Intan Puspita Dewi (17) tidak pernah membayangkan masa mudanya akan berakhir di meja akad nikah. Lebih parah lagi, laki-laki yang menjabat tangan ayahnya adalah Argantara Ramadhan—dosen paling dingin, killer, dan ditakuti di kampus tempatnya baru saja diterima.
Sebuah perjodohan konyol memaksa mereka hidup dalam dua dunia. Di rumah, mereka adalah suami istri yang terikat janji suci namun saling membenci. Di kampus, mereka adalah dosen dan mahasiswi yang berpura-pura tak saling kenal.
"Jangan pernah berharap aku menganggap ini pernikahan sungguhan," ucap Arga dingin.
Namun, sekuat apa pun mereka menjaga rahasia, tembok pertahanan itu perlahan retak. Ketika benci mulai terkikis oleh rasa cemburu, dan dinginnya sikap perlahan mencair oleh perhatian, sanggupkah mereka menyangkal bahwa cinta telah hadir di antara skenario sandiwara ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon muliyana setia reza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di Balik Topeng Ratu Es
Toilet perempuan di lantai dua Gedung Fakultas Ekonomi sedang sepi. Hanya suara kran air yang mengalir deras mengisi keheningan.
Intan berdiri di depan wastafel, membasuh wajahnya dengan air dingin berkali-kali. Bukan untuk menghapus air mata kesedihan, tapi untuk meredam rona merah yang membakar pipinya hingga ke telinga. Napasnya memburu, seolah ia baru saja menahan napas di dalam air selama satu jam.
Pintu toilet didorong terbuka. Sarah masuk, langsung mengunci pintu di belakangnya, lalu berkacak pinggang menatap sahabatnya.
"Tan! Lo beneran sakit jiwa ya?!" sembur Sarah, matanya melotot tak percaya.
Intan mengambil tisu, menepuk-nepuk wajahnya yang basah dengan gerakan perlahan, berusaha menormalkan detak jantungnya.
"Sakit jiwa apanya?" tanya Intan tenang, meski suaranya sedikit parau.
"Sikap lo tadi!" Sarah mendekat, menunjuk ke arah pintu keluar. "Suami lo... ralat, Pak Dosen Terganteng Se-Galaksi itu berdiri di sana! Dia dandan gila-gilaan! Dan lo? Lo cuma angkat bahu, pasang muka tembok, terus jalan kayak dia itu cuma tiang listrik?!"
Sarah mengacak rambutnya frustrasi. "Lo nggak liat betapa hot-nya dia hari ini? Kemeja navy gulung lengan? Rambut messy? Itu damage tingkat dewa, Intan! Cewek satu kampus mimisan liat dia, dan lo malah sok nggak peduli!"
Intan membuang tisu ke tempat sampah. Ia berbalik, bersandar pada pinggiran wastafel, lalu menatap Sarah dengan tatapan yang akhirnya—untuk pertama kalinya hari ini—jujur.
"Gue liat kok, Sar," bisik Intan, tangannya meremas ujung blusnya kuat-kuat. "Gue liat semuanya. Gue nggak buta."
"Terus? Kenapa lo dingin banget?! Gue kira lo bakal pingsan atau minimal senyum!"
Intan menghela napas panjang, lalu perlahan tubuhnya merosot hingga ia jongkok di lantai, menyembunyikan wajahnya di antara kedua lutut.
"Justru karena gue liat, Sar... makanya gue harus dingin," rintih Intan. "Kalau gue nggak pasang muka tembok, gue pasti udah lari meluk dia di depan semua orang. Dan gue nggak mau itu terjadi."
[Flashback: 15 Menit yang Lalu]
Pagi itu, perjalanan Intan dari Puncak menuju Jakarta sangat melelahkan. Ia bangun jam 4 pagi, menyiapkan obat Kakek Fauzi, lalu berangkat menembus kabut dan kemacetan Tol Jagorawi menggunakan taksi online.
Badannya pegal. Matanya sedikit berat. Tapi Intan tahu dia terlihat baik-baik saja. Ia mengenakan kemeja flanel favoritnya, celana jeans yang nyaman, dan memoleskan sedikit lip tint. Dia merasa cukup percaya diri, apalagi setelah kejadian dance battle kemarin. Intan merasa ia bukan lagi upik abu.
Sampai akhirnya, ia tiba di koridor kampus dan melihat kerumunan itu.
Detik pertama matanya menangkap sosok Argantara, dunia seolah berhenti berputar (slow motion).
Rasa kantuk dan lelah perjalanan Puncak-Jakarta lenyap seketika. Jantung Intan yang tadinya berdetak normal, mendadak memacu adrenalin seolah ia sedang bungee jumping.
Di sana, dikelilingi para wanita, suaminya berdiri seperti patung dewa Yunani yang hidup.
Sialan, batin Intan menjerit.
Tidak ada lagi kemeja putih kaku yang membosankan. Arga mengenakan kemeja navy gelap yang entah kenapa membuat kulitnya terlihat lebih cerah dan maskulin.
Mata Intan, di balik wajah datarnya, diam-diam menelusuri penampilan suaminya dengan rakus.
Ia melihat dua kancing teratas yang terbuka. Astaga, Mas Arga... batin Intan menelan ludah. Leher jenjang yang kokoh itu terekspos, jakunnya bergerak naik turun. Itu adalah pemandangan yang biasanya hanya Intan lihat saat Arga baru bangun tidur, tapi kini disajikan di depan umum dengan aura yang jauh lebih memikat.
Lalu matanya turun ke lengan. Lengan kemeja yang digulung asal-asalan itu adalah kejahatan. Otot lengan Arga terlihat kencang, urat-urat tangannya menonjol jantan, dipertegas oleh jam tangan mahal yang melingkar di sana.
Dan rambutnya... Gaya comma hair itu membuat Arga terlihat lima tahun lebih muda. Terlihat nakal, berbahaya, tapi sangat, sangat tampan.
Intan mengakui dalam hati: Suami gue ganteng banget. Gantengnya kurang ajar.
Ada dorongan impulsif yang sangat kuat di dadanya untuk berlari menerobos kerumunan, menyingkirkan Clarissa, menggandeng tangan kekar itu, dan berbisik: "Mas, ayo pulang. Jangan tebar pesona di sini."
Arga menatapnya. Tatapan tajam di balik kacamata hitam itu seolah memanggil Intan. 'Lihat saya.'
Intan ingin tersenyum. Intan ingin memuji.
Tapi kemudian, ia melihat Clarissa yang menempel seperti lintah di lengan Arga. Ia melihat mahasiswi-mahasiswi genit yang menyodorkan bekal.
Darah Intan mendidih. Bukan karena minder. Sama sekali bukan. Intan tahu dia cantik. Dia tahu dia punya bakat. Dia tahu Kakek Fauzi menyayanginya. Dia tahu dia istri sah.
Rasa yang muncul adalah ketersinggungan.
Mas Arga pikir dia siapa? batin Intan kesal. Dandan ganteng begitu, dikelilingi cewek-cewek, terus berharap aku datang lari-lari kayak fans fanatik?
Intan merasa, jika ia menunjukkan kekagumannya sekarang, ia hanya akan menjadi salah satu dari sekian banyak wanita yang memuja Arga. Ia akan terlihat gampangan. Ia akan terlihat seperti wanita yang luluh hanya karena suaminya ganti gaya rambut.
Nggak. Gue bukan fans lo, Mas. Gue istri lo, tegas Intan dalam hati. Istri nggak ngejar. Istri itu dikejar.
Harga diri Intan melambung tinggi. Ia menolak memberikan Arga kepuasan instan. Ia menolak validasi Clarissa yang seolah menantangnya.
Maka, otak Intan memerintahkan satu-satunya strategi perang yang paling mematikan: Ketidakpedulian.
Ia memasang topeng Ratu Es. Ia mematikan sorot matanya. Ia memaksa bibirnya untuk tidak tersenyum sedikit pun.
Anggap dia biasa aja, Intan. Anggap dia cuma patung pajangan. Biar dia tau rasanya dicuekin, perintah Intan pada dirinya sendiri.
Dan begitulah, ia berjalan melewati Arga dengan dingin, mengabaikan tatapan memohon suaminya, padahal di dalam dadanya, jantungnya sedang berpesta pora memuji ketampanan pria itu.
[Kembali ke Toilet]
Intan mengangkat wajahnya. Pipinya masih sedikit merah, tapi matanya menyala penuh tekad.
"Gue nggak minder, Sar," ucap Intan tegas, meralat dugaan sahabatnya. "Gue tau gue cantik hari ini, walaupun gue capek abis perjalanan dari Puncak. Gue tau gue pantes buat dia."
"Terus?" Sarah bingung.
"Terus gue harus lari ke sana, saingan sama Clarissa dan bocah-bocah genit itu buat dapet perhatian suami gue sendiri? Murahan banget," decih Intan. "Gue istri sahnya, Sar. Harusnya dia yang nempis mereka semua dan dateng ke gue. Bukan gue yang ngemis perhatian dia."
Intan berdiri tegak, merapikan kerah kemeja flanelnya di cermin.
"Gue akuin, dia ganteng banget hari ini. Sumpah, gue hampir gila nahan diri buat nggak senyum," aku Intan jujur, membuat Sarah terkikik. "Tapi gue mau dia tau, gue nggak semudah itu didapetin lagi. Gue mau dia usaha. Gue mau dia ngejar gue sampai ke ujung dunia, bukan cuma modal gulung kemeja doang."
Sarah menggelengkan kepala, takjub. "Gila lo, Tan. Lo bener-bener lagi main tarik ulur sama Pak Arga?"
"Bukan tarik ulur. Ini pelajaran," Intan tersenyum miring. "Selama ini dia nyuekin gue di apartemen. Sekarang giliran dia ngerasain gimana rasanya ada tapi nggak dianggap. Gimana rasanya udah usaha tapi nggak dilirik."
Intan mengambil tasnya.
"Gue mau dia sadar, Sar. Kalau dia mau gue, dia harus singkirin dulu semua 'kumbang' di sekeliling dia. Gue nggak mau berbagi. Gue mau eksklusif."
"Sadis," komentar Sarah, tapi ia mengacungkan jempol. "Gue dukung lo, Ratu Tega. Bikin Pak Dosen itu bucin sampai mampus."
Intan tertawa kecil. "Ayo ke perpus. Ada Kak Rio yang mau ngajarin statistik. Biar Mas Arga makin panas liat gue dikelilingi cowok lain."
"Wah, parah lo. Kak Rio kan senior paling hits juga!"
Intan melangkah keluar dari toilet dengan langkah ringan. Di balik sikap dinginnya yang menyebalkan hari ini, Intan menyimpan kepuasan tersendiri.
Dia tahu Arga melihatnya. Dia tahu Arga kecewa karena diabaikan. Dan bagi Intan, itu adalah tanda bahwa Arga mulai peduli.
Tahan banting ya, Mas, batin Intan nakal. Kemeja navy kamu emang juara, tapi hati aku nggak semurah itu.
Namun, jauh di lubuk hatinya, Intan berdoa semoga Arga memakai baju itu lagi besok. Karena jujur saja, pemandangan itu adalah moodbooster terbaik yang pernah ia lihat.
Bersambung....
makan tuh gengsi Segede gaban😄