Kiran begitu terluka ketika mendapati kekasihnya berdua dengan wanita lain di dalam kamar hotel. Impiannya untuk melanjutkan hubungannya ke arah yang lebih serius pun sirna.
Hatinya semakin hancur saat mendapati bahwa pada malam ia merasa hampa atas pengkhianatan kekasihnya, ia telah melalui malam penuh kesalahan yang sama sekali tidak disadarinya. Malam yang ia habiskan bersama atasannya.
Kesalahan itu kemudian menggiring Kiran untuk membuka setiap simpulan benang merah yang terjadi di dalam kehidupannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon uma hajid, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Taktik Kedua
Kiran memasuki ruangan Ari. Pria itu memanggilnya melalui interkom setelah Radit dan Bara melewati meja kerjanya tadi. Kiran menata perasaannya. Apapun yang terjadi ia harus tabah. Jika pun Ari mengatakan akan memecatnya, ia harus menerima dengan lapang dada.
"Kamu sudah membuat laporan perjalanan kita kemarin?" tanya Ari ketika Kiran sudah berada dihadapannya. Kiran mengangguk.
"Bagaimana dengan laporan hasil pertemuan kita dengan pihak AY Company, sudah selesai juga kan?" Kiran kembali mengangguk.
"Baguslah." Kiran membeku. Akankah setelah ini, Ari akan mengatakan bahwa ia dipecat. Bukankah semua pekerjaannya telah selesai?
"Sekarang aku akan memberitahumu kabar yang sangat mengejutkan. Bukan hanya untukku ... tapi juga dirimu pastinya." Kiran mendengarkan dengan hati berdebar.
"Kakakku cuma memberi waktu sepekan."
Kiran menelan ludah. Sepekan? Berarti bulan depan dia sudah tidak bekerja lagi?! batin Kiran. Ia merasa sangat pias sekarang.
"Kenapa wajahmu seperti itu?" Ari menatap Kiran heran, menyadari perubahan raut wajah gadis itu.
Kiran menggeleng pelan. "Mungkin ini yang terbaik." Kiran jadi menyesal suka mengancam Ari untuk resign sementara ia begitu menyukai bekerja di kantor ini. Perusahaan ini sangat menjanjikan.
"Tentu saja ini yang terbaik. Jika semua ini terlaksana dengan baik, aku akan mendapatkan apa yang Aku inginkan."
Kiran mendongak menatap Ari. Benarkah Ari menginginkan dirinya untuk keluar dari pekerjaan ini? Bukankah Ari sangat membutuhkannya? Bahkan Ari mengatakan jika ia mencintainya??
Berbagai pertanyaan bergelayut di benak Kiran yang menatap Ari tidak percaya.
"Kamu kenapa? Kenapa ekspresimu seperti itu? Bukankah kamu seharusnya sudah merasa lega sekarang?" Ari menatap heran pada Kiran.
"Baiklah jika kamu begitu bersemangat. Kurasa tidak perlu waktu sepekan. Mulai besok kupikir lebih baik aku tidak hadir ke sini lagi," ucap Kiran lirih. Ari menautkan alisnya.
"Hei, hei, tunggu dulu. Apa kamu pikir ...." Ari menghentikan ucapannya. Apakah maksud Kiran ....
"Bffttttttt!!! Huahahahahaha." Ari tertawa dengan lepas. Tubuhnya berguncang.
Kiran menatap Ari dengan tidak suka. Bukankah ini tidak sopan? pikirnya. Di saat ia dipecat, Ari malah menertawakannya.
"Ya Allah Kiran .... Apakah ini Kiranku?" Ari mencoba menahan tawanya. Air matanya sampai keluar.
"Pembicaraan apa ini?! Aku ngomong kemana, kamunya kemana ...." Ari tertawa terbahak-bahak bahkan sampai memegang perutnya.
"Ini tidak lucu. " Kiran mendelikkan matanya.
"Baik ... baik. Kiran ... aku kira kamu salah paham. Yang aku maksud sepekan lagi itu, kakak memintaku membuat laporan hasil pekerjaanku selama berada di sini." Ari berusaha mengendalikan tawanya dan menata suaranya.
"Apakah kamu masih berpikir jika kakak akan memecatmu?" Kiran menjadi salah tingkah. Dugaannya ternyata salah.
"Aku lihat tadi dia begitu marah ... aku pikir pasti aku dipecat," ucap Kiran sambil menundukkan kepalanya. Untuk pertama kalinya ia merasa malu yang amat sangat.
"Kiran ... untuk pertama kalinya aku melihat wajahmu begini. Wajahmu tadi begitu lucu Kiran ...," Ari berucap dengan senyum mengembang di bibirnya. Kiran mulai mendelik kesal.
"Apa kamu begitu menyukaiku hingga kamu sangat berat meninggalkan kantor ini?" Ari menatap Kiran dengan senyum menggoda. Kiran menyebikkan bibirnya. Ari membalasnya dengan terbahak. Akhirnya Kiran mendelikkan matanya.
"Oke ... kita fokus. Jadi, mulai besok kita membuat laporannya. Tolong bantu aku menyiapkannya. Untuk hari ini lebih baik kita fokus yang lain dulu. Pulang dari kantor kamu harus ikut aku ke rumah. Aku Ingin kamu menemui mamaku."
"Hah?!" Kiran terkesiap. Tadinya ia mengira, Ari mengatakan pada Radit hanya sebagai alasan agar kakak pria itu tidak memecatnya. Namun ternyata semua itu benar adanya.
"Kenapa wajahmu begitu?" tanya Ari heran.
"Aku tidak mau," ucapnya datar
"Aku sudah mengatakannya pada kakakku tadi bahwa aku akan mengajakmu menemui mama. Aku tidak ingin dianggapnya berbohong. Kakakku itu paling tidak suka orang yang berbohong." Kiran terkesiap. Ia tadi sudah membohongi Radit. Pasti pria itu sangat membencinya sekarang, batinnya.
"Kamu harus mau, Kiran. Kali ini aku memaksamu. Aku tidak ingin ada penolakan. Ikut aku atau aku umumkan pada semua orang bahwa kita telah tidur bersama."
"Kamu ...."
"Sudah kukatakan aku akan memaksamu!" ucap Ari tegas, memotong perkataan Kiran.
"Kau pilih sendiri, kita menikah dengan aibmu yang tertutup atau kita menikah setelah aku membuka aibmu!" Pria itu mengulangi ancamannya. Memberikan ketegasan atas kata-katanya.
"Kamu belum menyerah ya ...," selidik Kiran menatap Ari dengan menarik satu sudut bibirnya.
"Aku menirumu. Satu hal yang harus kamu tahu, aku akan sangat bersungguh-sungguh jika menginginkan sesuatu. Maka menurut sajalah," ucap Ari menaikkan satu alisnya
"Tidakkah kamu itu sangat keterlaluan?!"
"Kamu lah yang keterlaluan. Sudah terjadi hal terlarang itu pun kamu tidak juga menerimaku. Aku kira jika orang tuamu masih hidup dan aku menemui mereka serta mengatakan yang sebenarnya, mereka pasti akan menyetujuiku."
Kalau mereka berdua masih hidup, maka kamu akan mati!
Kiran menarik nafas berat. Meski hatinya tidak setuju namun demi pembelaan yang dilakukan Ari di depan kakaknya, setidaknya ia bisa menuruti kemauan pria itu kali ini.
"Baiklah. Tapi aku ingin bertanya beberapa hal padamu." Kiran menegakkan tubuhnya serta melipat kedua tangannya. Ia harus memastikan hal yang mengganjal dalam benaknya.
"Bagaimana kejadian yang sebenarnya pada malam itu?" Ari menautkan alisnya.
"Aku tidak sadar sama sekali. Tapi kamu kan sadar. Dan kamu yang datang ke kamarku. Sementara aku ingat benar, malam itu setelah melihat Rangga, aku langsung masuk ke kamar dan menutup pintunya. Otomatis pintu kamar akan terkunci saat aku masuk. Lalu bagaimana kamu bisa masuk?" ucap Kiran, mencecar Ari dengan sesuatu yang selama ini berada dalam kepalanya. Ia ingin kejelasan.
"Saat itu aku menyambutmu di depan pintu. Kamu diam saja melewatiku dan masuk ke dalam kamar. Pikiranmu terlihat kosong hingga kamu tidak menyadari jika aku masuk mengikutimu. Aku hanya melihatmu dalam diam. Aku mendapatimu menangis. Kamu terlihat menyedihkan saat itu. Merasa tidak tahan melihatmu begitu, aku pun mendekatimu. Aku ingin menenangkanmu, namun kamu malah menciumku." Ari berkata sambil mencoba mengingat-ingat kejadian yang terjadi pada malam itu.
"Menciummu?" seingat Kiran di dalam mimpinya Rangga lah yang menciumnya lebih dahulu dan bukan sebaliknya.
"Iya, kamu menciumku. Menarikku lalu mendekapku dan memberiku ciuman bertubi-tubi. Membuka kancing bajuku dan celanaku," jelas Ari bersemangat. Ia membuat gerakan dekapan, ciuman, lalu gerakan seolah membuka kancing baju. Untuk sesaat Kiran merasa risih. Ia bergidik ngeri membayangkan semua itu. Namun, kenapa semuanya tampak berbeda.
"Kenapa? Kamu tidak percaya?" tanya Ari seketika melihat Kiran masih terdiam, asyik sendiri dengan pikirannya.
"Sini, ayo kita praktekkan ciuman kita pada malam itu. Mana tahu dengan begitu kamu bisa mengingatnya." Ari beranjak dari mejanya dan mendekati Kiran.
Ari berdiri di depan Kiran, mengambil kedua tangan Kiran lalu meletakkan di samping wajahnya. Kemudian dia mendekatkan wajahnya.
"Hei, apa yang kamu lakukan?!" Kiran tersadar kemudian menjauhkan wajahnya dari Ari.
"Aku ingin mengembalikan ingatanmu pada malam itu. Jelas sekali malam itu kamu yang memaksaku. Aku ini pria lemah. Mana bisa aku tahan ketika digoda olehmu. Atau ... mau kita ulangi bagaimana peristiwa malam itu, biar kamu ingat sesuatu? Atau kalau perlu, yuk kita ke hotel sekarang untuk mempraktekkannya." Kiran membelalakkan matanya.
"KAMU GILA?! Perbuatan yang salah itu, dilakukan sekali saja sudah banyak dosanya. Ini mau dibuat lagi?!" pekiknya sambil mengelus dada. Menahan emosinya sambil mengucapkan istighfar dalam hati. Bagaimana mungkin dengan mudahnya Ari mengucapkan hal seperti itu, batinnya.
"Tapi biar kamu ingat ...," ucap Ari sambil menyunggingkan senyum smirk.
"Sudahlah ..., baik aku percaya. Meskipun apa yang kamu bilang itu sama sekali tidak terlintas dalam pikiranku. Bahkan dalam mimpiku," ucap Kiran datar.
"Memangnya kamu bermimpi?" tanya Ari. Ia menatap Kiran penuh selidik.
"Iya. Aku bermimpi melakukan ... ehmm ... anuu .... Aku bermimpi melakukan itu ... yang dilakukan sepasang suami istri pada malam pertama pernikahan mereka." Kiran menunduk malu. Menceritakan apa yang secara pribadi dialaminya pada atasannya, menurut Kiran sangatlah aneh. Kiran merasa sangat sungkan. Melihat gelagat Kiran, Ari tersenyum simpul. Kau sangat murni, Kiran ..., batinnya.
"Maksudmu kamu bermimpi melakukan malam pertama, gitu?"
"Iya. Tapi yang terjadi tidak seperti apa yang kamu ceritakan tadi."
"Kamu pasti memimpikan malam itu bersama Rangga, kekasihmu itu kan?! Lalu kamu kecewa karena mendapati aku pada pagi harinya dan bukan Rangga?" Kiran terkesiap. Tanpa diberitahu kenapa Ari bisa tahu. Apakah ia punya mata-mata di dalam mimpi juga?
"Sudahlah ... semua sudah terjadi, Ari." Ari menghela nafas panjang. Rasa kecewa terlihat dari raut wajahnya.
"Lalu apa lagi yang ingin kamu tanyakan?" Ari bertanya lemah. Semangatnya di awal seakan hilang.
"Benarkah kita melakukannya Ari? Maksudku
..." Kiran menggantung ucapannya. Ia merasa malu jika mengatakannya. Namun ia juga penasaran. Kiran mengambil nafas panjang lalu menghembuskannya perlahan.
"Baiklah karena kita sama-sama sudah dewasa. Kita sama-sama sudah paham ... " menghela nafas untuk kemudian melanjutkan.
"Apakah benar kamu telah memasukkan milikmu ke dalam milikku??" wajah Kiran bersemu merah. Mata Ari membelalak, tak menyangka Kiran akan menanyakannya.
Ari tampak bingung sesaat. "Iya. Sekali lagi maaf, aku tidak bisa menahannya. A-aku memasukkannya tapi kamu kesakitan hingga ...."
"Sudah cukup!" Kiran sudah tak tahan lagi. Ia merasa malu yang amat sangat. Wajahnya terasa sangat panas saking malunya. Ia pikir tadinya ia sanggup mendengarkan. Tapi ternyata ia salah, kata-kata Ari seperti sudah menelanjanginya. Dan ia sangat malu sekarang. Sangat dan teramat malu.
"Tidak usah kamu jelaskan bagaimana kejadiannya. Kamu hanya perlu menjawab iya atau tidak!" ucap Kiran tegas setelah mampu menguasai rasa malunya. Kiran tidak berani menatap Ari. Tanpa sepengetahuan Kiran, Ari mengelus dadanya dan bernafas sangat lega.
"Iya!" jawab Ari singkat. Kiran pias.
"Lalu kenapa kamu tidak bisa menahannya?? Bukankah kamu tahu kita tidak ada hubungan dan kamu tahu aku memiliki kekasih? Padahal bisa saja kamu keluar dari kamarku dan semua itu tidak akan terjadi!" cecar Kiran. Sedari awal ia ingin sekali mengatakan ini pada Ari. Karena kunci peristiwa pada malam itu sebenarnya ada pada Ari. Jika Ari tidak mengambil kesempatan, semua itu tidak akan terjadi.
"Aku mencintaimu Kiran .... Aku tidak tahan melihatmu bersedih. Tapi setelahnya aku jadi tahu, aku lebih tidak tahan melihat kamu menggodaku," ucap Ari lirih. Kiran mengamati lekat wajah Ari, ingin melihat keseriusan dari kedua mata pria itu.
"Seperti sekarang ini, aku tidak tahan melihat dirimu. Sejujurnya aku ingin sekali menciummu jika saja kamu bolehkan," lanjut Ari lagi.
"Kamu sudah tahu jawabanku." Kiran mendelik kesal.
"Kenapa kamu bisa mencintaiku?"tanya Kiran menelisik.
"Entahlah. Pertama kali aku sudah mencintaimu. Mungkin pada saat itu aku melihat dirimu persis seperti kakakku Radit. Cuma bedanya kamu versi wanita, sementara kakakku versi pria ... Mungkin juga karena aku adalah fans berat kakakku jadi saat melihatmu, aku sudah kagum padamu." Kiran menautkan alisnya.
Setidaknya bukan karena kasihan, pikir Kiran. Ia paling benci seseorang mengasihaninya. "Baiklah kalau begitu, aku akan menurutimu." Ari bersorak dalam hati. Akhirnya kamu menyerah juga, batinnya.
"Jadi Kiran, boleh aku menciummu? Asal kamu tahu saja. Aku selalu terbayang-bayang ciuman kita pada malam itu." Kiran tidak menjawab hanya melototkan matanya.
"Baiklah jika tidak boleh. Aku akan mencurinya darimu," ucap Ari.
Secepat Kilat Ari memeluk Kiran dan mencium keningnya. Kiran terbengong sesaat tidak sadar atas apa yang terjadi. Gerakan Ari terlalu cepat. Ari tersenyum memandang Kiran. Kiran yang tersadar langsung memijak ujung sepatu Ari. "Auwwwww!!!" Ari berjingkat sambil mengusap kakinya yang tertutupi sepatu.
"Jangan pernah kamu lakukan itu lagi!" Kiran mendelik menatap Ari.
"Aku mencium jilbabmu lho ... gak kena pun kulitnya." Ari meringis menahan sakit.
"Meskipun! Kita belum mahrom Ari. Kita belum boleh melakukannya. Dosa Ari ...." Kiran memberikan penekanan pada akhir kalimatnya. Ari tersenyum geli.
"Jangan bilang kalau ternyata aku yang pertama menciummu." Ari menatap lekat Kiran. Kiran terdiam. Ia tak berani menatap Ari.
"Bersyukurnya aku, Kiran ...." Ari tersenyum senang.
"Ya udah, kita nikahnya besok aja, yuk!" Kiran mendelik. Ari terbahak.
❤❤❤💖