Kesalahan semalam yang terjadi pada Arfira dengan seorang pria yang tidak di kenalnya membuat hidupnya berantakan, dirinya bahkan sampai harus menjebak pria bernama Gus Fauzan, supaya dirinya terbebas dari amarah Abang dan Abi-nya. Namun, takdir tak menghendaki itu, semuanya terbongkar hingga membuat hidup Arfira benar-benar hancur. Sampai dirinya di pertemukan oleh pria yang telah menghancurkan kehidupannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 7
Arfira mendecak geram, bahkan beberapa kali di ajak untuk bertemu olehnya, Gus Fauzan selalu tidak bisa. Ada saja rintangannya. Dirinya bahkan sudah se-effort itu ke kafe tempat mereka janjian bertemu, dan menunggu pria itu berjam-jam namun Gus Fauzan sama sekali tidak ada di sana.
Ini sudah seminggu lebih lamanya pasca kejadian di Bali, dirinya tidak mau hal yang tidak di inginkan akan terjadi, maka oleh itu dirinya meminta Gus Fauzan untuk menikahinya. Terdengar jahat, tapi mau bagaimana lagi, dirinya tidak mau menghadapi kemurkaan abi dan abangnya.
Arfira bahkan sedari tadi sibuk menghubungi pria itu, namun Gus Fauzan sama sekali tidak menjawab panggilannya. Tidak seperti biasanya, padahal pria itu sering mengiriminya pesan, namun beberapa hari ini Gus Fauzan tampak sangat berbeda.
Dirimya merasa ada yang di sembunyikan oleh pria itu, seperti saat sekarang ini, Arfira menghubungi pria itu, dan mengajaknya bertemu, pria itu mengiyakan eh pada akhirnya Arfira duduk menunggu di sebuah kafe lama. Dan karena sudah sangat kesal, Arfira memutuskan untuk pulang.
Arfira berdecak, dirinya membanting pintu apartemen miliknya itu dengan kesal. Bahkan ponselnya sedari tadi berbunyi– panggilan dari Abang serta sahabatnya Alana.
Dirinya sungguh bingung, beberapa pesan dari Alana juga masuk, itu menyuruhnya untuk pulang ke pondok pesantren. Arfira bukannya tidak mau pulang, tapi dirinya takut sekali. Takut kalau hal yang tidak di inginkan terjadi, dan membuat keluarganya marah serta malu.
Tring tring
Ponselnya kembali berdering, dan Arfira menghela nafasnya kasar saat yang lagi-lagi menghubunginya adalah Alana. Dirinya tadi berharap jika yang menghubunginya adalah Gus Fauzan, tapi mungkin itu hanya harapannya saja, karena ternyata sampai sekarang pria itu tidak ada kabar.
Panggilan itu mati, dan Arfira langsung mendapatkan pesan dari Alana.
|Fir, kamu baik-baik saja kan? Kok kamu nggak angkat telpon aku dan mas Izam? Kamu tau nggak mas Izam di sini khawatir banget sama kamu? Katanya Birani kamu udah seminggu pulang dari Bali, tapi kenapa kamu nggak pulang ke pondok pesantren? Padahal kan aku di pondok pesantren loh, aku nggak lama di Kairo.|
Arfira menggigit bibirnya kencang, rasanya mau ngobrol sama Alana, tapi saat ini dirinya belum berani, dirinya belum bisa percaya pada siapapun,
Ting
Kakak ipar aku
|Fir, aku mohon... Jangan cuman di baca aja. Mas Izam udah marah besar ini, karena datang ke butik kamu juga nggak ada. Kamu kemana sih, Fir? Bahkan kata Birani, dia juga nggak tau apartemen kamu.|
Arfira mendesah, mau tak mau mengangkat panggilan dari Alana.
"Assalamualaikum, Alhamdulillah kamu udah angkat telpon aku. Kamu baik-baik aja kan, Fir?"
"Waalaikum salam... Aku baik-baik aja. Aku memang lagi sibuk banget. Maaf ya, aku lagi nggak pengen di ganggu, karena banyak kali desain baju orang."
"Tapi kamu bener kan, nggak apa-apa?"
"Ya ampun Alana, aku nggak apa-apa. Kamu jangan khawatir, bilang juga ya sama Abang Izam dan Abi serta ummi. Eh udah dulu ya. Aku mau lanjut kerja lagi. Assalamualaikum Alana."
Tanpa mau mendengar sahutan dari sana Arfira langsung mematikan sambungan telepon itu, dan siapa sangka tidak lama setelahnya Gus Fauzan mengirimkan pesan pada dirinya..
Arfira tersenyum, tidak apa besok mereka akan bertemu, yang penting dirinya harus tetap jadi menikah dengan Gus Fauzan dalam waktu dekat ini...
*
Arfira terlihat gelisah saat ia duduk di bangku taman yang berada di tengah kota yang ramai. Matanya tak henti-hentinya memindai setiap orang yang lewat di hadapannya, mencari sosok yang telah lama ia nantikan.
Di sekelilingnya, anak-anak kecil berlarian sambil tertawa, pasangan-pasangan muda berjalan berpegangan tangan, dan beberapa orang tua duduk sambil menikmati semilir angin sore. Namun, di antara keramaian itu, Arfira merasa sangat sendiri.
Ia menghela napas berat, kekecewaannya semakin menjadi-jadi setiap kali jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya menunjukkan bahwa waktu terus berlalu tanpa kehadiran orang yang ditunggunya. Wajahnya yang semula penuh harap perlahan berubah menjadi muram. Rasa cemas dan sedih berkecamuk dalam hatinya, mengingatkannya pada rasa sakit ketika seseorang yang dicintainya tidak memenuhi janji.
Arfira terus menunggu, harapannya semakin luntur seiring cahaya senja yang mulai hilang ditelan kegelapan. Namun, ia tetap bertahan di tempat itu, tidak mampu melepaskan diri dari janji yang mungkin tidak akan pernah dipenuhi.
Sampai beberapa menit kemudian, Arfira tersenyum saat melihat sebuah mobil yang sangat di kenali olehnya berhenti tidak jauh dari taman itu, dan pria tampan berwajah kalem itu langsung berjalan menghampirinya.
Arfira menyambut kedatangan Gus Fauzan dengan senyuman lebarnya.
"Fauzan..."
"Assalamualaikum Arfira.." ucap Gus Fauzan.
Arfira tersenyum malu-malu. "Waalaikum salam. Aku sampai lupa ucapin salam" ucap Arfira sambil menepuk jidatnya.
Gus Fauzan mengangguk singkat.
"Kita udah lama banget nggak ketemu, dan sekalinya ketemu, Masya Allah, tambah ganteng aja kamu. Udah jadi Gus ya kan?" Ucap Arfira sambil terkekeh kecil.
Gus Fauzan tersenyum malu-malu, walaupun setelahnya dirinya tersentak saat menyadari sesuatu. Dirinya sudah menjadi suami orang, dan tau batasannya.
Gus Fauzan berdekhem, dirinya tak terlalu merespon godaan Arfira. Dirinya malah bertanya kabar gadis itu dan sekadarnya saja. Sampai Arfira membicarakan hal yang penting.
Arfira menggigit bibirnya dengan kuat, berusaha memberanikan dirinya untuk membicarakan hal ini pada Gus Fauzan. Masa depan dan hidupnya di pertaruhkan di sini, dirinya tidak mau keluarganya kecewa, walaupun nanti akan membuat Gus Fauzan kecewa padanya karena mengetahui suatu fakta tentang dirinya. "Aku bersedia menikah sama kamu, Fauzan,"
Deg
."A-apa?"
"Ya aku bersedia menikah sama kamu. Aku udah pikirin semuanya matang-matang. Dan aku nggak mau menundanya lagi. Jadi, mari kita menikah Fauzan. Bukankah kita saling mencintai? Bahkan kita memiliki perasaan itu sudah lama sedari kita sekolah. Dan beberapa waktu yang lalu, kamu juga membicarakan tentang pernikahan ini, dan aku setuju." Ucap Arfira.
Gus Fauzan menghela nafasnya kasar.
"Fir, kok kamu tiba-tiba ambil keputusan seperti ini?" Tanya Gus Fauzan sambil mengerutkan keningnya. Sebab sebelumnya Arfira lah yang menolaknya mentah-mentah.
Arfira menggigit bibirnya dengan kuat, tangannya mencengkram kuat hijab panjang yang di kenakan olehnya, bahkan biasanya Arfira yang selalu tampil cantik itu kini tidak. Bahkan Arfira tampil berantakan, dan tanpa makeup sedikitpun.
"Fir, kamu baik-baik aja? Kamu kenapa? Dan kenapa kok kamu tiba-tiba ngajak aku menikah?"
Arfira tersenyum kecut. "Jadi, kamu nggak mau menikah sama aku? Padahal kemarin-kemarin kamu yang ngotot banget pingin nikah sama aku? Tapi sekarang? Mestinya yang tanya begitu aku bukan kamu?!" Sentak Arfira yang tersulut emosi, dadanya bahkan naik turun.
"Fir, nggak begitu. Kamu saya cuman tanya? Kamu kemarin juga di ajak menikah nggak mau."
"Terus, kalau sekarang aku mau, kamu udah nggak ada feeling lagi gitu sama aku? Iya?! Oh jadi begitu ya, pantas saja susah banget di hubungi beberapa hari ini, di ajak ketemu juga susah" kata Arfira sambil mendengus sebal.
Gus Fauzan menggelengkan kepalanya. "Nggak begitu. Saya nggak seperti itu." Lalu dirinya menghela nafasnya kasar. "Saya akan bicarakan ini dengan keluarga saya dulu, nanti saya akan datang menemui kamu lagi" ucap Gus Fauzan, membuat Arfira mengerutkan keningnya.
"Kenapa mesti bilang sama orang tua kamu?!" Sentak Arfira marah.
Gus Fauzan kembali menghembuskan nafasnya kasar, "mereka keluarga saya, saya harus meminta restu dulu, Fir." Ucap Gus Fauzan.
Arfira menganggukkan kepalanya, tidak mempermasalahkan hal itu, yang terpenting dirinya dan Gus Fauzan bisa menikah segera.
"Aku akan menunggu, tapi jangan lama."
*
"Saya sudah mendapatkan informasinya, tuan muda" ucap seorang pria sambil menyodorkan sebuah map berwarna kuning kepada Arjuna.
Arjuna melirik map itu, lalu mengambilnya. "Ada informasi lain yang kamu ketahui?" Tanya Arjuna sambil membaca kertas-kertas yang ada di dalam map itu.
"Ya tuan, saya sudah menyelidiki, jika nona itu menunggu seseorang di sebuah kafe. Saya tidak tau, karena sampai beberapa jam kemudian, tidak ada yang datang ke mejanya."
Arjuna mengangkat alisnya. Kemudian terkekeh kecil. "Menarik, saya suka. Yasudah, kamu boleh pergi. Jika ada yang ingin saya cari tau lagi, saya akan hubungi kamu lagi." Ucap Arjuna.
Pria itu mengangguk, lalu membungkukkan tubuhnya dan setelahnya pamit pergi...
Arjuna tersenyum tipis. Sambil memandangi map itu. "Arfira... Anak seorang kyai? Why??"