Warisan darah. Kutukan leluhur. Perburuan yang tak pernah usai.
Di tengah kabut kelam tanah Pasundan, garis batas antara dunia manusia dan dunia gaib mulai menipis. Makhluk-makhluk yang seharusnya tersegel mulai bermunculan kembali, membawa kutukan, kematian, dan kegilaan. Hanya satu nama yang masih ditakuti oleh mereka yang hidup dalam kegelapan: Rengganis Larang.
Sasmita Wibisana, keturunan terakhir dari pemburu siluman, kini memikul beban warisan berdarah keluarganya. Dengan keris pusaka yang haus jiwa dan senjata api yang diberkahi mantra, ia menyusuri lorong-lorong gelap Nusantara untuk memburu entitas yang tak bisa dilawan manusia biasa. Tapi setiap makhluk yang ia bunuh, semakin dekat pula ia pada satu kebenaran yang telah dikubur berabad-abad: sebuah pengkhianatan di dalam garis darahnya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bubur Ayam
Matahari belum tinggi. Di luar kos, suara tukang sayur dan motor tua mulai bersahutan. Udara pagi masih dingin, aroma embun belum kalah sama bau gorengan yang dibawa angin dari warung depan gang. Di dalam kamar, Tri dan Ningsih udah bangun duluan. Jam masih nunjukin pukul enam.
“Lo yakin bisa?” bisik Ningsih sambil gosok gigi.
Tri lagi ngelipetin kertas kecil dan nyelipin di dompet. “Yakin enggak yakin, yang penting dicoba dulu. Hari ini harus berhasil.”
Ningsih ngelirik ke arah kasur tempat Sasmita masih tidur. Kepala gurunya setengah ketutup jaket, rambut awut-awutan, satu tangan melingkar di bawah bantal, dan masih ada bekas rokok di ujung bibirnya.
“Dia tuh kayak macan tidur, Tri.”
Tri ngangguk. “Iya, dan tugas kita adalah ngajak macan healing, bukan ngajak berantem.”
Ningsih ketawa pelan. “Kalo gagal, kita tinggal kabur ke pesantren sebelah.”
Gak lama, Sasmita mulai gerak. Dia bangun dengan geraman kecil kayak beruang tua yang males bangkit. Tangannya ngeraih bungkus rokok, matanya belum melek sepenuhnya, tapi udah bisa nyalain korek.
“Pagi adalah kutukan,” katanya pelan, habis itu narik napas panjang dari batang rokok pertama.
Tri langsung nyamperin dengan suara seceria mungkin, kayak anak kecil ngajak main ke taman.
“Guru, ayo sarapan bareng!”
Sasmita mendelik. “Lo mabok?”
“Enggak, serius. Kita traktir.”
“Aku udah panasin motor,” tambah Ningsih. “Warung Mang Ganda buka dari jam lima.”
Sasmita narik napas, terus buang asap pelan-pelan. “Gue males. Pagi begini? Orang bisa kesurupan cuma gara-gara nginjek tai kucing di jalan. Enggak aman.”
Tri cengengesan. “Justru itu, guru. Kita pengen melatih kewaspadaan. Deteksi aura negatif di tempat umum.”
Sasmita nunjuk pake rokok. “Bullshit.”
Ningsih masuk ikut nyogok. “Gini aja deh... kita dapet mimpi aneh semalem. Ada suara yang nyuruh ngajak guru sarapan di luar. Katanya penting. Roh leluhur mungkin?”
Tri langsung menimpali, “Iya, iya! Gue sampe kebangun lho, guru. Kayak... disuruh bikin Guru istirahat dikit, gitu.”
Sasmita nyipit. “Mimpi? Atau lo berdua nonton anime sampe pagi?”
Tri melotot. “Enggak lah! Serius! Nih gue catet semua di buku mimpi gue!”
Padahal buku itu baru dia tulis jam lima subuh tadi.
Sasmita ngelirik jam. Lalu geleng-geleng, “Udah, sana berdua aja. Gue mau ritual.”
Ningsih mulai jurus pamungkas. Suaranya pelan, tapi dalam.
“Guru... boleh ya kita egois dikit hari ini? Kita pengen... lihat Guru makan bubur sambil senyum. Kita pengen... ngobrolin hal biasa, bukan cara nyegel siluman atau cara ngebedain darah manusia sama darah tuyul.”
Tri nunduk. “Guru selalu mikirin kami. Tapi kadang, kami juga pengen jadi anak yang bisa bahagiain Guru... meski cuma semangkuk bubur.”
Hening.
Asap rokok naik pelan. Mata Sasmita nggak kelihatan berubah, tapi ada sesuatu di ujung sana yang melembut. Dia matiin rokoknya, lalu ngucek mata pakai punggung tangan.
“Anjing lo berdua,” katanya lirih. “Mainin perasaan mulu. Bentar... gue mandi dulu.”
Tri dan Ningsih langsung peluk satu sama lain pelan, saking senangnya. Strategi berhasil. Hari ini dimulai.
---
Tiga puluh menit kemudian, mereka bertiga jalan kaki ke arah pertigaan ujung gang. Warung bubur ayam Mang Ganda udah rame. Kursi-kursi plastik biru dan meja kayu panjang udah penuh sama bapak-bapak kantor, tukang ojek, dan emak-emak arisan.
Sasmita datang dengan jaket hitam, celana jeans bolong lututnya, dan masker digantung di leher. Rokok masih diselipin di belakang telinga. Dia kelihatan kayak personel band rock yang baru bangun.
Mang Ganda ngeliat mereka datang, langsung nyapa, “Wah! Mbak Sasmita datang! Biasa ya? Bubur tanpa kecap, sambel dua sendok?”
Sasmita ngangguk. “Tapi jangan banyak seledri. Gue bukan kelinci.”
Tri dan Ningsih duduk di kanan kirinya, kayak bodyguard yang justru dilindungi. Bubur datang, lengkap dengan kerupuk, sambel, dan emping. Wangi jahe dari kuah kaldu langsung narik lidah.
Mereka makan dalam diam sebentar. Suasana warung rame tapi nyaman. Udara pagi bawa suara burung dan sedikit bau oli dari bengkel sebelah.
Tri yang pertama buka suara. “Guru... dulu punya cita-cita jadi apa sih? Sebelum... jadi kayak sekarang?”
Sasmita suap bubur, diem sebentar. “Pemain band. Gue pengen main gitar di atas panggung. Cita-cita waktu SD. Tapi... gitar gue dibakar ayah waktu gue ketahuan kabur latihan silat.”
Ningsih ketawa kecil. “Astaga... terus kenapa gak lanjut band waktu SMA?”
“Karena gue udah harus latihan ngebedain suara langkah manusia sama langkah siluman. Mana sempat mikirin band.”
Mereka semua ketawa. Tawa yang enggak dibuat-buat. Tawa dari luka yang udah dikasih jeda.
Tri lanjut, “Tapi Guru masih suka musik kan?”
Sasmita ngangguk. “Masih. Gue punya playlist lagu metal campur qasidah. Jangan macam-macam.”
Ningsih nyomot emping dari piring Sasmita. “Kalo Guru jadi musisi, nama band-nya apa?”
Sasmita mikir, “Rengganis and The Cursed.”
Mereka semua ngakak.
Di balik semua itu, ada kehangatan yang jarang muncul. Wajah Sasmita yang biasanya tegang, sekarang punya garis lembut. Senyumnya kecil, tapi ada.
Tri ngerasa matanya panas.
Dia sadar satu hal. Kadang kita enggak butuh banyak buat bahagiain orang sekuat Rengganis Larang. Cuma semangkuk bubur. Cuma obrolan pagi. Cuma kesempatan buat jadi manusia, bukan mesin pemburu siluman.
Sasmita ngelirik dua muridnya. “Besok lo berdua gue ajar cara bikin mantra anti racun siluman.”
Tri dan Ningsih serempak, “Lho! Healing dulu dong!”
Sasmita ketawa kecil. “Santai. Sekarang masih pagi. Hari masih panjang. Tapi jangan pikir gue lupa. Gue tahu lo berdua bikin rencana ini. Dapet mimpi lah... roh leluhur lah... bullshit semua. Tapi... makasih.”
Kata terakhir itu keluar pelan. Hampir kayak bisikan. Tapi cukup buat bikin dada mereka hangat.
Hari itu dimulai bukan dengan darah atau mantra. Tapi dengan bubur ayam. Dan cinta kecil yang diselipkan di sela-sela sendok dan sambal.