Saat gerbang Nether kembali terbuka, Kate Velnaria seorang Ksatria Cahaya terkuat Overworld, kehilangan segalanya. Kekuatan Arcanenya hancur di tangan Damian, pangeran dari kegelapan. Ia kembali dalam keadaan hidup-hidup, tetapi dunia yang dulu dikenalnya perlahan berubah menjadi asing. Arcane-nya menghilang, dan dalam bayang-bayang malam Damian selalu muncul. Bukan untuk membunuh, tetapi untuk memilikinya.
Ada sesuatu dalam diri Kate yang membangkitkan obsesi sang pangeran, sebuah rahasia yang bahkan dirinya sendiri tidak memahaminya. Di antara dunia yang retak, peperangan yang mengintai, dan bisikan kekuatan asing di dalam dirinya, Kate mulai mempertanyakan siapa dirinya sesungguhnya dan mengapa hatinya bergetar setiap kali Damian mendekat.
Masa lalu yang terkubur mulai menyeruak, membawa aroma darah, cinta, dan pengkhianatan. Saat kebenaran terungkap, Kate harus memilih antara melawan takdir yang membelenggunya atau menyerahkan dirinya pada kegelapan yang memanggil dengan manis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aria Monteza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7. Luka yang terungkap
Hari-hari berlalu dalam kesibukan yang berat. Kate perlahan mulai beradaptasi dengan cara berlatih tim Orion. Meski kekuatan arcane-nya masih lemah, kecepatan dan kelincahannya dalam pertarungan fisik membuatnya mampu bertahan sejauh ini.
Setiap pagi, ia berlatih bersama Orion, Lyra, Jasper, dan Danzzle. Malamnya, Kate menghabiskan waktu di kamarnya, meniup seruling emas dan masuk ke dalam Alam Jiwa, berlatih diam-diam untuk memperbaiki dan memperkuat arcane-nya tanpa sepengetahuan orang lain. Namun hari ini, pelatihan terasa berbeda.
Orion berdiri di tengah lapangan latihan, matanya tajam menatap Kate dan Lyra yang sudah saling berhadapan.
"Hari ini, tidak hanya fisik," ucap Orion dengan nada tegas. "Kalian akan menggunakan arcane."
Kate menggenggam kedua tangannya, seketika merasakan ketegangan menjalar ke seluruh tubuh. Dia belum siap menggunakan arcane di depan umum, apalagi melawan Lyra, satu-satunya orang di tim ini yang terang-terangan membencinya.
"Gunakan kekuatanmu, Kate," lanjut Orion, tidak memberinya pilihan. "Ini perintah."
Kate mengangguk pelan, menahan desakan panik di dadanya. Sedangkan Lyra tersenyum miring, jelas menunjukkan rasa senangnya. Bagi Lyra, ini adalah kesempatan emas untuk menunjukkan kepada semua orang betapa tidak pantasnya Kate berada di tim mereka.
"Jangan terlalu cepat menangis, ya," ejek Lyra sambil menarik energi es dari sekelilingnya.
Udara di sekitar mereka mulai terasa dingin menggigit. Kate menarik napas dalam-dalam. Ia memanggil arcane miliknya yang sudah rapuh, membentuk percikan kecil energi cahaya di telapak tangannya. Cahaya itu bergetar tidak stabil, jauh dari kuat atau kokoh.
Lyra melancarkan serangan lebih dulu, beberapa paku es meluncur deras ke arah Kate. Dengan kelincahan yang sudah terasah, Kate berhasil menghindari serangan itu. Namun, tubuhnya tidak cukup cepat untuk menghindari semua. Sebuah pecahan es menggores lengannya, membuatnya meringis.
"Sudah itu saja?" Lyra menyerang lagi, kali ini membentuk sebuah tombak es besar dan melemparkannya ke arah Kate.
Kate mencoba membentuk perisai cahaya, tetapi energi arcane-nya terlalu lemah. Perisai itu hancur sebelum benar-benar terbentuk. Tombak es menghantam bahu Kate keras, membuat tubuh mungilnya terlempar ke belakang dan menghantam tanah dengan suara berdebam berat. Kate terbaring, napasnya memburu, bahunya berdenyut sakit. Semua mata tertuju pada dirinya.
Lyra berdiri dengan angkuh, senyum puas menghiasi wajahnya. Beberapa anggota tim yang menonton hanya bisa saling bertukar pandang, sebagian dari mereka bergumam pelan, mengasihani Kate, sebagian lagi mencibir dengan tatapan mencemooh.
Orion berjalan mendekat dengan ekspresi sulit ditebak. Kate dengan susah payah, mendorong tubuhnya untuk duduk. Debu menempel di wajah dan pakaiannya, tapi matanya tidak menunjukkan kekalahan. Ada api kecil yang membara di sana. Melihat itu, Orion sempat terdiam sejenak.
"Sudah cukup," ucap Orion dingin kepada Lyra, yang masih berdiri dengan sikap siap menyerang. "Kau menang."
Lyra mengangkat bahu santai, seakan kemenangan itu memang sudah pasti dari awal. Orion berlutut di hadapan Kate, mengulurkan tangan untuk membantunya berdiri. Awalnya Kate menatap tangan itu sejenak, sebelum akhirnya menerima uluran tersebut dan bangkit dengan sedikit terpincang.
"Kau masih terlalu ragu pada kekuatanmu," bisik Orion rendah, hanya cukup terdengar oleh Kate. "Jika kau terus takut, kau akan selalu jatuh."
Kate menggigit bibir bawahnya, menahan rasa sakit, rasa malu, dan kemarahan yang bergejolak di dadanya. Dia tahu itu benar. Dia juga tahu, dirinya tidak bisa terus seperti ini.
Sambil membersihkan debu dari bajunya, Kate mengalihkan pandangan ke arah laut yang bergemuruh di kejauhan. Suara deburan ombak seolah memanggilnya dan mengingatkannya akan janji yang pernah ia ucapkan. Ia akan menjadi kuat. Ia akan membebaskan dirinya. Ia akan menghancurkan Damian. Dan untuk itu, ia harus melewati semua rasa sakit ini.
Latihan kembali dilanjutkan dengan anggota tim lainnya. Kate melangkah dengan lemah untuk menepi agar tidak mengganggu latihan. Namun tubuhnya limbung saat ia berusaha berjalan ke pinggir lapangan. Pandangan matanya berputar dan sebelum ia bisa mencari tempat berteduh, tubuhnya ambruk di atas tanah dengan keras.
"Kate!" seru Orion, yang langsung berlari menghampirinya.
Dengan cekatan Orion berlutut di sisi Kate, menahan tubuhnya yang nyaris tak sadarkan diri. Wajah Orion berubah panik, jarang sekali ia menunjukkan ekspresi seperti itu di hadapan timnya.
"Danzzle! Cepat ke sini!" perintah Orion tanpa menoleh.
Danzzle yang sejak tadi memperhatikan dari pinggir lapangan, segera berlari dengan tas kecil berisi perlengkapan medis di tangannya. Sementara itu dari sisi lapangan, Lyra hanya berdiri dengan tangan bersedekap. Senyum mengejek terpampang di wajahnya.
"Hmph, memalukan," gumam Lyra cukup keras hingga terdengar beberapa orang di sekitarnya. "Kalau seperti ini, sebaiknya dia keluar saja dari tim kita. Dia hanya akan jadi beban."
Orion yang mendengarnya, segera berdiri dan menghampiri Lyra. Suaranya tetap tenang, tetapi penuh tekanan.
"Jaga kata-katamu, Lyra," ucapnya dingin. "Dia bagian dari tim ini. Kau bukan siapa-siapa untuk mengusirnya."
Lyra menatap Orion dengan tajam, ingin membantah, tetapi melihat sorot mata pemimpin mereka, ia akhirnya mengalihkan pandangannya dengan kesal.
Sementara itu, Danzzle sudah berlutut di sisi Kate, mengeluarkan sihir penyembuh miliknya. Tangannya bersinar lembut dengan cahaya hijau saat ia memeriksa kondisi Kate lebih dalam. Namun saat arcane-nya bersentuhan dengan inti arcane Kate, Danzzle terkejut. Matanya melebar, tangannya sedikit gemetar.
“Apa ini?” pikir Danzzle.
Arcane Kate terasa aneh. Benih kehidupan di dalam tubuhnya tidak murni bersinar emas seperti ksatria cahaya biasa. Sebaliknya, ada sulur merah pekat yang mengikat benihnya dan kabut hitam kelam yang mendominasi di sekeliling benih itu. Sesuatu yang tidak seharusnya dimiliki seorang ksatria cahaya.
Lebih mengejutkan lagi, Danzzle bisa merasakan bagaimana benih itu tampak terbelah, seolah Kate membangun arcane-nya dari puing-puing kehancuran masa lalu. Arcane yang tumbuh bukan dari kedamaian, melainkan dari penderitaan, kemarahan, dan luka yang belum tersembuhkan.
Sadar akan tatapan Danzzle yang berubah aneh, Kate perlahan membuka mata. Ia mengerti bahwa Danzzle telah melihat sesuatu yang tidak seharusnya. Dengan lemah, Kate meraih tangan Danzzle dan berbisik lirih, nyaris tak terdengar.
"Tolong... jangan katakan ini pada siapa pun..." Suara Kate begitu rapuh, tetapi ada permohonan kuat di baliknya.
Danzzle menatap mata Kate, melihat ketakutan sekaligus tekad di sana. Akhirnya, ia hanya mengangguk kecil dan melanjutkan penyembuhan tanpa banyak berkata-kata.
Orion kembali setelah menenangkan Lyra, dan saat melihat Danzzle telah selesai, ia berjongkok di sisi Kate.
"Dia akan baik-baik saja," ujar Danzzle, memilih kata-katanya dengan hati-hati. "Tubuhnya hanya kelelahan, mungkin dia butuh istirahat beberapa hari."
Orion mengangguk, lalu tanpa banyak bicara, membopong Kate dalam gendongannya menuju kastil.
Kate yang setengah sadar merasakan kehangatan aneh dari lengan Orion, tetapi pikirannya sudah terlalu lelah untuk memprotes. Sebelum kesadarannya menghilang sepenuhnya, satu hal terlintas dalam benaknya. Ia harus menjadi lebih kuat dan tidak boleh hancur di sini.
***
Malam turun perlahan, membalut kastil pelatihan dengan udara sejuk dari arah lautan. Suasana di dalam bangunan itu mulai tenang setelah satu hari penuh pelatihan keras. Diam-diam tanpa menarik perhatian siapa pun, Danzzle melangkah menyusuri lorong panjang menuju kamar Kate. Ada terlalu banyak pertanyaan yang berputar di kepalanya setelah apa yang ia lihat di siang hari.
Saat ia sampai di depan pintu kayu sederhana yang menjadi kamar Kate. Ia hampir saja mengetuk, tetapi pintu itu sedikit terbuka. Dari celahnya, Danzzle melihat Leon baru saja keluar dari dalam kamar dengan ekspresi lelah. Mereka berdua berpapasan.
"Ah, Danzzle," sapa Leon singkat, suaranya tenang. "Kau ingin menemui Kate?"
Danzzle mengangguk, sedikit canggung. "Aku hanya ingin memastikan kondisinya dan mungkin bicara sedikit," jawabnya.
Leon tersenyum samar. "Dia sudah baikan, hanya perlu istirahat. Jangan terlalu lama, dia butuh istirahat," katanya sebelum berlalu di lorong, meninggalkan Danzzle sendiri.
Setelah menarik napas panjang, Danzzle mendorong pintu dan masuk. Di dalam kamar, Kate duduk bersandar di ranjang, selimut tipis menutupi kakinya. Cahaya remang dari lampu sihir membuat bayangan lembut di wajahnya yang tampak lebih pucat dari biasanya. Kate menoleh dan tersenyum kecil saat melihat siapa yang datang.
"Danzzle, ada apa?" tanya Kate pelan.
Danzzle menutup pintu perlahan, lalu berjalan mendekat dan duduk di kursi di samping tempat tidur Kate.
"Aku hanya ingin berbicara. Soal arcanemu," kata Danzzle, sedikit ragu.
Kate menunduk, ekspresinya berubah kaku. "Apa yang ingin kau ketahui?" tanyanya, suara Kate terdengar datar.
Danzzle mengusap tengkuknya dengan gelisah sebelum akhirnya bertanya,
"Bagaimana arcanemu bisa, hancur seperti itu? Aku belum pernah melihat hal seperti ini sebelumnya."
Sejenak Kate terdiam. Ia menatap kosong ke luar jendela, seperti mencari kekuatan untuk menjawab. Akhirnya ia berkata lirih.
"Aku bertarung dengan seseorang, yang jauh lebih kuat. Arcane-ku tidak mampu menahan serangannya, dan pecah," kata Kate, sengaja menyembunyikan detail tentang siapa yang ia lawan.
"Aku mengerti," gumam Danzzle mendesah pelan. Lalu, dengan suara serius ia melanjutkan, "Tapi kau harus tahu satu hal, Kate. Arcanemu tumbuh dengan cara yang tidak biasa."
Kate menoleh perlahan, menatap Danzzle dengan sedikit kebingungan.
"Pertumbuhan paksa seperti ini," lanjut Danzzle, "memang membuat arcanemu bisa menjadi sangat kuat, mungkin jauh lebih kuat dari ksatria biasa. Tapi jika kau tidak hati-hati, arcane itu bisa membunuhmu dari dalam."
Kate menunduk dalam-dalam, tangan di atas selimut mengepal erat. Ia sudah menyadari risikonya, tetapi mendengar kata-kata itu diucapkan langsung oleh orang lain membuat kenyataan itu terasa lebih berat.
"Aku..." Kate membuka mulutnya, ragu-ragu. "Aku tidak punya pilihan. Aku harus menumbuhkan arcaneku kembali untuk seseorang." Suaranya mengandung luka mendalam yang tidak ia ungkapkan.
Danzzle menatap Kate dalam-dalam, mencoba membaca ekspresi gadis itu. Untuk sesaat, ia berpikir. "Untuk seseorang?" tanyanya perlahan, mencoba tersenyum. "Kekasihmu?"
Kate mengangkat wajahnya, terkejut.
"Wah, maaf... aku tidak bermaksud lancang," ucap Danzzle cepat, merasa bersalah. "Tapi siapa pun dia, dia pasti sangat berarti bagimu."
Kate tersenyum getir dan tidak menjawab. Ia membiarkan Danzzle salah paham. Lebih baik begitu.
Melihat Kate tidak membantah, Danzzle menarik napas panjang lalu mencondongkan tubuh ke depan. "Kalau begitu, biarkan aku membantumu," katanya mantap. "Aku akan membantumu memperbaiki arcanemu. Aku tidak tahu seberapa besar aku bisa membantu, tapi aku janji akan melakukan yang terbaik."
Kate menatap Danzzle lama, seolah mencoba memastikan ketulusan pria itu. Akhirnya ia mengangguk pelan. "Terima kasih, Danzzle."
Senyuman kecil merekah di bibir Kate. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa sedikit lebih ringan. Mungkin, hanya mungkin, ia tidak benar-benar sendirian dalam perjalanan panjangnya.
Malam itu, di bawah sinar bulan yang menyusup dari balik tirai, diam-diam sebuah ikatan kepercayaan mulai tumbuh di antara mereka. Ikatan yang mungkin akan menjadi penyelamat Kate di masa depan atau justru sumber luka yang baru.
***
Malam itu, ketika seluruh kastil terlelap dalam sunyi, Kate kembali memasuki Alam Jiwanya. Namun kali ini, bukan untuk berlatih atau memperkuat dirinya. Ia hanya ingin melihat dan ingin memahami seberapa jauh luka dalam dirinya itu.
Di dunia dalam dirinya itu, Kate berdiri di tengah hamparan padang kosong berwarna kelabu. Angin lembut berhembus, membawa serpihan cahaya keemasan yang segera sirna begitu menyentuh tanah.
Di hadapannya, benih Arcane miliknya berdiri sendirian. Bukan lagi bunga yang hampir mekar sempurna seperti dulu. Kini Arcane miliknya hanya sebuah kuncup bunga kecil yang tampak rapuh, berwarna emas samar. Kelopaknya hampir tidak bisa menahan angin, bergoyang pelan seolah bisa runtuh kapan saja.
Kate mendekat, berlutut di depannya. Matanya yang jernih menatap kuncup itu dengan perasaan campur aduk antara sayang, marah, sedih, dan terluka. Yang membuat Arcanenya bertahan hanyalah sulur-sulur tipis berwarna merah yang melilit di batangnya, dan kabut hitam lembut yang mengelilinginya. Gabungan yang aneh. Kontras dengan cahaya suci keemasan milik Arcane aslinya.
Kate mengulurkan tangan, jemarinya bergetar saat hampir menyentuh kuncup itu. Ia bisa merasakan panas samar dari sulur merah itu, seperti bara api yang tidak pernah padam. Dan dinginnya kabut hitam. Tenang, membisikkan janji kekuatan yang berbahaya.
"Kenapa begini?" bisik Kate pada dirinya sendiri.
Ia tahu, sulur merah itu berasal dari luka lamanya. Dari kemarahan, dendam, dan tekad untuk bertahan hidup. Sedangkan kabut hitam tipis itu. Ia tidak bisa membohongi dirinya sendiri. Itu adalah jejak Damian. Entah karena cincin kutukan itu, atau mungkin karena sesuatu yang lebih dalam, sebuah ikatan tak kasat mata yang belum bisa ia hancurkan. Air mata nyaris menggenang di matanya, tetapi Kate menahan diri. Tidak ada gunanya menangis.
"Aku tidak akan runtuh," katanya tegas, lebih pada dirinya sendiri daripada pada bunga itu. "Aku akan membuatmu mekar lagi, dengan kekuatan tanganku sendiri."
Meskipun hatinya tahu. Mekarnya kuncup itu nanti, mungkin bukan hanya cahaya keemasan yang akan muncul. Mungkin bunga itu akan membawa warna merah darah dan hitam kegelapan bersamanya.
Namun Kate tidak peduli. Selama ia bisa menjadi lebih kuat, selama ia bisa melindungi orang-orang yang berarti baginya. Ia bersedia mengambil risiko itu. Di dalam keheningan Alam Jiwanya, Kate duduk bersila di hadapan benih Arcane itu, membiarkan dirinya larut dalam detak hidupnya yang lemah. Mencoba menyatukan hatinya dengan kekuatan yang bertahan di tengah kehancuran.