NovelToon NovelToon
Kutukan Seraphyne

Kutukan Seraphyne

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Cintapertama / Reinkarnasi / Iblis / Fantasi Wanita / Cinta Istana/Kuno
Popularitas:766
Nilai: 5
Nama Author: Iasna

Dua abad lalu, Seraphyne membuat satu permintaan pada Batu Api yaitu menyelamatkan orang yang ia cintai. Permintaan itu dikabulkan dengan bayaran tak terduga—keabadian yang terikat pada kutukan dan darah.

Kini, Seraphyne hidup di balik kabut pegunungan, tersembunyi dari dunia yang terus berubah. Ia menyaksikan kerajaan runtuh, kekasih yang tak lagi mengenalnya, dan sejarah yang melupakannya. Batu itu masih bersinar merah dalam genggamannya, membisikkan harapan kepada siapa pun yang cukup putus asa untuk mencarinya.

Kerajaan-kerajaan jatuh demi kekuatan Batu Api. Para bangsawan memohon, mencuri, membunuh demi satu keinginan.
Namun tak satu pun dari mereka siap membayar harga sebenarnya. Seraphyne tak ingin menjadi dewi. Tapi dunia telah menjadikannya iblis.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Iasna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 6: Langit yang Terbelah

Pagi itu, angin di Narathor membawa firasat buruk.

Burung-burung yang biasa beterbangan di ladang seolah enggan meninggalkan sarangnya. Suara gemericik air pun terasa lebih berat. Di rumah kecil berhalaman luas di ujung timur desa, Seraphyne—masih lemah—terbaring dengan keringat dingin di pelipisnya. Napasnya tak teratur, tubuhnya sempat menggigil hebat malam sebelumnya.

Mareen dan Rae bergantian menjaga, membasuh tubuhnya dengan kain dingin, mengganti ramuan penurun panas yang seharusnya hanya mereka berikan pada tentara yang kembali dari medan perang.

Di luar rumah, Alvaren menatap surat bersegel kerajaan yang baru saja dibawa utusan pagi-pagi buta.

Perintah Raja. Ia diminta kembali ke ibu kota segera. Tanpa alasan. Tanpa penjelasan.

“Kau tak bisa tinggalkan kami sekarang, Panglima!” Rae bicara cepat, tegang. “Ephyra belum sadar penuh, dan kau tahu sendiri situasi di utara masih rapuh.”

Alvaren menggenggam surat itu erat-erat. Ia menatap ke arah jendela tempat Seraphyne terbaring. Sejak ia menemuinya di kolam beberapa malam lalu, hatinya tak tenang. Ada sesuatu dalam dirinya yang terus berkata bahwa wanita itu… lebih dari sekadar penyembuh.

“Aku akan kembali segera setelah tahu apa yang terjadi di istana, aku akan meminta beberapa pasukan untuk menjaga rumah kalian,” katanya pelan, seolah meyakinkan dirinya sendiri. “Jagalah dia… seperti kalian menjagaku.”

Mareen menunduk. Rae mengepalkan tangannya.

Dan saat Alvaren melangkah pergi bersama kuda dan pengawalnya, langit perlahan berubah. Kabut tipis turun, dan aroma logam tercium di udara.

Beberapa jam setelah kepergiannya, Narathor bergetar.

Suara dentum sihir pecah dari ujung barat. Rumah-rumah terbakar. Pasukan asing berbaju hitam menyerbu masuk, mengacaukan ladang, menawan penduduk yang tak berdaya.

Mareen dan Rae berusaha memindahkan Seraphyne ke ruang bawah tanah, tapi tubuh sang penyembuh terlalu lemah untuk bangkit. Matanya masih setengah tertutup, dan batu api di dalam tubuhnya terasa berdenyut panas—seperti meronta, seperti memberontak karena terlalu sering digunakan.

“Rae! Ambil tombak di sudut belakang! Lindungi jalan masuk!” Mareen berteriak.

Ledakan lain terdengar. Mereka tak tahu siapa musuhnya—tapi serangan ini bukan serangan biasa. Ini bukan penjarahan.

Ini penghabisan.

Dan di antara api, debu, dan jeritan warga Narathor, Seraphyne membuka mata. Tak kuat, tak sanggup berdiri. Tapi matanya bersinar merah, dan api perlahan merayap dari bawah kulitnya.

Dia tahu siapa yang mengirim mereka. Dia tahu... ini bukan hanya soal dirinya. Ini soal batu-batu yang seharusnya dijaga. Dan seseorang mencoba menghancurkan keseimbangan itu… mulai dari desa kecil yang damai.

Narathor.

Debu menyelimuti jalanan Narathor. Bangunan runtuh, rumah-rumah terbakar, dan langit seperti menahan napas. Asap mengepul tinggi saat pasukan berjubah hitam mulai menyisir rumah demi rumah, mencari sesuatu—atau seseorang.

Di bawah tanah rumah kecil yang nyaris rata dengan tanah, Seraphyne bersandar di dinding batu. Nafasnya berat, peluh membasahi pelipisnya. Mareen dan Rae bersimpuh di sampingnya, mata keduanya basah tapi tetap bersinar oleh rasa tak rela.

“Kita harus pergi, Ephyra. Kita harus keluar lewat lorong rahasia ke ladang belakang,” Mareen memohon.

Namun Seraphyne hanya menatap ke arah atas. Ia mendengar dentuman sihir, jeritan anak-anak, tangis para ibu. Setiap suara menancap dalam dadanya seperti paku-paku pengingat akan siapa dirinya sebenarnya.

Bukan hanya penyembuh. Bukan hanya pelindung. Tapi pemilik batu api.

Tangannya gemetar menyentuh dadanya—di dalamnya, batu api berdetak panas, seolah menantangnya: “Apa kau akan diam kali ini?”

Mareen mencengkeram lengan Seraphyne. “Kalau kau pakai batu itu sekarang… dalam kondisi ini…”

“Aku tak akan mati,” gumam Seraphyne lemah. “Tapi jika aku membiarkan mereka membakar Narathor… maka aku sudah mati sejak awal.”

Rae hendak berbicara, tapi Seraphyne sudah berdiri. Tubuhnya goyah, namun matanya menyala. Api menyelimuti telapak tangannya, berkilat merah-oranye dengan pola yang mengalir seperti urat nadi.

Ia menaiki tangga ke permukaan.

Begitu kakinya menyentuh tanah yang hancur, angin berhenti. Musuh melihatnya dengan bingung. Hanya seorang wanita kurus, pucat, dengan langkah yang tak stabil.

Namun saat satu langkah diambilnya ke depan, tanah di bawahnya retak.

“Berhenti.” suaranya lirih, tapi terdengar di seluruh penjuru desa.

Seorang komandan musuh tertawa. “Wanita lemah ini ingin menghentikan kami?”

Seraphyne menatapnya. “Aku hanya wanita lemah saat kalian tak menyentuh rakyatku.”

Tangannya terangkat. Api menyambar ke arah barisan terdepan. Dalam sekejap, lima orang terbakar, tubuh mereka meleleh bersama logam baju besi.

Musuh panik. Beberapa mulai mundur. Tapi Seraphyne tak berhenti. Napasnya makin pendek, tubuhnya limbung, tapi kekuatannya tetap membara.

Ia menari di antara api. Tak seperti pertarungan, tapi seperti ritual penebusan. Ia tak membunuh semua. Ia hanya menghentikan. Membakar senjata, menghanguskan sihir, dan menghapus keberanian musuh dengan api yang menyala dari jiwanya.

Hingga akhirnya, tubuhnya roboh.

Mareen dan Rae berlari menyusul. Seraphyne terbaring di tanah berdebu, matanya setengah tertutup.

Tapi Narathor selamat.

Dan di kejauhan, suara derap kuda membelah tanah.

Alvaren kembali.

Langit telah berubah abu-abu. Hujan kecil mulai turun, membasahi abu yang masih beterbangan di udara Narathor. Bau asap, darah, dan tanah basah bercampur menjadi satu—lukisan pilu setelah pertarungan yang tak seimbang.

Alvaren turun dari kudanya sebelum kakinya menyentuh tanah. Matanya menyapu kehancuran dengan panik. Pasukannya berlarian memadamkan api dan menolong warga yang terluka. Tapi matanya hanya mencari satu sosok.

“Ephyra…” gumamnya, penuh cemas.

Ia mendengar suara Rae memanggilnya di dekat reruntuhan tempat pengobatan. Gadis itu menangis sambil menunjuk ke arah depan.

Dan di sana, di antara abu dan tanah yang basah, tubuh itu tergeletak—kecil, ringkih, dan tak bernyawa seperti patung.

“Ephyra!” teriak Alvaren, berlari ke arahnya.

Mareen berusaha menenangkan Rae, tapi ia sendiri gemetar melihat tubuh Seraphyne tak bergerak. Alvaren segera berlutut, mengangkatnya ke dalam pelukannya. Dada Seraphyne naik turun tipis—dia masih hidup, tapi terlalu lemah untuk membuka mata.

“Dia tidak mati,” ujar Mareen cepat. “Tapi tubuhnya terbakar dari dalam. Dia terlalu banyak menggunakan kekuatannya. Kami tak bisa menyentuhnya terlalu lama… dia panas.”

Alvaren mengabaikan rasa panas yang mulai menghanguskan pelindung lengannya. Ia tetap memeluk tubuh Seraphyne.

Mareen menatapnya dalam-dalam, lalu mengambil keputusan cepat. “Bawa dia ke kolam pengobatan di belakang rumah. Air dinginnya bisa menenangkan api itu.”

Tanpa bertanya, Alvaren mengangkat Seraphyne dalam pelukannya dan berlari. Pasukannya hanya bisa menatap, bingung—panglima mereka memeluk seorang wanita biasa seperti sedang memeluk dunia.

Begitu mereka sampai di kolam jernih yang tersembunyi di balik semak dan pagar alami, Alvaren menurunkannya perlahan ke dalam air. Uap tipis mengepul saat kulit Seraphyne menyentuh permukaan, dan tubuhnya sedikit kejang sebelum akhirnya tenang.

Mareen mendekat. “Dia tak akan sadar sekarang. Tapi air ini akan menurunkan tekanannya… dan mungkin… mencegah tubuhnya pecah.”

Alvaren duduk di samping kolam. Tangannya masih gemetar. “Siapa dia sebenarnya…?”

Maaren dan Rae saling pandang, tapi tidak menjawab.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!