Firman (22) punya satu prinsip dalam hidupnya: "Jangan pernah berharap sama manusia, maka kamu tidak akan kecewa." Pengkhianatan di masa lalu mengubahnya menjadi jurnalis yang dingin dan skeptis terhadap komitmen. Baginya, cinta adalah variabel yang tidak rasional.
Di sebuah lapangan badminton di Samarinda, ia bertemu Yasmin (22). Seorang dokter muda yang lembut namun memiliki tembok yang sama tingginya dengan Firman. Yasmin adalah ahli dalam mengobati fisik, tapi ia sendiri gagal menyembuhkan luka akibat ditinggalkan tanpa penjelasan.
Mereka tidak menjanjikan selamanya. Mereka hanya sepakat untuk berada di "level" yang sama sebagai teman diskusi, teman batin, namun tanpa ikatan yang mencekik. Namun, ketika masa lalu mulai kembali menagih janji dan jarak antar kota (Bontang hingga Labuan Bajo) mulai menguji, mampukah mereka tetap di level yang aman? Ataukah mereka harus memilih: Berhenti sebelum terluka, atau berani hancur demi satu kesempatan bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Firmanshxx969, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 6: RAHASIA DI TENGAH MALAM
Malam di Samarinda selalu punya cara untuk terasa lebih panjang bagi mereka yang kepalanya terlalu penuh. Suara jangkrik di balik tembok kosan yang lembap bersahut-sahutan dengan bunyi tetesan air dari keran yang tidak tertutup rapat. Firman berbaring telentang di atas kasur tipisnya, menatap langit-langit kamar yang hanya diterangi oleh cahaya biru redup dari layar ponselnya.
Tangannya masih terasa sedikit hangat. Bekas genggaman tangannya pada Yasmin di panti asuhan tadi siang seolah masih tertinggal di sana, membakar kulitnya dengan cara yang tidak masuk akal.
“Teman level adalah pokoknya.”
Firman mendengus, lalu melempar ponselnya ke samping bantal. Kalimat itu tadinya adalah tameng, sebuah garis batas yang ia gambar dengan tegas agar tidak ada lagi yang bisa masuk dan mengacak-acak hatinya. Tapi sekarang, garis itu mulai tampak kabur. Genggaman tangan itu... meski hanya akting untuk mengusir Sarah, terasa jauh lebih nyata daripada semua kata-kata rasional yang pernah ia tulis sebagai jurnalis.
Sial, aku nggak boleh begini, batin Firman. Ia memijat pangkal hidungnya yang terasa pening. Yasmin itu dokter. Dia pintar, dia peka, dan dia punya dunianya sendiri. Aku cuma jurnalis yang masih memunguti sisa-sisa harga diri dari lantai. Kami nggak di level yang sama kalau soal masa depan.
Ia baru saja hendak memejamkan mata saat ponselnya bergetar panjang. Sebuah notifikasi WhatsApp masuk. Bukan dari Yasmin. Namanya tertera dengan jelas di sana: Sarah.
Firman ragu sejenak. Ia ingin mengabaikannya, membiarkan perempuan itu tenggelam dalam drama yang ia ciptakan sendiri. Namun, rasa penasaran yang merupakan penyakit bawaan seorang jurnalis membuatnya kembali meraih ponsel tersebut.
Sarah: Fir, aku tahu kamu marah. Tapi tolong, jangan tertipu sama wajah polos dokter itu. Kamu pikir dia pindah ke Samarinda cuma karena ingin 'mengabdi'?
Firman mengerutkan kening. Jemarinya dengan cepat mengetik balasan.
Firmansah: Berhenti, Sar. Jangan bawa-bawa Yasmin dalam kekacauanmu. Urusan kita sudah selesai.
Sarah: Selesai buatmu, tapi mungkin belum buat dia. Coba kamu cari tahu kenapa dia keluar dari rumah sakit besar di Surabaya setahun lalu. Cari tahu tentang kasus 'Pasien Nomor 402' di RS Bhayangkara. Setelah itu, baru kamu bilang padaku siapa yang lebih 'rusak', aku atau dia.
Setelah pesan itu, Sarah tidak mengirimkan apa-apa lagi. Namun, ia menyertakan sebuah tautan (link) berita lama dari sebuah portal berita lokal di Jawa Timur.
Firman terdiam. Jantungnya berdegup tidak beraturan. Logikanya memerintahkan untuk menghapus pesan itu dan tidur, tapi insting investigasinya berteriak lebih keras. Di dunia jurnalisme, tidak ada asap tanpa api. Dan Sarah, meski sedang emosional, jarang berbohong soal informasi yang bisa diverifikasi.
Dengan tangan yang sedikit dingin, Firman mengeklik tautan tersebut.
Layar ponselnya memuat sebuah artikel tertanggal 14 bulan lalu. Judulnya mencolok: "Dugaan Malpraktik di Ruang IGD: Dokter Muda Terancam Sanksi Kode Etik."
Firman membaca baris demi baris dengan napas tertahan. Artikel itu menceritakan tentang seorang pasien kecelakaan yang nyawanya tidak tertolong karena keterlambatan penanganan di jam kritis. Di sana, tertulis nama seorang dokter residen yang menjadi penanggung jawab saat itu: dr. Yasmin Paramitha.
Dunia Firman seolah bergetar. Foto yang menyertai artikel itu memang buram, tapi ia mengenali sorot mata itu. Sorot mata teduh yang sama yang tadi siang menenangkan anak-anak panti asuhan. Namun di foto itu, mata itu tampak hancur, penuh ketakutan, dan terpojok di balik masker medis yang tersingkap.
Artikel itu menyebutkan bahwa dr. Yasmin akhirnya mengundurkan diri secara sepihak sebelum investigasi internal selesai. Tidak ada vonis bersalah secara hukum, tapi nama baiknya di Surabaya sudah hancur sebelum ia sempat berkembang.
Firman meletakkan ponselnya dengan kasar. Ia merasa perutnya mual.
Jadi ini alasannya dia bilang 'sama-sama sedang berusaha sembuh'? pikir Firman. Jadi ini rahasia di balik ketenangannya yang luar biasa itu? Dia bukan tenang... dia sedang melarikan diri.
Rasa kecewa yang aneh menyelinap di antara rasa kasihan. Firman merasa dikhianati oleh kejujuran yang selama ini mereka agungkan. Mereka sepakat untuk berada di "level" yang jujur, tapi Yasmin menyimpan sebuah bom waktu sebesar ini darinya.
Tiba-tiba, ponselnya kembali bergetar. Kali ini, sebuah notifikasi dari orang yang sedang ia pikirkan.
Yasmin: Mas Firman, sudah tidur? Tadi saya lupa bilang... foto-foto di panti tadi, tolong jangan lupa dikirim ke email saya, ya. Saya mau buat laporan ke yayasan. Dan... terima kasih untuk yang di panti tadi. Kamu benar-benar penyelamat saya dari suasana canggung.
Firman menatap pesan itu lama. Kalimat "penyelamat saya" terasa sangat berat sekarang. Ia ingin membalas, ia ingin langsung bertanya tentang berita itu, tapi ia tahu ini bukan waktu yang tepat. Sebagai jurnalis, ia tahu informasi harus dikonfirmasi, bukan dilemparkan sebagai tuduhan di tengah malam.
Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan gemuruh di dadanya.
Firmansah: Belum tidur. Oke, besok saya kirim filenya. Kamu istirahatlah, Yas. Kamu terlihat capek tadi.
Yasmin: Iya, Mas. Hari ini memang melelahkan. Tapi menyenangkan karena ada kamu. Good night, Teman Level.
Firman tidak membalas lagi. Kata "menyenangkan" itu terasa pahit. Ia merasa seperti sedang memegang sebuah kaca yang tampak indah di depan, tapi penuh retakan di bagian belakang yang tidak terlihat.
Ia bangkit dari kasurnya, berjalan menuju jendela kecil di kamarnya yang menghadap ke jalanan sepi. Samarinda di jam dua pagi hanya menyisakan lampu jalan yang berkedip dan bayangan pohon-pohon mangga yang bergoyang ditiup angin.
"Siapa kamu sebenarnya, Yasmin?" bisiknya pada kegelapan.
Pikiran Firman melayang kembali ke panti asuhan. Ia mengingat bagaimana Yasmin memegang tangan anak kecil dengan begitu tulus. Apakah seorang dokter yang "lalai" bisa memiliki sentuhan sehangat itu? Ataukah sentuhan hangat itu justru lahir dari rasa bersalah yang tidak kunjung padam?
Firman menyadari satu hal: rahasia ini adalah ujian sesungguhnya bagi mereka. Jika ia memberitahu Yasmin bahwa ia sudah tahu, tembok yang baru saja runtuh di antara mereka mungkin akan terbangun kembali, bahkan lebih tinggi dari sebelumnya. Tapi jika ia diam, ia merasa seperti sedang berbohong pada dirinya sendiri.
Besok, ia harus bertemu Yasmin lagi untuk menyerahkan hasil liputan. Dan besok, ia harus memutuskan: apakah dia akan tetap menjadi "Teman Level" yang hanya melihat permukaan, ataukah dia akan menjadi jurnalis yang menggali hingga ke akar paling pahit, meskipun itu artinya dia akan kehilangan satu-satunya orang yang membuatnya merasa "hidup" kembali?
Di tempat lain, Yasmin duduk di tepi tempat tidurnya, menatap sebuah stetoskop lama yang ia simpan di dalam kotak kayu terkunci di bawah mejanya. Ia mengusap permukaan logam dingin itu dengan jarinya yang gemetar.
"Sedikit lagi, Yas... sedikit lagi kamu bisa melupakan Surabaya," bisiknya pada diri sendiri, tidak tahu bahwa di saat yang sama, rahasianya sudah mendarat di tangan pria yang mulai ia percayai.
Badai yang dibawa Sarah baru saja mengirimkan petir pertamanya. Dan "Teman Level" ini baru saja menyadari bahwa level mereka ternyata dibangun di atas tanah yang sangat rawan longsor.
Keesokan harinya, Firman sengaja datang ke rumah sakit tempat Yasmin bekerja dengan membawa flashdisk berisi foto. Namun, suasana di RS sedang kacau karena ada pasien darurat yang kondisinya mirip dengan kasus di Surabaya. Firman melihat Yasmin mematung di depan ruang IGD, wajahnya pucat pasi, dan tubuhnya gemetar hebat. Akankah Firman menggunakan informasi yang ia miliki untuk menolong Yasmin keluar dari traumanya, atau justru kecurigaannya membuat dia hanya berdiri diam sebagai penonton kehancuran Yasmin?