Sudah dua bulan sejak pernikahan kami. Dan selama itu, dia—lelaki itu—tak pernah sekalipun menyentuhku. Seolah aku tak pernah benar-benar ada di rumah ini. Aku tak tahu apa yang salah. Dia tak menjawab saat kutanya, tak menyentuh sarapan yang kubuat. Yang kutahu hanya satu—dia kosong dan Kesepian. Seperti gelas yang pecah dan tak pernah bisa utuh lagi. Nadira dijodohkan dengan Dewa Dirgantara, pria tiga puluh tahun, anak tunggal dari keluarga Dirgantara. Pernikahan mereka tak pernah dipaksakan. Tak ada penolakan. Namun diam-diam, Nadira menyadari ada sesuatu yang hilang dari dalam diri Dewa—sesuatu yang tak bisa ia lawan, dan tak bisa Nadira tembus. Sesuatu yang membuatnya tak pernah benar-benar hadir, bahkan ketika berdiri di hadapannya. Dan mungkin… itulah alasan mengapa Dewa tak pernah menyentuhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon heyyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7. Sendiri
Sejak percakapan terakhir kami, Dewa pergi keluar negeri bersama ayahnya, melakukan perjalanan bisnis selama satu minggu, selama itu juga aku tidak melihatnya, lagi lagi tidak ada pesan atau panggilan yang terdengar dari dirinya. Saat itupun dia juga tidak berpamitan kepadaku, tiba tiba saja sudah ada satu koper yang terletak didepan pintu kamar, aku kira dia akan kembali tidur ke kamar tamu, tarnyata aku salah.
Setelah kepergian Dewa aku benar benar sendirian di rumah, mbak yuni pergi pulang ke kampung halaman karena anaknya sakit, Sudah tiga hari dia pergi, Ada seorang mbak pengganti yang bekerja dari pukul 7 hingga pukul 4 sore, selebihnya aku benar benar sendirian.
Setidaknya jika ada Dewa aku masih bisa mendengar langkah kakinya, atau suaranya saat bermain game di bawah, Setidaknya aku bisa merasakan kehadirannya melalui semua suara kegelisahan yang dia buat dirumah ini.
Pagi itu aku memutuskan untuk berjalan jalan di kota ini, Aku sudah pernah beberapa kali ke sini tapi tidak benar benar mengenal kota ini, Sekarang aku memutuskan untuk duduk di sebuah kafe dipinggir jalan raya, menatap semua orang yang lalu lalang, menebak kira kira apa yang mereka lakukan setelah sampai ke rumah, apakah mengobrol dengan pasangannya, makan bersama, menonton bersama atau melakukan hal normal yang ada di sebuah pernikahan.
Lalu mataku tertuju pada sebuah ruko, dengan papan nama "Konseling pernikahan". Tanpa pikir panjang aku berdiri dan langsung menghampiri tempat itu, mendaftarkan diri, dan menunggu antrean.
Ruangannya bernuansa hangat. Dindingnya berwarna krem muda, dengan rak buku penuh literatur psikologi dan sepasang lukisan alam yang tampak menenangkan. Di sudut ruangan, ada tanaman hijau yang tampak segar, dan aroma kayu manis samar tercium dari diffuser kecil di meja.
Namanya Hans. Usianya mungkin akhir 20-an, atau awal 30-an. Ia menyambutku dengan senyum hangat dan nada suara yang tenang. Tidak menghakimi, tidak tergesa. Hanya… hangat.
“Silakan duduk, Bu Nadira,” ucapnya.
Aku duduk, agak canggung. Ini pertama kalinya aku datang ke tempat seperti ini. Dan entah kenapa, rasanya seperti mengakui bahwa pernikahanku benar-benar tidak baik-baik saja.
“Ada yang ingin Nadira ceritakan?” tanyanya lembut.
Aku menggenggam jari-jariku sendiri, berusaha menyusun kata.
“Ini bukan kekerasan… bukan perselingkuhan… bukan juga pertengkaran besar. Tapi… aku merasa sendirian di dalam pernikahan ini,” suaraku nyaris seperti bisikan.
Ia hanya mengangguk. Tidak menyela. Menunggu.
“Suamiku… dia tidak menyakitiku. Tapi dia juga tidak benar-benar hadir. Kami menikah karena orang tua, dan sejak hari pertama, dia seperti… tidak pernah mencoba. Bahkan tidur pun di kamar terpisah.”
Aku mendengar suaraku sendiri terdengar getir, dan cepat-cepat mengalihkan pandangan. Tapi Hans tetap tenang. Wajahnya tidak berubah.
“Aku tidak tahu kenapa dia seperti itu. Aku hanya ingin tahu… apakah aku yang salah? Atau… ada sesuatu yang dia sembunyikan dariku?”
Hans mencatat sesuatu di buku kecilnya, lalu menatapku lagi.
“Terima kasih sudah mau bercerita. Rasanya pasti berat menyimpan ini sendiri,” katanya dengan tulus.
lalu, tiba tiba air mataku mengalir begitu saja, mengingat malam dimana semuanya terasa sangat menyakitkan, apapun yang terucap dari seorang Dewa bertubi tubi menusuk ku, aku sempat terisak, lalu hans memberikan kotak tisu kecil.
"Malam itu, pertama kalinya kami berbicara, Bukan percakapan yang aku harapkan, malah dia mengatakan Dia tidak bisa mencintaiku, karena dia tidak menemukan itu dalam hatinya" Tangisku pecah.
aku yakin Hans melihatku dengan tatapan kasihan pada saat itu, tapi sebisa mungkin dia berusaha profesional. Aku tidak suka saat orang lain mengasihiku tapi disisi lain aku memang orang yang dipenuhi oleh rasa sakit yang aku pikul sendiri.
Saat sesi pertama berakhir, dia menawarkan jika aku ingin menjadwalkan sesi lanjutan. Kami bertukar nomor telepon untuk keperluan administrasi dan komunikasi jadwal.
.hans bayar laki2 tmn SMA itu