Original Story by Aoxue.
On Going pasti Tamat.
Ekslusif terkontrak di NovelToon, dilarang plagiat!
Di tengah hujan yang deras, seorang penulis yang nyaris menyerah pada mimpinya kehilangan naskah terakhirnya—naskah yang sangat penting dari semangat yang tersisa.
Tapi tak disangka, naskah itu justru membawanya pada pertemuan tak terduga dengan seorang gadis misterius berparas cantik, yang entah bagaimana mampu menghidupkan kembali api dalam dirinya untuk menulis.
Namun, saat hujan reda, gadis itu menghilang tanpa jejak. Siapa dia sebenarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aoxue, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13 - Hujan
Di dalam ruang tunggu rumah sakit yang dingin dan sunyi, Liliana duduk terpaku, tubuhnya masih basah kuyup oleh hujan, namun ia tak memedulikannya.
Kedua tangannya menggenggam erat dompet Sean, seolah memegang satu-satunya harapan yang tersisa.
Ponsel Sean masih berada di tangannya, layar redup yang baru saja digunakan untuk menjawab panggilan Elio kini kembali gelap.
Liliana menatapnya dalam diam, perasaannya cemas, takut, dan penuh penyesalan menyelimuti dirinya untuk saat ini. Kata-kata dokter yang baru saja membawa Sean ke ruang operasi terus terngiang di benaknya.
"Keadaan pasien kritis, kami akan melakukan yang terbaik! Tapi kami tidak bisa menjanjikan apa pun."
Air matanya mengalir lagi tanpa suara.
"Sean, kamu harus bertahan, aku belum siap kehilanganmu dan aku bahkan belum mengatakan bahwa aku mencintaimu!" bisiknya lirih.
Waktu terasa berjalan sangat lambat.
Langit masih menumpahkan hujan di luar jendela, dan Liliana menatap ke arahnya. Apakah hujan masih akan mempertemukan mereka? Ataukah ini akan menjadi hujan terakhir mereka bersama?
Pintu ruang operasi tetap tertutup. Detik bergulir tanpa kabar.
Setiap hari, Liliana duduk di sisi tempat tidur Sean, dia jarang sekali beranjak dari sana. Matanya bengkak karena kurang tidur, rambutnya acak-acakan, namun dia tidak peduli.
Setiap detik yang dia lalui adalah penantian yang menyakitkan, terkadang, dia menggenggam tangan Sean dengan erat, berharap ada sedikit gerakan atau tanda-tanda bahwa Sean akan membuka mata.
Beberapa teman Sean datang dan pergi. Elio datang paling sering, membawakan makanan hangat, air minum, dan bahkan beberapa pakaian bersih untuk Liliana.
Meski mereka belum terlalu akrab, Elio tahu betul betapa berharganya Liliana bagi Sean, terlebih setelah mendengar cerita yang terselip dari perawat-perawat tentang bagaimana Liliana tidak pernah meninggalkan sisi Sean sejak dia dirawat.
Liliana sering berkata lirih sambil menatap wajah Sean, "Kamu berjanji akan membawaku melihat ikan-ikan di aquarium, kan? Kamu belum menepatinya, Sean, jadi bangunlah!"
Kota kini basah sepanjang waktu dan hujan tak kunjung reda, seolah ikut merasakan kesedihan yang mendalam.
Di luar sana, air mulai merangkak naik ke jalan-jalan kecil, tapi Liliana tidak terganggu. Hanya satu hal yang dia inginkan.
Sean membuka mata, meski hanya sekali saja.
Pagi itu, cahaya matahari perlahan menembus tirai rumah sakit dan suasana ruangan yang selama ini hanya dipenuhi suara mesin monitor dan desah napas Liliana kini berubah.
Monitor jantung memperlihatkan perubahan. Tangan Sean yang selama ini diam mulai bergerak pelan.
Liliana yang saat itu tengah tertidur di kursi dengan kepala bersandar di pinggiran ranjang, terbangun oleh gerakan kecil itu.
Matanya membelalak, tangannya langsung menggenggam tangan Sean yang bergerak.
"Sean, Sean!" bisiknya penuh harap.
Dan perlahan, mata Sean terbuka.
Semua terasa buram di awal. Tapi pandangannya langsung menangkap sosok Liliana yang berlinang air mata di hadapannya.
Sean membuka mulut, suaranya lemah namun jelas, "…Liliana?"
Namun, sebelum sempat Liliana menjawab, angin lembut berhembus melalui jendela yang sedikit terbuka.
Tetes air terakhir jatuh dari langit dan hujan pun berhenti sepenuhnya.
Tubuh Liliana tiba-tiba bersinar lembut, dan dalam sekejap, dia lenyap tanpa sempat mengucapkan satu kata pun.
Sean hanya melihat kursi yang kini kosong. Tangannya yang tadi digenggam kini hanya menggenggam udara.
Dia menoleh ke jendela, langit begitu biru, cerah dan tidak ada setitik pun awan, hujan benar-benar telah berakhir.
Namun, ada sesuatu yang tertinggal aroma samar khas hujan, dan kehangatan yang masih terasa di tangannya.
Dia menutup mata sejenak dan berkata lirih, "Tadi kamu ada di sini, kan?"
Senyap menyelimuti ruangan, tapi senyum tipis muncul di wajah Sean.
Meski terluka karena kehilangan Liliana lagi, kali ini dia tidak menangis karena dia yakin sebagian dari Liliana masih bersamanya.
Sean yang masih duduk bersandar di tempat tidur rumah sakit tersenyum samar melihat teman-temannya masuk dengan wajah antusias. Namun, senyum itu segera memudar ketika Elio berbicara duluan dengan nada heran.
"Eh, bro, lo beneran udah bangun. Tapi mana cewek Lo itu?"
Yang lain mengangguk, ikut-ikutan penasaran.
"Yang jaga lo tiap hari, dia cantik banget, bener-bener gak ninggalin lo sama sekali. Bahkan waktu lo belum sadar, dia kayak gak pernah tidur."
Sean terdiam sesaat dan pandangannya menurun ke tangan kanannya, seolah masih bisa merasakan genggaman hangat dari Liliana beberapa waktu lalu.
"Elio," ujar Sean pelan, "Kalian semua lihat dia, kan?"
"Ya jelas! Kita bahkan sempat ngasih makanan ke dia, dia sopan, baik, tapi siapa dia sebenernya? Lo belum pernah ngenalin dia ke kita," ucap salah satu temannya yang lain.
Sean menarik napas dalam. "Namanya Liliana"
Dia menatap keluar jendela, langit cerah tanpa jejak hujan.
"—Dan aku gak yakin aku bisa menjelaskannya tanpa kalian menganggapku gila."
Ruangan jadi hening, semua teman-temannya saling bertukar pandang. Namun, Elio yang paling dekat dengannya semakin mendekat dan duduk di sisi tempat tidur.
"Coba aja dulu, bro! Kita bakal dengerin kok."
Sean menatap mereka satu per satu, lalu mulai menceritakan segalanya tentang pertemuannya dengan Liliana saat hujan, tentang keanehan cara dia muncul dan menghilang, tentang ketakutan kehilangan dan bagaimana Liliana tidak pernah lepas dari pikirannya.
Teman-temannya menyimak dengan penuh perhatian, wajah mereka serius. Tidak ada tawa, tidak ada sindiran dan saat Sean selesai, Elio menepuk bahu Sean.
"Kalau itu memang nyata buat lo, maka kita bakal percaya."
Sean terdiam. Perlahan, matanya memerah.
Meskipun Liliana telah menghilang lagi, ternyata dia tidak benar-benar sendiri.
...----------------...
Liliana membuka matanya perlahan. Pandangannya kabur, namun dia bisa merasakan tangan hangat menggenggam jemarinya erat. Saat matanya mulai terbiasa dengan cahaya, dia melihat sosok ayahnya—Demian, duduk di sampingnya dengan senyum penuh rasa lega.
"Liliana kau bangun juga," bisik Demian dengan suara serak karena menahan haru.
Liliana mencoba tersenyum, meski tubuhnya terasa berat dan pikirannya sedikit pusing. Namun, satu hal yang dia rasakan begitu kuat adalah kerinduan. Kerinduan yang dalam dan menyakitkan. Rindu pada seseorang yang kini tidak ada di hadapannya—Sean.
Tak lama kemudian, beberapa dokter masuk ke ruangan dengan ekspresi terkejut namun senang.
Mereka segera memeriksa Liliana, namun yang membuat mereka heran adalah kondisi fisik Liliana yang tampak lelah, kulitnya pucat, matanya sedikit cekung, dan lingkaran hitam terlihat jelas di bawah matanya.
Salah satu dokter bahkan bergumam, "Ini aneh, seharusnya setelah tidur selama satu minggu penuh, tubuhnya justru tampak segar."
Demian mendengar itu, dan keningnya langsung berkerut.
"Periksa dia secara menyeluruh, aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi."
Para dokter segera melakukan pemeriksaan lengkap. Setelah beberapa waktu, hasilnya keluar dan dokter utama menghadap Demian dengan wajah kebingungan.
"Secara medis, Tuan Demian, putri Anda dalam kondisi sehat. Tidak ada cedera atau gangguan organ apapun. Satu-satunya hal yang kami temukan adalah tanda-tanda kelelahan dan kurang tidur parah."
Demian terdiam, tatapannya kembali jatuh pada Liliana yang kini hanya duduk diam di tempat tidur, matanya menerawang, kosong, namun penuh dengan emosi yang tak bisa dijelaskan.
"Bagaimana mungkin." gumam salah satu dokter. "Bukankah Liliana telah tidur selama lima tahun dan baru saja tidur lagi selama satu minggu penuh?"
Liliana mendengar semua itu. Namun, pikirannya masih melayang pada hujan, pada senyuman hangat itu, pada tangan yang memeluknya dalam diam.
Dia tahu jawabannya, tidurnya di dunia ini adalah kepergiannya dari dunia Sean dan meski tubuhnya mungkin tertidur, jiwanya tidak.
Dia menoleh perlahan ke arah ayahnya. "Ayah apakah hujan masih turun di luar sana?"
Demian menatap putrinya dengan tatapan bingung. "Tidak, langit sudah sangat cerah, Liliana, kenapa kau bertanya begitu?"
Liliana hanya menunduk, sebuah senyum tipis menghiasi wajahnya, namun mata itu meneteskan air mata.
"Kalau begitu, apa aku akan benar-benar pergi dari sisinya di musim panas ini?"