NovelToon NovelToon
You Can Run, But You'Re Still Mine

You Can Run, But You'Re Still Mine

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Single Mom / Identitas Tersembunyi / Wanita Karir / Penyesalan Suami / Dark Romance
Popularitas:32.2k
Nilai: 5
Nama Author: Nana 17 Oktober

Raska dikenal sebagai pangeran sekolah, tampan, kaya, dan sempurna di mata dunia. Tak ada yang tahu, pendekatannya pada Elvara, gadis seratus kilo yang kerap diremehkan, berawal dari sebuah taruhan keji demi harta keluarga.
Namun kedekatan itu berubah menjadi ketertarikan yang berbahaya, mengguncang batas antara permainan dan perasaan.

Satu malam yang tak seharusnya terjadi mengikat mereka dalam pernikahan rahasia. Saat Raska mulai merasakan kenyamanan yang tak seharusnya ia miliki, kebenaran justru menghantam Elvara tanpa ampun. Ia pergi, membawa luka, harga diri, dan hati yang hancur.

Tahun berlalu. Elvara kembali sebagai wanita berbeda, langsing, cantik, memesona, dengan identitas baru yang sengaja disembunyikan. Raska tak mengenalinya, tapi tubuhnya mengingat, jantungnya bereaksi, dan hasrat lama kembali membara.

Mampukah Raska merebut kembali wanita yang pernah ia lukai?
Atau Elvara akan terus berlari dari cinta yang datang terlambat… namun tak pernah benar-benar pergi?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

24. Sebelum Pulang

Rava menatap langit-langit, lalu berbisik, “Can you draw… Papa’s face? Rava ingin tahu wajah Papa.”

Kalimat itu tidak diucapkan dengan sedih. Tidak juga menuntut. Hanya rasa ingin tahu seorang anak yang tumbuh tanpa wajah ayah dalam ingatannya.

Tapi bagi Elvara, itu seperti tangan kecil yang menyentuh luka lama yang selama ini ia balut rapat.

Elvara membuka mulut, lalu menutupnya kembali. Untuk pertama kalinya, alasan “ponsel yang hilang” tak lagi cukup bahkan untuk dirinya sendiri.

Ia duduk kembali di tepi ranjang. Tangannya mengusap rambut Rava pelan.

“Papa… ganteng,” ucapnya akhirnya, suaranya nyaris tak terdengar. “Mirip kamu.”

Rava tersenyum kecil, puas. “Bener?”

Elvara mengangguk. “Bener.”

Namun ia tidak menggambar malam itu.

Setelah Rava terlelap, Elvara duduk sendirian di kursi dekat jendela. Cahaya lampu kota menyelinap samar ke dalam kamar. Tangannya gemetar saat membuka laci dan mengambil buku sketsa lama yang sudah jarang ia sentuh.

Ia membuka halaman kosong.

Ujung pensil menyentuh kertas, lalu terangkat lagi.

“Aku tak pernah bisa melupakan,” gumamnya lirih. “Meski ingin.”

Wajah yang hendak ia gambar terlalu jelas di kepalanya. Terlalu hidup. Terlalu nyata. Ia tak pernah lupa. Justru… terlalu ingat.

Elvara menutup buku itu perlahan.

Dari balik jendela, kota asing tampak sunyi. Aman. Tenang. Namun untuk pertama kalinya, terasa begitu jauh.

“Haruskah…?”

Pertanyaan itu tidak lahir dari rindu pada seseorang. Melainkan dari kesadaran yang tak bisa lagi ia sangkal. Anaknya berhak tahu dari mana ia berasal.

Ia menoleh, menatap Rava yang tertidur pulas. Wajah kecil itu damai. Jujur. Penuh kepercayaan.

“Aku tidak boleh egois,” bisiknya.

“Rava berhak tahu. Dan… aku tak mungkin selamanya menghindar.”

Malam itu, Elvara akhirnya mengakui pada dirinya sendiri:

ia tak bisa terus bersembunyi dari masa lalu, sementara Rava tumbuh dengan pertanyaan-pertanyaan yang semakin jujur.

Ia memejamkan mata. Kepalanya tertunduk.

Wajah itu melintas tanpa diundang.

Raska.

“Aku akan pulang,” bisiknya pelan.

“Bukan untuk mencarimu. Bukan untuk menjelaskan apa pun.”

Saat membuka mata, jemarinya menggenggam buku sketsa itu erat.

“Aku hanya ingin berhenti bersembunyi,” lanjutnya dalam hati,

“dan memberi putraku satu jawaban… yang selama ini ia tahan.”

***

Di Salah Satu Rumah Sakit.

UGD berubah jadi kekacauan terkontrol.

Sirene datang bertubi-tubi. Brankar saling bersinggungan. Bau darah, antiseptik, dan adrenalin bercampur jadi satu.

Kecelakaan beruntun di jalan tol.

Dokter jaga tidak cukup.

Suara dokter dan perawat mengisi ruangan. Semua bicara dalam bahasa Inggris.

“Trauma kepala! Tekanan turun!”

“Fraktur terbuka, prioritas satu!”

“Siapa pegang pasien nomor tujuh?!”

Adrian Keller berdiri di tengah ruangan seperti jangkar. Jas dokternya sudah terbuka, lengan digulung.

“Koas, ikut protokol! Jangan bergerak sendiri!” suaranya tegas, stabil.

Elvara baru selesai menjahit luka dalam ketika matanya menangkap satu brankar di sudut.

Seorang pria. Usia lima puluhan. Saturasi turun cepat. Monitor berbunyi panjang. Terlalu keras untuk diabaikan.

“Pasien delapan belum ditangani,” ujar seorang perawat panik.

“Dokter bedah masih di ruang satu.”

“Dokter jaga ICU penuh.”

“Tidak ada yang tersedia.”

Elvara menelan napas.

“Aku bisa ambil,” katanya cepat.

Beberapa kepala langsung menoleh.

Salah satu dokter senior menggeleng keras. “Tidak. Ini nyawa, bukan bahan praktik.”

Ruangan seolah menahan napas.

Elvara menatap monitor itu lagi. Angkanya terus turun.

“Kalau tidak sekarang,” katanya pelan tapi jelas, “dia tidak akan sampai ruang operasi.”

Dokter itu hendak membalas, namun suara monitor lain berbunyi nyaring, memaksa semua kepala menoleh.

Adrian masih di tempatnya, satu tangan menahan tekanan di dada pasien lain, matanya bergerak cepat membaca dua monitor sekaligus.

“Pilihan kita apa?” tanyanya singkat, suaranya terdengar di antara hiruk-pikuk.

Tak ada yang menjawab.

“Kalau pasien itu menunggu,” lanjut Adrian datar, tanpa menoleh, “probabilitas hidupnya di bawah dua puluh persen.”

Ia akhirnya menoleh ke Elvara. Sekilas. Tajam. Menilai. “Kau yakin bisa?”

Elvara mengangguk. Tidak ragu. “Aku tahu risikonya, Dok.”

Adrian menarik napas satu kali. Dalam. “Lakukan,” katanya. Tegas. “Aku tetap pegang pasien ini. Tapi setiap keputusan besar, lapor ke aku.”

Dokter senior itu masih ragu. “Adrian, ini—”

“Ini kondisi darurat,” potong Adrian singkat. “Dan tidak ada dokter bebas selain dia. Sebagai supervisor koasnya, aku yang akan bertanggung jawab penuh.”

Dokter senior itu terdiam. Lalu mengangguk singkat.

Adrian menatap Elvara sekali lagi. Kali ini bukan menguji, melainkan memberi kepercayaan.

“Mulai.”

Waktu bergerak aneh setelah itu.

Elvara bekerja cepat. Tangannya stabil. Suaranya tenang. Setiap instruksi jatuh satu per satu. Cepat, tepat.

Di sela-sela menangani pasiennya sendiri, Adrian terus mengawasi, sekilas ke monitor Elvara, satu koreksi singkat, satu anggukan kecil.

Bukan mengendalikan. Melainkan mempercayai.

Monitor akhirnya berbunyi stabil. Napas kembali. Detak jantung menguat. Pasien selamat.

Sunyi turun perlahan di sekitar mereka.

Dokter senior itu menghela napas panjang. Tidak berkata apa-apa.

Adrian menatap Elvara. Bukan tatapan kagum yang berlebihan. Lebih seperti pengakuan.

“Kau tadi,” katanya pelan, “tidak bertindak seperti koas.”

Elvara tersenyum tipis. Lelah. Jujur. “Aku bertindak seperti dokter.”

Adrian membalas senyum itu. Kecil. Nyata. Dan di sanalah, di bawah lampu UGD yang dingin, ia tahu. Perempuan ini bukan sekadar menarik perhatian.

"Dia berbahaya… bagi siapa pun yang suatu hari harus bersaing memperebutkan hatinya," batinnya.

Setelah pasien terakhir stabil, UGD perlahan kembali ke ritme darurat yang terkendali.

Monitor berbunyi teratur. Darah dibersihkan. Sarung tangan dilepas satu per satu.

Dokter senior yang sejak tadi menentang, kini berdiri di sisi ranjang pasien yang ditangani Elvara. Ia membaca ulang monitor vital, lalu menatap hasil CT scan di layar sekali lagi.

Hening.

Beberapa detik berlalu sebelum ia akhirnya berkata, suaranya rendah, lebih jujur daripada keras, “Aku hampir membuat keputusan yang keliru… hanya karena statusnya koas.”

Ia menelan ludah. “Lima menit lebih lambat saja, kita sudah kehilangan pasien ini.”

Tak ada yang menanggapi. Kalimat itu cukup berdiri sendiri.

Di papan catatan internal UGD, sebuah tambahan singkat muncul di laporan malam itu:

Catatan:

Keputusan intervensi dilakukan oleh koas Elvara di bawah supervisi langsung. Risiko tinggi, namun tepat waktu. Pasien selamat.

Tidak ada kata pelanggaran. Tidak ada kata kesalahan.

Hanya fakta.

Di lorong yang mulai sepi, Adrian berdiri beberapa langkah dari Elvara.

Sarung tangan masih melekat di tangannya. Ia belum melepasnya. Atau lupa.

Matanya mengikuti Elvara yang mencuci tangan. Gerakannya tenang, nyaris terlalu tenang—seolah tubuhnya baru menyadari kelelahan setelah semuanya usai.

Adrian tidak mendekat. Tidak memberi pujian. Tidak mengatakan apa pun.

Ia hanya menatap.

Bukan tatapan kagum yang riuh. Melainkan tatapan seseorang yang baru saja menyadari satu hal sederhana,

bahwa di tengah kekacauan, di bawah tekanan, ada orang yang tetap jernih.

Dan jenis dokter seperti itu… jarang ia temui.

Sudut bibir Adrian terangkat tipis. Bukan senyum penuh. Lebih seperti pengakuan yang tidak perlu diucapkan.

Saat Elvara menoleh, Adrian sudah lebih dulu berpaling. Sarung tangannya akhirnya dilepas.

Malam itu, tak ada satu kata pun di antara mereka.

Namun sesuatu telah bergeser.

Pelan.

Dan tidak bisa ditarik kembali.

"**

Rumah Makan Nusantara

Bel kecil di atas pintu berbunyi pelan.

Adrian Keller melangkah masuk.

Aroma rempah langsung menyambutnya, hangat, asing, tapi entah kenapa terasa akrab. Kayu meja sederhana. Lampu kuning temaram. Tidak besar. Tidak mewah.

Namun hidup.

“Selamat datang,” suara perempuan paruh baya terdengar dari balik dapur.

Adrian menoleh.

Sebelum ia sempat menjawab, sebuah suara kecil menyela.

“Halo!”

Seorang bocah berdiri di balik meja kasir. Pipi tembam. Rambut hitam sedikit ikal. Kaos kebesaran dengan gambar dinosaurus.

Matanya besar. Mengamati Adrian dari ujung kepala sampai sepatu.

“You… makan?” tanyanya ragu, lalu cepat menambahkan,

“…atau take away?”

...🔸🔸🔸...

...“Ada masa lalu yang bisa dihindari,...

...tapi tidak ada hak anak yang boleh disangkal.”...

...“Di ruang gawat darurat, nyawa diselamatkan....

...Di kamar tidur kecil itu, sebuah kebenaran mulai menuntut pulang.”...

..."Nana 17 Oktober"...

...🌸❤️🌸...

.

To be continued

1
LibraGirls
jadi kecebong raska🙊
LibraGirls
semangat buat kalian semua 😂
Suanti
nanti raska salah faham kira elvara sdh nikah lgi 🤭
Dek Sri
semoga elvara dan raska suatu hari bersatu
Wardi's
wajib lanjut sih thor... makin seru nih...
Wardi's
ach gk rela klo vara sm adrian...
Wardi's
ko dr adrian ikut... ngapain??
Eka Burjo
iiihhh gemesnyaaa👌👌👌👌🫩🫩☹️☹️☹️
Puji Hastuti
Masalah harus di selesaikan vara, semoga kalian bahagia
Wardi's
ach tidaaaak... asli deg2an bacanya..
Fadillah Ahmad
Lanjutkan Lagi Kak Nana... 😁😁😁🙏

Semangat Terus Kak Nana, Uonya kak 🙏🙏🙏
Fadillah Ahmad
Iya, Belum Waktunya kalian Bertemu... Sabar saja... Dan, ketika Waktu itu datang... Kamu pasti akan pangling melihat Raska Yang Sekarang Elvara... 😁😁😁 dia "Raska" kini, sudah menjadi Tentara... Sesuai Yang di inginkan oleh ibumu Elvara 😂😂😂 Jadi, Tunggu lah Waktu itu datang, ya... 😁😁😁
Fadillah Ahmad
Itu Elvara Rasaka... Itu Elvara... Dia kembali! 😁😁😁
Endang Sulistiyowati
Hah nyaris tipis...padahal reaksi tubuh saling mengenali. Bangganya nanti Rava punya ayah seorang Kapten. pasti langsung keterima sama Bu Elda. Ga tau lah Elvara mau kemana arahnya.

Kak, up lagi donk 🤭
Fadillah Ahmad
itu Pasti Raska, kan kak Nana? Mungkin Baru Pulang Dinaa, Dari Papua, Mungkin ya? 😁😁😁
tse
kata2 mutiaramu ka. ...
membuatku srlalu memejamkan Mata sejenak untuk meresapi maknanya
lanjutkan ka...
Fadillah Ahmad
Iya, Waktu itu, telah tiba Elvara. Ksmu sudah tidak bisa menghindar lagi, sudah bertahun-tahun kamu menghindar Elvara. Sekarang lah Saatnya kamu kembali... Dan menyelesaikan masalahmu yang telah lama tertunda sejak Remaja itu. Pulanglah... 😁😁😁🙏
Fadillah Ahmad
Harus itu, bukan kah... Kata orang tua, dulu-dulu, laki-laki itu harus kuat, nggk boleh Nangis, kan.

Tapi... Yang nggk di sadari Orang tua yang bilang begitu, anak laki-laki kan juga manusia biasa. Bukan Robot, yang nggk bisa menangis dan terpuruk. Laki-laki juga pernah menangis juga dan terpuruk, sama Seperti Wanita. Jadi Salah, kalau ada yang bilang laki-laki itu, nggk boleh nangis dan Rapuh Seperti Perempuan. Laki-laki juga manusia biasa 😁😁😁🙏

Nangis Saja Rava, kalau kamu mau nangis, nggk papa kok 😁😁😁🙏
Suanti: kirain bisa bertemu di bandara 🤭
total 1 replies
Hanima
lanjut Rasss
Fadillah Ahmad
Iya Sayang, Papa kamu harus di Cari dulu di Penjuru kota Jskarta... Atau bahkan Ke Seluruh indonesia, Sayang... 😁😁😁
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!