Menjelang hari pernikahannya, Amara menghilang tanpa jejak. Dengan waktu yang semakin sempit, keluarga calon pengantin pria mendesak agar pernikahan tetap berlangsung demi nama baik. Helena, adik Amara yang diam-diam mencintai tunangan kakaknya, Lucian, dipaksa menjadi pengantin pengganti.
Namun ketika ia menerima peran itu dengan hati yang penuh luka, Helena menemukan jejak kejanggalan: apartemen Amara yang terlalu rapi, koper yang tertinggal, dan waktu yang tidak sinkron dengan hari hilangnya Amara. Semakin ia melangkah ke dalam pernikahan, semakin besar pula misteri yang membayangi keluarga mereka.
Jejak-jejak ganjil tentang hilangnya Amara membuat Helena ragu: apakah ia sedang mengambil tempat seorang pengantin yang kabur, atau menggantikan seseorang yang sudah tak akan pernah kembali?
.
Jika ada kesamaan nama tokoh, dan latar hanyalah fiktif belaka, tidak ada hubungannya dengan kehidupan nyata.
follow ig: @aca_0325
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mapple_Aurora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Pelayan datang membawa hidangan mereka. Pasta creamy untuk Alina dan salmon panggang untuk Helena. Aroma makanan memenuhi meja, tapi Helena hampir tak bisa merasakannya.
Tangannya memegang garpu, tapi matanya terus melirik ke meja seberang, tempat Lucian duduk. Ia tampak begitu lepas, tertawa kecil di sela obrolan bisnisnya.
Lalu sesuatu membuat dada Helena makin sesak.
Seorang wanita cantik dengan gaun sederhana namun elegan masuk ke restoran. Rambut panjang tergerai rapi, langkahnya penuh percaya diri. Tanpa ragu ia berjalan langsung menuju meja Lucian.
Helena terperanjat ketika melihat bagaimana Lucian berdiri menyambutnya. Mereka berjabat tangan, lalu wanita itu duduk di sampingnya, bukan di kursi kosong yang agak jauh, melainkan dekat, cukup untuk membuat percakapan mereka tampak hangat dan akrab.
Helena merasakan perutnya bergejolak. Pemandangan itu begitu kontras dengan dinginnya Lucian di rumah. Senyum ramah, sorot mata yang lembut, bahkan cara ia sedikit mencondongkan tubuh ketika berbicara dengan wanita itu, semua itu terasa asing, tapi nyata.
“Len?” Alina memanggil, garpu di tangannya sudah berlumuran saus pasta. “Makan dulu, nanti keburu dingin.”
Helena tersentak, buru-buru menunduk. “Iya…”
Namun garpu di tangannya hanya sekadar menusuk ikan tanpa benar-benar menyuapnya. Dari ekor matanya, ia masih bisa melihat Lucian dan wanita itu berbincang dengan nyaman, sesekali kolega bisnisnya ikut tertawa.
Di dalam hati, suara Helena bergetar lirih. 'Siapa dia, Lucian? Dan kenapa senyum itu… tidak pernah untukku?'
Helena mencoba menunduk, berusaha fokus pada makanannya. Tapi rasa penasaran mengalahkan segalanya. Pelan-pelan ia kembali mengangkat kepala, matanya kembali pada wanita yang duduk di samping Lucian.
Ia mengamati wajah itu lebih saksama. Hidung mancungnya, garis senyumnya yang anggun, cara ia menatap Lucian dengan sorot akrab yang jelas bukan sekadar kolega biasa.
Helena mengerjap. Ada sesuatu yang mengusik ingatannya. Wajah itu… tidak asing.
Ia menelusuri memorinya, berusaha keras mengingat. Fragmen-fragmen samar muncul, suara tawa di sebuah pesta keluarga, foto lama di meja rias Amara, bahkan bisikan nama yang pernah terdengar dalam obrolan mereka bertiga.
Seketika Helena terdiam.
Itu dia.
Wanita itu adalah Clara, salah satu sahabat dekat Amara dan Lucian. Seseorang yang dulu sering terlihat bersama mereka, namun sudah lama menghilang dari lingkaran. Tak ada kabar, tak ada cerita, seakan ia benar-benar pergi dari kota ini.
Dan kini, di hadapan Helena, Clara duduk di samping Lucian, seolah ia tak pernah benar-benar pergi.
Helena merasakan tubuhnya merinding. Pertanyaan demi pertanyaan menyerbu kepalanya:
Kenapa Clara muncul lagi sekarang?
Kenapa bersama Lucian?
Dan kenapa Amara tidak pernah menyebut-nyebut dirinya belakangan, padahal dulu mereka sangat dekat?
Helena menggenggam erat garpunya, berusaha menyembunyikan keterkejutan itu dari Alina yang masih sibuk menikmati makanannya. Tapi di dalam hati, ia tahu, kemunculan Clara bukan kebetulan.
Suasana restoran semakin lengang seiring waktu. Tiga kolega Lucian selesai dengan makan malam mereka, berdiri sambil menyalami Lucian satu per satu. Helena memperhatikan dari kejauhan, menahan napas saat melihat Lucian tetap tersenyum ramah hingga rekan-rekan itu meninggalkan meja.
Kini hanya tinggal Lucian dan Clara.
Clara menyilangkan kaki anggunnya, memutar gelas wine di tangannya sambil menatap Lucian. Senyumnya tipis, nyaris seperti rahasia yang hanya mereka berdua pahami.
Helena, dari balik meja bersama Alina, merasakan jantungnya berdetak makin cepat. Ia pura-pura menunduk pada makanannya, tapi telinganya berusaha menangkap setiap kata.
“Lucian…” suara Clara lembut, namun cukup jelas. “Aku masih sulit percaya, Amara benar-benar menghilang begitu saja. Rasanya seperti kemarin kita masih sering bertiga.”
Nama itu. Amara.
Helena membeku, garpu hampir terlepas dari tangannya.
Lucian tidak langsung menjawab. Ia menatap meja sejenak, jemari mengetuk permukaan kayu pelan, lalu menghela napas panjang.
“Jangan sebut namanya terlalu keras di sini,” ucapnya rendah. “Aku tidak ingin menarik perhatian orang yang salah.”
Clara tersenyum samar, tapi matanya berkilat penuh arti. “Kau masih mencarinya, kan?”
Lucian menatapnya, dan dalam tatapan itu, Helena melihat sesuatu yang tak pernah ditujukan padanya, perpaduan antara luka, rindu, dan rahasia yang mendalam.
Helena merasakan dadanya mengencang. Ada sesuatu antara Lucian, Clara, dan Amara yang lebih besar daripada yang pernah ia bayangkan. Mungkin.
Clara meletakkan gelas winenya perlahan, senyum samar masih menghiasi bibirnya.
“Aku tahu tempat yang lebih tenang,” katanya lembut, nadanya seperti undangan rahasia. “Kita bisa bicara lebih banyak tentang… dia.”
Lucian menatapnya sejenak, seakan menimbang. Lalu, tanpa ragu, ia berdiri dan meraih jasnya. “Baik. Di sini terlalu ramai.”
Helena nyaris menahan napas. Jantungnya berdetak kencang hingga sulit berpura-pura tenang. Dari balik mejanya, ia melihat Lucian dan Clara berjalan berdampingan menuju pintu keluar restoran. Gerakan mereka santai, seolah hanya dua orang sahabat lama yang hendak melanjutkan perbincangan.
Tapi bagi Helena, setiap langkah itu seperti ancaman.
“Len? udah kenyang? Kok liatin pintu terus?” tanya Alina sambil menyuap suapan terakhir pastanya.
Helena tersentak. “Ah, iya… aku udah kenyang,” jawabnya terbata. Ia buru-buru meneguk air untuk menyembunyikan kegelisahan.
Namun matanya tetap tak bisa lepas dari sosok Lucian dan Clara yang kini sudah menghilang dari pandangan.
Di dalam dada, pertanyaan berputar tanpa henti: Ke mana mereka pergi? Dan apa yang akan mereka bicarakan tentang Amara di tempat itu. Helena merasakan dorongan kuat, ia harus tahu.
...***...
...Like, komen dan vote....
...💙💙💙...