Rania Vale selalu percaya cinta bisa menembus perbedaan. Sampai suaminya sendiri menjadikannya bahan hinaan keluarga.
Setelah menikah satu tahun dan belum memiliki anak, tiba-tiba ia dianggap cacat.
Tak layak, dan tak pantas.
Suaminya Garren berselingkuh secara terang-terangan menghancurkan batas terakhir dalam dirinya.
Suatu malam, setelah dipermalukan di depan banyak orang, Rania melarikan diri ke hutan— berdiri di tepi jurang, memohon agar hidup berhenti menyakitinya.
Tetapi langit punya rencana lain.
Sebuah kilat membelah bumi, membuka celah berisi cincin giok emas yang hilang dari dunia para Archeon lima abad lalu. Saat Rania menyentuhnya, cincin itu memilihnya—mengikatkan nasibnya pada makhluk cahaya bernama Arven Han, putra mahkota dari dunia lain.
Arven datang untuk menjaga keseimbangan bumi dan mengambil artefak itu. Namun yang tak pernah ia duga: ia justru terikat pada perempuan manusia yang paling rapuh…
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GazBiya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Patah hati
Udara malam semakin dingin menusuk kulit. Angin di menara tadi masih terasa di rambut Rania ketika Arven meraih pinggangnya—dan tup!
Sekejap mata mereka sudah muncul di kamar mewah apartemen Rania.
Begitu kakinya menyentuh lantai, Rania langsung melepaskan genggaman tangan Arven secepat mungkin—seolah kulit pria itu terlalu berbahaya untuk kesehatan jantungnya.
“Aku sudah aman. Kau pulanglah,” ucap Rania santai, sok tenang padahal lututnya masih gemetar efek ciuman tadi.
Arven melongo. Bener-bener melongo. Ia memandangi Rania seolah wanita itu baru saja mengatakan hal terkejam abad ini.
“Kau… mengusirku?” suara Arven naik setengah oktaf. Dia terlihat seperti anak anjing yang ditendang dari teras rumah.
“Aku tidak mengusirmu. Tapi rumahmu cuma satu lantai di atas. Jadi ya… pulanglah.”
Arven berkedip cepat, tersinggung sekaligus patah hati—Mereka barusan berciuman.
Di dunia Arven itu setara dengan, boleh tidur di sofa minimal!
“Tidak mau,” jawab Arven datar. “Aku mau tidur di sini. Bersamamu.”
Rania hampir kejang.
“Arven, tidak! Aku baik-baik saja. Kau pulang sana!” Ia mendorong tubuh Arven ke arah pintu.
Arven langsung menancapkan kaki seperti pohon beringin, “Kau tidak bisa menyuruhku pergi begitu saja. Kita bahkan sudah ber…”
Jeblugh!
Rania menutup pintu sebelum kalimat itu selesai.
Di balik pintu, pipinya memerah sampai telinganya panas. “Astaga… jangan ingat lagi… jangan ingat…”
Ia menelungkupkan wajah ke tangan, berusaha menenangkan jantung yang menolak bekerja normal.
Di luar pintu— Arven menatap pintu itu lama… sangat lama.
“Tidak adil!” serunya lirih tapi penuh drama.
Ia menendang pintu pelan, “Tadi kau tidak seperti ini. Kau lembut sekali. Kenapa sekarang berubah jadi monster kecil?!”
Rania menggigit bibir menahan tawa sekaligus malu di balik pintu.
Arven masih ngedumel, “Aku dua ratus tahun hidup… belum pernah diusir. Apalagi ini… kita barusaja berciuman,” gumamnya. “Aku tidur di sini saja. Di depan pintumu. Sampai kau membuka pintu dan menyuruhku masuk.”
Rania memejamkan mata, lalu mengintip dari lubang kecil di pintu. Arven benar-benar duduk di lantai koridor, punggung menyandar ke pintu, wajah cemberut dan dada terangkat-turun penuh drama protes.
“Hhh… dasar makhluk aneh,” gumam Rania pelan.
Ia tahu Arven tidak akan selamanya duduk di sana, jadi ia akhirnya beranjak ke tempat tidur, menarik selimut sambil terus mengingat kelembutan bibir mereka tadi.
Di sisi lain, Arven akhirnya menyerah. Ia berdiri, menghela napas kesal, lalu mendecak lirih sebelum teleport pulang ke unitnya satu lantai di atas.
Tapi dua-duanya sama saja—sama-sama tidak bisa tidur. Arven merebahkan diri di tempat tidurnya, tapi kupingnya sensitif mengikuti setiap desah napas Rania di bawahnya. Ia terus menggeliat gelisah, dad4nya panas menahan hawa kasmaran yang mendidih pelan.
“Aku harus dekat…” gumamnya tidak tahan.
Dalam sekejap ia teleport lagi—ke lantai bawah, tepat di atas kamar Rania, lalu berbaring di lantai berkarpet ruang tengah itu sambil menutupi d4da dengan lengan.
Wajahnya merah sendiri mengingat ciuman itu—Jantungnya, entah kenapa semakin liar membuatnya ingin melakukannya lagi dan lagi.
Pukul lima pagi, Lidia UU—pelayan bisu itu—datang seperti biasa. Begitu pintu lift terbuka… matanya langsung membesar.
Bosnya tidur di lantai koridor. Dengan pose menyedihkan, tangan di dada, kaki sedikit tertekuk, dan wajah cemberut manja.
“Kali ini apa lagi…” gumamnya dalam hati, menggeleng pelan.
Ia menghampiri Arven, lalu menyentuh pundaknya dengan hati-hati. Dalam hatinya, ia bertanya:
“Apa yang terjadi, bos? Kenapa tidur di lantai?”
Arven membuka mata perlahan—wajahnya lelah sampai seperti habis perang. Ia hanya menghela napas panjang, lalu menunjuk lantai.
“Kamar Rania… ada di bawah sini.”
Lidia UU langsung terkekeh tanpa suara, bahunya naik-turun. Ia tahu bosnya jatuh cinta…dan tidak bisa mengatasinya.
Dalam hatinya ia menimpali, “Jadi… Anda masih belum berhasil mendapatkan hatinya?”
Arven menatap langit-langit, lalu menutup wajahnya dengan tangan besar itu. “Aku tidak tahu. Aku tidak mengerti. Kau bilang tanda-tanda manusia saling menyukai itu… berciuman, kan?”
Ia menoleh pada Lidia, wajahnya bingung sekaligus patah hati, “Tapi kalau begitu… mengapa setelah berciuman dia tetap mengusirku? Apa salahku? Apa artinya itu?”
Lidia UU membeku—ia pun ikut pusing. Ia mulai memikirkan strategi baru—lalu tanpa sengaja… satu pikiran melintas di hatinya, “Mungkin… dia masih belum bisa melupakan mantan suaminya.”
DEG!
Arven terdiam. Mata merahnya menegang… dadanya seperti ditusuk dari dalam. Sepagi ini, hatinya di buat patah lagi. Ia bangkit perlahan, wajahnya suram. Tanpa bicara lagi, ia berjalan ke balkon unitnya.
Di bawah sana—satu lantai di bawah, Rania baru bangun. Ia berdiri di balkon, mengangkat kedua tangan, meregangkan tubuhnya seperti burung yang baru merentangkan sayap.
Angin pagi menyapu rambut panjangnya. Ia tersenyum-senyum sendiri, pipinya memerah.
Ia ingat ciuman semalam, ingat tatapan Arven. Ingat cara Arven menggenggam wajahnya seolah ia harta paling berharga. Namun ia tidak berani menggumam dalam hati, atau pikiran itu akan bocor hingga ia tidak ada harga diri di depan Arven.
Rania menggigit bibir, menatap langit. Dengan wajah memerah, ia bicara pelan seperti sedang membaca mantra. “Jangan jatuh hati. Jangan jatuh hati… jangan—”
Di atasnya, Arven berdiri diam… memandangi Rania dari balkon.
Dadanya sakit. Penuh pertanyaan. Penuh kecemburuan pada bayangan mantan suami Rania yang bahkan tidak ia kenal.
*
Terima kasih sudah mampir! Ayo lanjut ke bab selanjutnya, ya. Jangan lupa tinggalkan komentar dan bintang/vote—itu bantuanku biar makin rajin nulis. Love you, readers!
Jangan lupa Follow ya! Dan baca juga novel author yang lain. Terimakasih & salam hangat.
aaah dasar kuntilanak
toh kamu yaa masih ngladeni si jalànģ itu