Langit senja berwarna jingga keemasan, perlahan memudar menjadi ungu lembut. Burung-burung kembali ke sarang, sementara kabut tipis turun dari gunung di kejauhan, menyelimuti desa kecil bernama Qinghe. Di ujung jalan berdebu, seorang anak laki-laki berusia dua belas tahun berjalan tertatih, memanggul seikat kayu bakar yang nyaris dua kali lebih besar dari tubuhnya.
Bajunya lusuh penuh tambalan, rambut hitamnya kusut, dan wajahnya dipenuhi keringat. Namun, di balik penampilan sederhananya, sepasang mata hitam berkilau seolah menyimpan sesuatu yang lebih besar daripada tubuh kurusnya.
“Xiao Feng! Jangan lamban, nanti api dapur padam!” teriak seorang wanita tua dari rumah reyot di pinggir desa. Suaranya serak tapi penuh kasih. Dialah Nenek Lan, satu-satunya keluarga yang tersisa bagi bocah itu.
Xiao Feng menyeringai meski peluh bercucuran.
“Ya, Nenek! Sedikit lagi! Kayu ini lebih keras kepala dari banteng gunung, tapi aku akan menaklukkannya!”
Nenek Lan hanya mendengus.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sang_Imajinasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21 – Pertarungan di Alun-Alun
Alun-alun kota Hongya menjadi saksi ketegangan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Langit sore berwarna jingga, namun udara seolah membeku. Warga kota berkerumun di pinggir, wajah mereka pucat, mata tak berkedip.
Di tengah lingkaran, Xiao Feng berdiri dengan napas berat, tubuhnya masih penuh perban, namun sorot matanya tajam. Di hadapannya, Yan Mei berdiri angkuh, pedang tipis merah bergetar di tangannya, memancarkan kilau seperti lidah api.
Elder Hei Mo berdiri tak jauh, mengamati dengan tatapan dingin namun penuh rasa ingin tahu.
“Yan Mei,” ucapnya ringan, “jangan buang waktu. Tunjukkan pada bocah ini perbedaan dunia antara seekor semut dan naga.”
Yan Mei tersenyum tipis, tatapan matanya menusuk Xiao Feng. “Tenang, guru. Aku akan memberinya pelajaran yang tidak akan dia lupakan… sebelum dia mati.”
Dalam sekejap, Yan Mei melesat ke depan. Gerakannya bagai kilatan petir, pedangnya meluncur lurus ke arah leher Xiao Feng.
Cepat sekali! Xiao Feng hanya bisa memiringkan tubuhnya, pedang itu nyaris menyayat pipinya. Angin panas dari tebasan itu membuat kulitnya perih.
Ling’er yang menyaksikan dari kerumunan menjerit kecil, kedua tangannya meremas pakaiannya erat. “Xiao Feng… hati-hati…”
Xiao Feng menahan napas, mengumpulkan energi dari giok di lehernya. Api naga samar menyelimuti telapak tangannya. Dengan sebuah pukulan lurus, ia menangkis serangan berikutnya.
“BOOM!”
Benturan keras terjadi. Tubuh Xiao Feng terdorong mundur beberapa langkah, telapak tangannya berdarah. Yan Mei hanya tersenyum sinis, tidak bergeming.
“Begitu lemah,” katanya merendahkan. “Dan kau berani membunuh Pengawas Darah? Sepertinya kabar itu terlalu dilebih-lebihkan.”
Xiao Feng terhuyung, namun matanya tak goyah. “Aku memang bukan apa-apa. Tapi… aku tidak akan menyerahkan nyawaku begitu saja.”
Ia menggenggam giok naga. Suara samar seperti raungan naga menggema di telinganya. Aura hijau kemerahan muncul, melilit tubuhnya.
Warga kota yang menyaksikan menahan napas. Mereka melihat sosok muda itu, meski terluka parah, tetap berdiri tegak dengan aura naga melindunginya.
“Dia… dia benar-benar tidak menyerah…” bisik seorang anak kecil di kerumunan.
Yan Mei mendengus. “Beraninya kau melawan.” Ia mengangkat pedangnya tinggi, lalu menebas. Dari pedang itu, keluar gelombang api merah, panasnya menyapu alun-alun. Batu-batu mulai retak, udara bergetar.
Xiao Feng mengatupkan kedua telapak tangannya. Api naga muncul, membentuk bayangan naga kecil yang melesat ke arah gelombang api.
“ROAARRR!!”
Api naga dan api darah bertabrakan. Ledakan besar terjadi, debu beterbangan, membuat warga menutup mata. Beberapa bangunan di sekitar alun-alun bahkan ikut retak.
Saat debu mereda, Xiao Feng tersungkur di tanah, lututnya bergetar. Darah segar menetes dari mulutnya. Namun api naga masih menyala samar di tubuhnya.
Yan Mei tampak sedikit terkejut. “Oh? Kau masih hidup? Ternyata kau tidak sepenuhnya sampah.”
Tubuh Xiao Feng gemetar. Kekuatan ini… terlalu jauh dariku. Satu serangan saja hampir menghabiskan segalanya. Jika aku jatuh di sini… semua akan sia-sia. Ling’er… warga kota ini… mereka semua akan terbunuh.
Ia memandang sekilas ke arah Ling’er yang menatapnya dengan mata berlinang. Senyum samar muncul di wajahnya. “Aku tidak bisa menyerah…”
Giok di lehernya kembali bergetar hebat, seolah merespons tekadnya. Suara raungan naga kembali terdengar, kali ini lebih jelas.
Aura hijau tiba-tiba meledak dari tubuh Xiao Feng, lebih besar dari sebelumnya. Bayangan naga api muncul di belakangnya, lebih jelas, lebih nyata. Udara bergetar, warga kota terperangah.
“Na… naga sungguhan?!” seseorang berteriak.
Hei Mo mempersempit matanya, senyum samar menghiasi bibirnya. “Menarik. Bocah ini menyatu dengan warisan naga lebih cepat dari yang kuduga.”
Yan Mei terhenti sesaat, wajahnya berubah tegang. “Jangan sombong hanya karena kau punya trik.”
Ia melompat tinggi, pedang merahnya bersinar terang, mengumpulkan energi untuk serangan pamungkas. “Patahkan tekadmu, bocah!”
Xiao Feng mengatupkan kedua tangannya, aura naga menyelimuti. Bayangan naga meraung, mengisi seluruh alun-alun dengan suara menggetarkan jiwa.
Keduanya melesat bersamaan.
Pedang merah Yan Mei turun bagai petir.
Naga api Xiao Feng menyambut dengan raungan dahsyat.
“BOOOOMMM!!!”
Ledakan cahaya menghantam alun-alun. Gelombang kejut menyapu warga kota, memaksa mereka mundur. Beberapa bangunan roboh. Suara ledakan menggema hingga ke luar tembok kota.
Saat debu perlahan menghilang, pemandangan membuat semua orang terkejut.
Yan Mei terhuyung, pedangnya patah setengah, darah mengalir dari bibirnya. Wajahnya penuh kemarahan dan ketidakpercayaan.
Xiao Feng berdiri tegak, meski tubuhnya penuh luka, napasnya berat, dan darah membasahi pakaiannya. Bayangan naga di belakangnya sudah memudar, tapi matanya masih menyala penuh tekad.
Kerumunan meledak dalam bisikan kaget.
“Dia… bertahan?”
“Seorang bocah melawan murid inti sekte… dan dia tidak kalah?”
Yan Mei menggertakkan giginya. “Kau… kau berani mempermalukanku di depan semua orang…”
Ia hendak maju lagi, tapi Hei Mo mengangkat tangannya. “Cukup.”
Yan Mei berhenti, terkejut. “Guru, tapi—”
Hei Mo menatap Xiao Feng lama, lalu tersenyum samar. “Menarik. Sangat menarik. Bocah ini bukan sekadar kebetulan. Patriark pasti ingin melihatnya sendiri.”
Xiao Feng terengah, tubuhnya hampir tumbang. Tapi mendengar kata-kata itu, hatinya bergetar. Patriark Sekte Naga Merah sendiri… ingin aku dibawa?
Ling’er berlari ke arahnya, menopang tubuhnya yang hampir jatuh. “Xiao Feng… kau sudah cukup. Jangan paksakan lagi…”
Hei Mo menutup kipas emasnya, suaranya datar namun menusuk.
“Bocah, kau boleh menikmati kemenangan kecil ini. Tapi jangan salah paham. Sekte Naga Merah tidak akan melupakanmu. Cepat atau lambat, kau akan dibawa ke tempat yang seharusnya.”
Dengan itu, ia berbalik. Yan Mei menatap penuh benci, lalu mengikuti. Rombongan sekte meninggalkan kota, meninggalkan bayangan ancaman yang jauh lebih besar.
Warga kota bersorak kecil, meski ketakutan masih tersisa. Mereka melihat Xiao Feng sebagai cahaya harapan baru.
Ling’er menggenggam tangannya erat, air mata mengalir. “Kau… kau melakukannya… kau benar-benar melakukannya…”
Xiao Feng tersenyum lemah. “Aku belum menang… ini baru permulaan.”
Dalam hatinya, ia bersumpah. Jika sekte ingin menghancurkan dunia ini demi ambisinya, maka aku akan menantang mereka, meski harus menantang langit sekalipun.