Di balik kebahagiaan yang ku rasakan bersamanya, tersembunyi kenyataan pahit yang tak pernah ku duga. Aku merasa istimewa, namun ternyata hanya salah satu dari sekian banyak di hatinya. Cinta yang ku kira tulus, nyatanya hanyalah bagian dari kebohongan yang menyakitkan.
Ardian memejamkan mata, napasnya berat. “Aku salah. Tapi aku masih mencintaimu.”
“Cinta?” Eva tertawa kecil, lebih mirip tangis yang ditahan. “Cinta seperti apa yang membuatku merasa sendirian setiap malam? Yang membuatku meragukan harga diriku sendiri? Cintamu .... cintamu telah membunuhku perlahan-lahan, hingga akhirnya aku mati rasa. Itukah yang kamu inginkan, Mas?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon X-Lee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
7. Cintamu Membunuhku
Eva menatap Ardian dengan mata yang berkilat, menahan air mata yang nyaris jatuh. “Kamu gak usah sok suci deh, Mas. Aku tahu semua. Tentang perempuan itu. Rumah yang kamu beli diam-diam. Waktu yang kamu habiskan di luar, katanya kerja… ternyata kamu sedang peluk-pelukan sama istri kedua kamu itu!”
Ardian terdiam. Untuk pertama kalinya, wajahnya kehilangan ketegasan. Ia membuka mulut, ingin membela diri, tapi tidak ada kata-kata yang keluar. Dia berpikir, dari mana Eva tahu tentang pernikahannya? Apa jangan-jangan Lisna yang mengatakan nya. Sial!
Eva tersenyum getir. “Akhirnya diam juga. Kamu pikir aku bodoh? Kamu sudah memiliki keluarga yang lengkap yaa, Mas. Ada istri dan seorang bayi tampan. Dia sangat mirip dengan kamu. Munafik jika aku mengatakan, kalau aku bahagia melihat kalian, hatiku sangat sakit, Mas. Itu sebabnya aku ingin bercerai, aku enggak sanggup lagi. Tapi kamu.... kamu masih bisa bilang kamu gak mau cerai?”
“Aku—aku tetap suami kamu, Eva. Kamu istri sahku. Aku gak mau kehilangan kamu,” ujar Ardian pelan, nyaris seperti bisikan. "Kami hanya menikah siri. Perempuan itu, dia hanya melahirkan anak untukku saja. Aku tidak mencintainya."
“Suami sah? Tapi sudah tiga tahun kamu memperlakukan aku seperti bayangan! Masuk rumah pun kamu seperti sedang numpang tidur. Jangan sebut aku istrimu, kalau kamu bahkan tidak ingat hari anniversary pernikahan kita tiga tahun terakhir ini. Dan tadi apa kamu bilang, kamu tidak mencintainya? Jangan bohong deh, Mas. Kamu itu sangat manipulatif, kalau kamu enggak cinta, kamu enggak mungkin selalu bersamanya."
Eva mengeluarkan semuanya dengan perasaan sakit. Hatinya hancur sekali mengetahui fakta, jika suaminya menikah lagi dan punya seorang anak. Dari mana dia tahu hal itu?
Tadi pagi, Eva mendapatkan sebuah video. Dia pun penasaran, lalu membukanya. Dan betapa syok nya dia. Dia melihat suaminya sedang bermain dan menjaga seorang bayi laki-laki. Bayi itu sangat mirip dengan suaminya. Dan dia juga melihat seorang perempuan berpakaian modis disisi suaminya. Mereka terlihat bahagia sekali. Apalagi, dia juga mendapatkan foto pernikahan suaminya dengan perempuan itu. Eva meremas tangannya, hatinya sakit sekali menerima semua itu.
Ardian memejamkan mata, napasnya berat. “Aku salah. Tapi aku masih mencintaimu.”
“Cinta?” Eva tertawa kecil, lebih mirip tangis yang ditahan. “Cinta seperti apa yang membuatku merasa sendirian setiap malam? Yang membuatku meragukan harga diriku sendiri? Cintamu .... cintamu telah membunuhku perlahan-lahan, hingga akhirnya aku mati rasa. Itukah yang kamu inginkan, Mas?"
Keheningan mengisi ruangan. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar, seakan menghitung mundur waktu berakhirnya sebuah hubungan.
“Aku akan keluar dari rumah ini hari ini juga,” kata Eva akhirnya, suaranya tenang namun tegas. “Kalau kamu masih belum mau menceraikan aku, biar aku yang pergi. Karena mempertahankan hubungan ini… sama saja aku bunuh diriku pelan-pelan.”
“Eva, tunggu—”
Tapi Eva sudah melangkah pergi, membawa serta sepotong harga diri yang selama ini ia kumpulkan dari serpihan luka.
Ardian dengan cepat menarik pergelangan tangan istrinya. Dengan gerakan yang nyaris panik, dia mendekap Eva erat ke dalam pelukannya, seolah pelukan itu bisa menghentikan dunia dari runtuh.
"Maaf... maafkan aku," bisik Ardian, suaranya parau penuh sesal. "Aku mengaku salah. Tapi, aku sangat mencintai kamu, sayang. Aku mohon, jangan tinggalkan aku."
Pelukannya mengerat. Tubuh Eva terasa dingin, kaku. Tapi Ardian bisa merasakan degup jantungnya yang berpacu cepat. Ia tahu, perempuan ini masih menyimpan luka. Luka yang ia ciptakan. Luka yang ia biarkan bernanah dalam diam, selama ini.
"Eva… aku nggak sanggup kehilangan kamu. Kamu segalanya buat aku. Aku sadar sekarang… aku sadar waktu hampir kehilangan kamu."
Eva mulai memberontak, tangannya berusaha lepas, mendorong dada suaminya dengan tenaga yang melemah karena emosi yang terlalu lama ia pendam.
"Lepaskan aku, Mas!" serunya, matanya basah tapi tidak menangis. Emosinya terlalu penuh hingga air mata pun enggan jatuh lagi.
Namun Ardian tetap mengeratkan pelukannya, seperti ingin menyatu kembali dengan perempuan yang tanpa sadar telah lama ia acuhkan. "Tidak. Aku tidak akan melepaskan kamu. Nanti kamu pergi… meninggalkan aku… aku enggak sanggup."
Eva terdiam sejenak, lalu akhirnya tubuhnya lunglai. Bukan karena luluh, tapi karena lelah. Hancur. Patah. Suaranya berubah menjadi lirih, seperti sisa napas yang memohon pengertian.
"Baiklah," katanya. "Kamu bisa mengurung aku di rumah ini sepuas hati kamu. Kamu bisa melihat aku berjalan seperti mayat hidup. Tanpa senyum. Tanpa harapan. Tanpa cahaya. Itu yang kamu inginkan dariku, kan, Mas?"
Ardian menatap mata Eva. Dan untuk pertama kalinya, dia melihat apa yang tak pernah ia pedulikan: kehampaan. Tak ada lagi api kemarahan, tak ada lagi tangis atau amarah. Yang tersisa hanyalah kekosongan.
"Kamu tahu apa yang paling menyakitkan?" lanjut Eva pelan, menatapnya lurus. "Bukan karena kamu menyakiti aku. Tapi karena kamu tahu aku tersakiti… dan kamu tetap diam. Kamu tetap pergi. Kamu tetap memilih dia."
Ardian merasa hatinya sakit mendengar perkataan istrinya itu. Dia ingin bicara, tapi tenggorokannya tercekat. Ia ingin minta maaf, ingin berkata bahwa ia menyesal, ingin mengatakan semuanya akan berubah. Tapi semua itu terasa hampa sekarang.
Karena ia sadar: cinta yang diabaikan terlalu lama, bisa layu tanpa suara. Dan Eva... mungkin sudah tidak lagi ingin bertahan, bahkan meski hatinya masih mencintai.
Pelukan itu kini terasa seperti perpisahan yang tertunda.
Eva memejamkan mata, menarik napas panjang, dan membiarkan pelukan itu menggenggam tubuhnya untuk beberapa detik terakhir. Ada getir yang menggulung di dadanya, seperti ombak yang tak kunjung surut.
“Kamu tahu, Mas…” bisiknya pelan, nyaris seperti doa yang patah. “Aku dulu perempuan paling bahagia saat kamu melamarku. Aku bangun setiap pagi dengan senyum, menunggumu pulang, memasak makanan kesukaanmu, menghitung menit demi menit hanya untuk melihat wajahmu sebentar saja... Tapi perlahan, aku mulai lupa rasanya bahagia.”
Ardian menutup matanya. Dada kirinya sesak. Seolah setiap kata Eva menusuk langsung ke jantungnya.
“Aku terus bertahan, berharap kamu kembali jadi Ardian yang dulu. Yang memelukku tanpa diminta. Yang memujiku walau aku hanya pakai daster saja. Tapi kamu berubah, Mas... dan aku tetap berdiri di tempat, menunggumu... sendirian, kesepian di malam hari. Kamu datang di saat kamu butuh saja.”
Eva melepaskan diri dari pelukannya. Kali ini Ardian tak bisa menahan. Tangannya lemas. Seolah tenaganya diambil oleh kenyataan yang telat ia sadari.
Eva menatap wajah suaminya untuk terakhir kalinya, dalam-dalam. “Aku mencintaimu, Mas. Sampai detik ini pun... aku masih mencintaimu. Tapi kalau cinta cuma membuatku terluka, mungkin saatnya aku mencintai diriku sendiri lebih dulu.”
"Eva, jangan...” Ardian bergumam lirih, seperti anak kecil yang kehilangan arah.
“Jaga dirimu baik-baik,” ucap Eva seraya memutar tubuh. Langkahnya pelan tapi pasti, menjauh dari laki-laki yang dulu ia percaya akan selalu menggenggamnya sampai tua.
Ardian jatuh berlutut di lantai, tangannya menutup wajah, menggigit bibir untuk menahan tangis. Ruangan yang dulu penuh kenangan kini hanya menyisakan gema dan suara pintu yang perlahan tertutup… bersamaan dengan kepergian cinta sejatinya.
Dan untuk pertama kalinya, Ardian merasa benar-benar sendirian—tanpa dia, tanpa Eva.
***