.

1
Anyelir
kak, mampir yuk ke ceritaku juga
Cherlys_lyn: okeee
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!