Dua puluh tahun setelah melarikan diri dari masa lalunya, Ayla hidup damai sebagai penyintas dan penggerak di pusat perlindungan perempuan. Hingga sebuah seminar mempertemukannya kembali dengan Bayu—mantan yang terjebak dalam pernikahan tanpa cinta.
Satu malam, satu kesalahan, dan Ayla pergi tanpa jejak. Tapi kepergiannya membawa benih kehidupan. Dilema mengungkungnya: mempertahankan bayi itu atau tidak, apalagi dengan keyakinan bahwa ia mengidap penyakit genetik langka.
Namun kenyataan berkata lain—Ayla sehat. Dan ia memilih jadi ibu tunggal.
Sementara itu, Bayu terus mencari. Di sisi lain, sang istri merahasiakan siapa sebenarnya yang pernah menyelamatkan nyawa ayah Bayu—seseorang yang mungkin bisa mengguncang semua yang telah ia perjuangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝕯𝖍𝖆𝖓𝖆𝖆𝟕𝟐𝟒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
2. Satu Nama Pengingat Luka
Lima menit setelah Ayla keluar dari kamar itu, Bayu terbangun.
“Sstt… sakit…” gumamnya serak. Tangannya refleks memijit pelipis, tubuhnya berat, seperti baru tenggelam dalam mimpi yang terlalu dalam.
Namun seketika tubuhnya menegang. Pandangannya jatuh pada dadanya yang telanjang, lalu ke pakaian yang berserakan di lantai.
“Semalam…”
Bayu menelan ludah—pahit, seperti luka lama yang kembali terkoyak. Ia memejamkan mata, mencoba mengurai kabut dalam kepalanya.
Lantai 15.
Lampu gantung berpendar lembut. Gelas anggur berkilau. Orang-orang berlalu-lalang seperti bayangan tanpa jiwa.
Ia menyalami orang-orang yang tak dikenalnya, memasang senyum palsu yang sudah terlalu sering ia pakai.
Di sisinya, Ellen. Istrinya. Dingin. Tegak. Cantik, seperti patung porselen yang tak pernah retak—karena tak pernah disentuh.
Dua dekade menikah, tapi rumah selalu terasa seperti kantor. Pernikahan bisnis. Tak lebih.
“Bagaimana pertemuan tadi?” suaranya datar. Bukan tanya. Lebih seperti rutinitas.
“Baik.”
Jawaban Bayu singkat. Kosong.
Seorang pelayan datang membawa nampan berisi gelas-gelas tinggi. Salah satunya—entah kenapa—terasa berbeda.
Tanpa pikir panjang, Bayu meraih dan meneguk setengah isinya.
Segar. Tapi... pahit.
"Kenapa pahit? Atau cuma aku yang sedang lelah?"
Beberapa menit kemudian, matanya mulai kabur. Pelipisnya basah oleh keringat dingin.
Ia berdiri.
“Aku ke kamar dulu,” ucapnya.
Ellen hanya mengangguk. Tak bertanya. Tak peduli.
Dan Bayu pun melangkah, setengah terseret. Lift terasa jauh. Lorong-lorong serupa labirin. Angka-angka di pintu berbaur jadi satu.
Ia membuka pintu—entah kamar siapa. Atau, mungkin, siapa yang menantinya.
Lalu...
Bayu tersentak.
Laras.
Gadis yang pernah—mungkin masih—ia cintai.
Kilasan demi kilasan menghantam ingatannya. Aroma tubuhnya. Sentuhan. Isakan. Desahan nama. Tubuh Laras menggeliat dalam pelukannya. Hangat. Rapuh.
“Ya Tuhan…” bisiknya ngeri.
Ia menunduk. Menatap telapak tangannya. Lalu menoleh pada ranjang yang kusut.
Ada bercak merah di sana.
Bayu menggigil. Duduk di pinggir ranjang. Tangannya gemetar saat menyentuh seprei yang kusut.
Ada bercak merah.
Bekas keintiman yang terlalu akrab—terlalu asing.
Ia menatap bahunya. Sebuah bekas gigitan terlihat di kulitnya. Lalu ia meraba punggungnya. Perih. Bekas cakar.
“Ini… nyata,” desisnya.
Lalu ia sadar: ruangan itu sunyi. Laras tak ada. Tak ada suara. Tak ada parfum samar yang biasa ia kenakan. Tak ada satu pun jejak ditinggalkan.
Seolah... Laras hanya mimpi yang meninggalkan noda di dunia nyata.
Ia mendongak, panik.
“Laras…” napasnya tercekat.
Ia bangkit, mengenakan pakaian seadanya. Masih limbung. Kepalanya berdenyut, tapi ia terus bergerak, memeriksa seluruh ruangan. Menatap kamar itu seperti menatap kenangan yang tak seharusnya kembali. Tapi sudah terlanjur hidup.
Kamar mandi kosong. Tak ada tas. Tak ada jejak. Seolah Laras tak pernah ada di sana.
Bayu mematung. Napasnya berat. Ia kembali menatap ranjang.
“Laras…”
Ia meraih ponsel di atas nakas. Mungkin Laras yang meletakkannya.
Tanpa pikir panjang, ia menekan satu nama di daftar kontak.
“Cari jejak Laras di hotel ini. Sekarang.”
Langkahnya goyah menuju pintu. Ia sempat menoleh. Menatap ranjang. Dan diam-diam berharap Laras akan muncul dari balik pintu kamar mandi, tersenyum, berkata:
"Kita bisa mulai dari awal."
Tapi ruangan itu tetap kosong.
Bayu melangkah keluar, menatap pintu kamar yang baru saja ditinggalkan.
Kemudian, ia kembali bicara di telepon.
“Dia di kamar 912,” katanya lagi pada ponselnya.
Dengan suara yang nyaris patah.
---
Dalam pesawat yang sedang mengudara —
Ayla duduk di dekat jendela. Tatapannya kosong, menembus gumpalan awan yang berarak pelan di luar sana. Tangan kirinya menopang dagu, sementara tangan kanannya bermain-main dengan cincin perak di jari manisnya—cincin yang tak pernah ia lepaskan.
Ia baru saja meninggalkan Berlin, setelah menjadi pembicara di seminar hari terakhir untuk para penyintas kekerasan. Sebagai motivator, ia selalu terlihat tegar. Tersenyum. Menenangkan. Tapi malam itu—dan pagi ini—ketegarannya runtuh.
Semalam seharusnya menjadi malam biasa di hotel yang tenang dan megah. Namun siapa sangka, ia akan bertemu dengan masa lalu yang selama ini ia hindari. Bayu.
Pria yang dulu pernah ia cintai... dan masih ia cintai.
"Setelah sekian lama aku memilih hidup tanpa bayang-bayang masa lalu, kenapa kita harus bertemu lagi… Bay?" batinnya lirih.
Setiap kenangan tentang Bayu tidak lagi menenangkan. Justru menyesakkan. Tatapan matanya, cara ia menyebut namanya—Laras, nama yang ia simpan rapat sejak memulai hidup baru sebagai Ayla.
Ia mengusap sudut matanya, namun air mata lain jatuh. Tanpa suara. Tanpa isak.
Penumpang di sebelahnya, seorang wanita paruh baya, memerhatikannya dengan cemas.
“Maaf, kamu nggak apa-apa?” tanyanya pelan. “Kamu terlihat… sangat sedih.”
Ayla tersentak kecil. Ia buru-buru menghapus air matanya, memaksa senyum.
“Ah… saya nggak apa-apa. Maaf, jadi bikin khawatir.”
Wanita itu tersenyum lembut.
“Kamu nggak harus cerita, tapi kadang berbagi bisa bikin lega.”
Ia mencondongkan tubuh, lebih bersahabat.
“Namaku Inge. Aku konselor pernikahan. Kebetulan baru pulang dari konferensi juga.”
Ayla tersenyum tipis. “Aku Ayla,” katanya. Hampir saja ia mengatakan "Laras."
Inge mengangguk. “Kamu habis kehilangan seseorang?”
Ayla menatap awan lagi. Jemarinya mengelus cincin yang melingkar.
“Bukan kehilangan. Tapi harus melepas... seseorang yang masih sangat aku cintai.”
Inge terdiam, lalu berkata lembut, “Melepas bukan berarti melupakan. Tapi kadang kita harus memilih mencintai dalam diam, demi menyelamatkan diri sendiri.”
Ayla mengangguk perlahan. “Aku sudah mencoba sepenuh hati menghapus dia dari relungku. Tapi ternyata... aku nggak mampu.”
Suara Ayla lirih, nyaris tak terdengar.
Inge menepuk tangannya dengan lembut. “Mungkin kamu belum siap menghapusnya. Dan itu... nggak apa-apa.”
Ayla tersenyum—pahit. “Setiap kenangan itu... bukan lagi pengingat akan cinta. Tapi pengingat bahwa aku... bukan orang yang bisa membuatnya bahagia.”
Ia memejamkan mata, berusaha meredam gejolak dalam dadanya.
“Aku harap kami tak bertemu lagi. Anggap saja ini... cuma mimpi yang tak akan pernah berulang.”
Inge menatapnya, penuh pengertian. “Tapi kadang mimpi datang karena hati belum selesai bicara.”
Ayla membuka mata. Pandangannya kembali ke luar jendela.
Di balik awan-awan itu, langit tetap biru.
Tapi di dadanya, masih mendung.
---
Berlin — Pagi itu di Hotel Silberhof
Bayu membuka pintu kamar hotel perlahan. Suasana masih senyap, hanya terdengar bunyi gesekan roda koper dari kejauhan. Ellen duduk di sofa dekat jendela, mengenakan setelan pagi yang rapi dan berkelas. Cangkir kopi di tangannya masih utuh, uapnya pelan-pelan menghilang—seperti sabarnya yang mulai menguap. Matanya menatap lurus ke arah Bayu yang baru masuk.
Pria itu terlihat dingin. Wajahnya kaku. Tanpa suara, ia melepas jas dan melemparnya ke atas koper. Ia bahkan tak menoleh sedikit pun ke arah wanita yang resmi menyandang status istrinya.
"Aku nggak tidur semalam," kata Ellen datar. “Aku nungguin kamu.”
Bayu diam. Tak ada niat untuk menjawab.
Ellen meletakkan cangkirnya. “Kamu pergi ke mana semalam?”
Bayu berjalan menuju meja, membuka botol air mineral, lalu meneguknya. "Urusan," jawabnya singkat.
Ellen mengangkat alis. Suaranya mulai dingin. “Urusan dengan wanita?”
Bayu menoleh, hanya sekilas. Sorot matanya tajam. “Itu bukan urusanmu.”
Ellen berdiri, menahan amarah yang mulai naik ke dada. “Aku ini istrimu, Bayu!”
Bayu menatapnya lelah. “Kita hanya pasangan di atas kertas, Ellen. Jangan memaksakan peran yang nggak pernah benar-benar kamu miliki.”
Ellen terkekeh miris. “Pasangan di atas kertas?” Ia melangkah mendekat. “Kamu lupa? Aku orang yang menyelamatkan nyawa papamu saat semua dokter menyerah! Aku yang berdiri paling depan ketika semua orang memilih pergi!”
Bayu menghela napas panjang. Tatapannya kosong.
“Itu tidak ada hubungannya denganku.”
Ellen menatap tak percaya. “Bagaimana kamu bisa bicara kayak gitu? Dia ayahmu, Bayu!”
Bayu mendekat. Ucapannya pelan tapi menusuk. “Memangnya kenapa kalau dia papaku? Dan kau pernah menyelamatkan nyawanya? Kalau kau merasa dia berhutang padamu, bicaralah langsung ke dia. Jangan tarik aku ke dalamnya.”
Ellen terdiam. Bibirnya bergetar. “Kamu benar-benar nggak punya hati.”
Bayu mendengus pelan. “Simpan dramamu, Ellen. Aku nggak pernah minta diselamatkan. Dan aku juga nggak pernah minta menikahimu.”
Ellen terdiam sesaat. Lalu, dengan suara nyaris tak terdengar, ia bertanya, “Karena kamu masih mencintai dia, 'kan? Laras.”
Nama itu. Laras.
Bayu memejamkan mata. Nama itu menusuk seperti belati. Dalam. Lambat. Tapi pasti.
“Aku lihat dia tadi,” lanjut Ellen. “Berjalan sendiri di lorong hotel. Jangan bilang kau menghabiskan malam dengannya.”
...🍁💦🍁...
.
To be continued
jangan takut Ayla semoga ayah Bayu mau menerima kamu dan cucunya.
semangat kak ditunggu kelanjutannya makin seru nih,aku suka aku sukaaaaa