Rasa trauma karena mahkotanya direnggut paksa oleh sahabat sendiri membuat Khanza nekat bunuh diri. Namun, percobaannya digagalkan oleh seorang pria bernama Dipta. Pria itu jugalah yang memperkenalkannya kepada Vania, seorang dokter kandungan.
Khanza dan Vania jadi berteman baik. Vania menjadi tempat curhat bagi Khanza yang membuatnya sembuh dari rasa trauma.
Siapa sangka, pertemanan baik mereka tidak bertahan lama disebabkan oleh perasaan yang terbelenggu dalam memilih untuk pergi atau bertahan karena keduanya memiliki perasaan yang sama kepada Dipta. Akhirnya, Vania yang memilih mundur dari medan percintaan karena merasa tidak dicintai. Namun, Khanza merasa bersalah dan tidak sanggup menyakiti hati Vania yang telah baik padanya.
Khanza pun memilih pergi. Dalam pelariannya dia bertemu Ryan, lelaki durjana yang merenggut kesuciannya. Ryan ingin bertanggung jawab atas perbuatannya dahulu. Antara cinta dan tanggung jawab, siapakah yang akan Khanza pilih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Dua Belas
Fanny bangun dengan malas. Seharusnya dia telah berada di luar negeri saat ini. Tapi, dia lebih memilih tetap di sini karena tak mau jauh dari kekasihnya Toni. Dia mau bekerja di kota ini saja.
Fanny lalu berjalan ke kamar mandi. Seminggu ini dia merasa kepalanya pusing dan sering mual. Rasanya malas mau mengerjakan apa pun. Jika dia mau menuruti kata hati, dia mau tidur saja.
Kemarin dia, Toni dan juga Ryan dan kekasihnya, baru saja merayakan kemenangan Ryan atas sebuah proyek. Selain kaya, Ryan memang pintar. Mereka merayakan di klub malam.
"Apa ini masih efek dari minuman kemarin?" pikir Fanny. Tapi dia ragu jika itu karena minuman yang dia teguk di klub. Dia hanya minum sedikit karena memang tubuhnya terasa kurang sehat.
Fanny lalu membasuh wajahnya. Kembali rasa mual itu dia rasakan. Tak tahan lagi, dia memuntahkan semua isi perutnya. Hingga dia merasa lelah.
"Sebenarnya aku ini kenapa? Apa aku pergi ke dokter saja, takutnya aku mengidap satu penyakit," ucap Fanny.
Dia berjalan keluar dari kamar mandi setelah membasuh wajahnya. Fanny memutuskan akan ke rumah sakit saja. Dari pada dia kuatir sendiri.
Akhirnya, setelah berjuang dengan rasa lemas dan pusing, Fanny memutuskan untuk pergi ke dokter. Dia mengendarai sendiri mobilnya menuju klinik terdekat. Di ruang tunggu, dia tidak bisa berhenti memikirkan tentang gejala yang beberapa minggu ini dia rasakan. Pusing, mual, dan yang paling aneh, perasaannya yang nggak karuan.
“Fanny?” panggil seorang perawat.
Dia berdiri dan mengikuti perawat itu ke ruang dokter. Dokter Ramadani menyambutnya dengan senyuman hangat.
“Selamat datang, Fanny. Apa kabarnya? Ceritakan apa saja keluhan yang bikin kamu datang ke sini?” tanya Dokter Ramadani dengan nada ramah.
Fanny menghela napas, “Saya ... tubuh saya sering merasa lemas. Selama seminggu ini saya juga sering pusing dan mual, Dok.”
Dokter Ramadani mengernyit kening, lantas mulai memeriksa detak jantungnya. “Ada kemungkinan kamu mengalami gejala-gejala seperti hamil. Apa kamu pernah berhubungan, Fanny?”
Fanny terdiam sejenak. Dia ingat saat-saat bersama Toni, kekasihnya. Dan memang mereka sering melakukan hubungan, tapi seingatnya pria itu selalu memakai pengaman, walau pernah juga tidak. “Iya, Dok. Tapi ... aku cukup berhati-hati,” jawabnya pelan.
“Mungkin lebih baik jika kamu melakukan tes kehamilan,” ujar dokter sambil meraih sebuah alat tes kehamilan atau lebih populer disingkat tespek. “Saya tahu kamu mungkin keberatan, tapi ini untuk kebaikanmu juga.”
“Ah, saya rasa itu nggak perlu, Dok,” tolaknya secara impulsif.
Dokter Ramadani mengangkat alis, “Sebaiknya kamu coba saja. Gejala-gejala yang kamu alami cenderung menunjukkan hal itu.”
Setelah beberapa detik ragu, Fanny mengangguk. “Baiklah, saya akan melakukannya.”
Setelah menjalani tes, Fanny menunggu dengan jantung berdebar. Jari-jarinya menyentuh wajahnya yang dingin. Sesaat kemudian, perawat keluar dan memberikan hasilnya.
“Selamat Mbak Fanny, hasilnya Anda positif hamil,” kata perawat itu, memerhatikan ekspresi wajah Fanny yang berubah menjadi shock.
“Positif hamil?” Fanny bertanya dengan rasa tidak percaya.
Dokter Ramadani melanjutkan, “Saya sarankan kamu melakukan pemeriksaan lebih lanjut ke dokter kandungan untuk memastikan semuanya baik-baik saja.”
Fanny merasa jantungnya berdegup kencang. Semua ini terlalu cepat baginya. Tanpa berpikir panjang, dia berjalan keluar dari klinik dan menuju dimana mobilnya terparkir. Tujuannya kini adalah apartemen Toni.
Dia belum siap hamil. Dia masih ingin bebas. Apa lagi sebentar lagi Fanny akan mulai bekerja. Dia baru saja membuka butik dengan dua sahabatnya yang lain.
Dengan cepat, Fanny sampai di apartemen Toni. Pintu diketuknya dengan suara bergetar, berusaha tenang meskipun hatinya berdesir. Beberapa saat kemudian, Toni membuka pintu dengan ekspresi bingung.
“Fanny? Kenapa datang tiba-tiba?” tanya Toni, sambil menggosok-gosok matanya. Berbeda dengan Fanny, pria itu tak mau memberikan kode masuk ke apartemennya.
Tanpa basa-basi lagi, Fanny langsung memberikan kabar mengejutkan. “Toni, aku ... aku hamil,” ucapnya dengan wajah cemas.
Wajah Toni seketika berubah. Alih-alih senang, ada keraguan di dalam matanya. “Hamil? Seriusan?”
“Iya! Hasil tesnya positif,” Fanny menjawab, merasa frustrasi.
Toni mengerutkan kening, “Tunggu, tunggu. Apa kamu yakin itu anakku? Kita kan sudah hati-hati, Fanny.”
Kedua kata itu seperti petir yang menghantam hatinya. “Maksudmu apa? Aku sudah ke dokter, aku sudah melakukan tes! Kenapa kamu meragukan aku?”
“Bukan, bukan itu maksudku! Aku hanya ... bingung. Aku melakukan selalu memakai pengaman, kenapa kamu bisa hamil?"
“Bingung!” Fanny berteriak, “Ini bukan hal yang bisa dibingungkan, Toni! Ini hidupku! Hidup kita! Kamu lupa jika di apartemenku saat bersama Khanza kamu tak pakai pengaman. Kita melakukan beberapa kali hingga pagi dan itu tanpa pengaman!"
Toni menarik napas panjang menahan emosi, “Fanny, kita perlu jelas tentang semuanya. Kita belum siap untuk jadi orang tua. Kita masih muda!”
Fanny merasakan air mata mendesak di pelupuk matanya. “Jadi, kamu kira aku siap? Aku juga tidak siap? Aku masih mau bebas, tapi kenyataan ini gak bisa kita hindari!"
“Bukan itu maksudku, Fanny! Apa pun hasilnya, kita harus membicarakannya dengan tenang. Nggak bisa kayak gini,” jawab Toni, berusaha tetap tenang.
“Tenang? Bagaimana aku bisa tenang ketika kamu meragukan anak ini! Sama saja kamu meragukan aku, apa kamu pikir aku ini ja'lang yang tidur dengan banyak pria?" Fanny merasakan hatinya dipenuhi kepedihan.
Toni terdiam, tak mampu memberikan jawaban. Fanny mengatur napas sejenak, mencoba menenangkan dirinya. Rasanya bingung dan marah bercampur menjadi satu. Dalam hatinya, dia sangat ingin anak ini ada, tetapi ketidakpastian dari Toni menjadi beban yang sangat berat.
“Fanny, kita perlu menyelesaikan ini,” katanya pelan.
“Tapi aku tidak mau menunggu lama!” bantah Fanny, “Aku sudah membuat keputusan. Sekarang tinggal kamu yang harus ikut.”
Fanny berbalik pergi dari apartemen Toni dengan hati yang hancur. Mungkin keputusan itu hanya miliknya. Air mata mulai jatuh tanpa bisa dia tahan lagi. Dia merasakan langit di atas kepalanya seolah mendung, menandakan betapa beratnya langkah yang di ambil.
Di jalan saat dia mengendarai mobil, semua pikiran berputar tak berujung. Bagaimana dia harus menghadapi semuanya seorang diri? Lagi-lagi, bayangan hari-hari indah bersama Toni pun terlintas—semua momen manis yang kini terancam hilang. Fanny merasa sendirian, sekaligus takut. Kabar ini bukan hanya tentangnya, tapi tentang masa depan yang kini mengandalkan keputusan dan keberanian.
“Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan?” batinnya, berharap ada jawaban dari semesta.
Dari kejauhan, lampu-lampu kota berkelap-kelip. Begitu ramai dan hiruk pikuk. Namun, di dalam diri Fanny, ada kesepian yang sangat dalam. Semakin jauh langkahnya, semakin jelas dia merasakan kesedihan yang mendalam; sebuah babak baru akan segera dimulai, namun tanpa dukungan yang jelas.
"Apa yang harus aku lakukan? Bagaimana caranya aku mengatakan semua ini pada papa dan mama?"
Saat lampu merah, dia melihat gawainya berbunyi, tanda ada pesan masuk. Dia melihat nama Tony, yang mengirimkan pesan. Dibukanya pesan itu.
"Bagaimana jika kamu gugurkan saja kandunganmu sebelum makin besar!"
saya Khanza...eh salah..saya khenzo 😁🤣😅🙏
vania semoga km menemukan jodoh yg baik di tempat yg baru ya
Semoga kalean selalu dalam lindungan Alloh SWT dan selalu di jaga oleh mama Reni 🤗🤗😍😍