NovelToon NovelToon
MERRIED WITH YOUNG BOY

MERRIED WITH YOUNG BOY

Status: sedang berlangsung
Genre:Dijodohkan Orang Tua / Nikahmuda / CEO / Berondong
Popularitas:4k
Nilai: 5
Nama Author: LaruArun

"Kenapa harus aku yang menikah dengannya?”


Ava Estella tak pernah membayangkan hidupnya akan berubah sedrastis ini. Setelah kehilangan kekasihnya—putra sulung keluarga Alder—ia hanya ingin berduka dengan tenang. Namun keluarga Alder terlanjur menaruh rasa sayang padanya; bagi mereka, Ava adalah calon menantu ideal yang tak boleh dilepaskan begitu saja.

Demi menjaga nama baik keluarga dan masa depan Ava, mereka mengambil keputusan sepihak: menjodohkannya dengan Arash, putra kedua yang terkenal keras kepala, sulit diatur, dan jauh dari kata lembut.

Arash, yang tak pernah suka diatur, menanggapi keputusan itu dengan dingin.
“Kalau begitu, akan kubuat dia meminta cerai sebelum satu bulan.”

Dua pribadi yang sama sekali berbeda kini dipaksa berada dalam satu ikatan.

Apakah pernikahan ini akan membawa mereka pada jalan yang diharapkan keluarga Alder?
Atau justru membuka luka, rahasia, dan perasaan yang tak pernah mereka duga sebelumnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaruArun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 27 SEKRETARIS BARU

Setelah membayar taksi, Ava melangkah cepat menuju pintu butik. Udara kota terasa hangat, sedikit berdebu, dan hiruk-pikuk kendaraan masih berdenting di telinganya saat lonceng kecil di atas pintu butik berdenting pelan ketika ia masuk. Aroma kain baru, parfum lembut, dan pendingin ruangan yang dingin menyambutnya seperti pelukan yang sudah sangat ia kenal.

Belum sempat ia menata napasnya, sosok Bella sudah muncul di depan pintu, mondar-mandir dengan gelisah seperti sedang menunggu seseorang sejak lama.

“Apa yang kau lakukan disini?” tanya Ava sambil menghentikan langkah Bella yang hampir menabraknya.

Bella berhenti mendadak, matanya berbinar. “Ada pria tampan mencarimu!” katanya antusias sebelum langsung menarik pergelangan tangan Ava ke dalam butik.

Ava mengerutkan kening. “Siapa?” tanyanya datar, meski ada sedikit penasaran di wajahnya.

“Entahlah…” Bella terkikik, setengah berbisik dramatis. “Yang jelas, setelah ini kau harus mengenalkan dia padaku!”

Ava tidak sempat menolak. Ia hanya pasrah ditarik masuk menuju ruang tunggu klien—ruangan dengan sofa empuk berwarna krem dan meja kecil dari kayu mengkilap tempat katalog-katalog berserakan.

"Tuan, orang yang Anda cari sudah tiba,” ujar Bella dengan nada yang dibuat-buat lembut.

Ava terhenti. Di hadapannya, seorang pria tinggi berdiri memunggunginya. Jas rapi membingkai tubuhnya dengan sempurna, bahu tegap dan aura tenang terpancar dari caranya berdiri saat menatap gaun-gaun yang tergantung. Ada rasa tidak asing yang tiba-tiba menusuk.

Pria itu menoleh. Senyum tipis langsung terbentuk.

“Daniel?” seru Ava tanpa sadar.

“Hai, Ava. Bagaimana kabarmu?” sapanya ringan, suaranya hangat dan nyaman.

“Aku baik…” jawab Ava pelan, masih menyimpan sedikit keterkejutan. “Sedang apa kau di sini?”

“Aku sedang mengantar mamiku mencari pakaian untuk acara keluarga,” jawab Daniel. “Lalu aku teringat padamu… jadi aku mengajaknya kemari.”

“Oh… begitu,” jawab Ava singkat, lalu matanya berkeliling ruangan. “Lalu… mami mu mana?”

Daniel segera melangkah pergi dan kembali beberapa detik kemudian bersama seorang wanita elegan. Rambutnya tersanggul rapi, wajahnya halus, dan senyum ramah langsung mengembang ketika melihat Ava.

“Ava, ini mamiku,” kata Daniel.

“Mami, ini Ava. Desainer butik ini yang aku ceritakan padamu.”

Ava tersenyum sopan, sedikit membungkuk. “Halo, Nyonya. Senang bertemu dengan Anda. Anda terlihat sangat cantik dengan warna ini,” pujinya tulus.

Pipi wanita itu memerah halus. “Terima kasih. Kau juga sangat cantik,” balasnya, suaranya lembut namun hangat.

Percakapan pun mengalir dengan alami. Ava mempersilakan mereka duduk, menuangkan teh kecil, dan mulai mendiskusikan kebutuhan sang nyonya—gaun elegan namun sederhana untuk acara keluarga. Tawa pelan sesekali terdengar, mencairkan suasana.

Namun, dari sudut ruangan, sepasang mata mengamati. Irene berdiri kaku di balik rak kain. Tatapannya tak ramah. Rahangnya mengeras saat melihat kehangatan yang tak pernah ia dapatkan dari klien yang sama beberapa menit sebelumnya.

Sebelum Ava datang, dialah yang menyambut Daniel dan ibunya. Namun sambutannya dingin—sekadar formalitas, tanpa tawa, tanpa keakraban. Bunyi gelas teh yang diletakkan Ava di meja terasa seperti penghinaan baginya.

“Bella,” panggil Irene saat wanita itu lewat dengan benang-benang di lengan. “Kau kenal siapa mereka?” tanyanya sambil melirik ke arah sofa.

Bella mengikuti arah telunjuk itu. “Tidak, memangnya kenapa, Nona Irene?” jawabnya ringan, berpura-pura polos, meski dalam hati ia tahu betul kebencian Irene pada Ava.

“Tidak apa-apa,” jawab Irene singkat sebelum beranjak pergi.

Bella memelototi punggung atasannya. “Kalau aku tidak butuh kerjaan, sudah ku colok kedua matanya yang selalu iri itu…” gerutunya pelan sebelum berlalu.

Sementara itu, Ava mengantar kepergian Daniel dan maminya setelah mereka selesai berbincang dan menentukan jenis gaun yang diinginkan. Pintu kaca butik tertutup perlahan di belakang mereka, memantulkan siluet tubuh Ava yang masih berdiri di ambang pintu.

“Hati-hati di jalan, Nyonya,” ucap Ava sambil tersenyum ramah. Senyumnya bukan hanya sopan, tetapi tulus—lahir dari rasa hangat yang selalu Ava berikan kepada siapapun.

Mami Daniel mengangguk pelan. Namun sebelum benar-benar melangkah pergi, wanita itu tiba-tiba meraih tangan Ava dan menariknya ke dalam pelukan singkat namun bermakna. “Aku tidak sabar mencoba gaun buatanmu,” bisiknya lembut.

Ada getar halus di dada Ava. Ia terdiam sesaat sebelum membalas pelukan itu dengan senyum kecil. Saat mereka berpisah, mami Daniel sudah terlebih dahulu melangkah masuk ke dalam mobil, meninggalkan aroma parfum lembut yang masih menggantung di udara butik.

Pintu mobil tertutup, mesin menyala, dan kendaraan itu perlahan meninggalkan butik.

Di dalam mobil, Daniel duduk di balik kemudi. Tangannya menggenggam setir dengan santai, tetapi sudut bibirnya terus terangkat tanpa ia sadari. Pemandangan jalan di depannya nyaris tak ia perhatikan.

Ibunya meliriknya dari samping. Senyum itu terlalu jelas untuk disembunyikan. “Kau menyukainya?” tanyanya dengan nada lembut, nyaris menggoda.

Daniel menoleh, sedikit terkejut karena perasaannya terbaca begitu mudah. Lalu ia menghela napas kecil dan tersenyum lebih jujur. “Aku menyukainya sejak pertama kali melihatnya, Mami,” ujarnya tanpa ragu.

Bayangan pertemuan pertamanya dengan Ava kembali terlintas saat ia tidak sengaja hampir menabraknya.

Ibunya tertawa kecil, bangga sekaligus terhibur. “Kalau begitu, undang saja Ava ke acara anniversary pernikahan Mami dan Daddy.”

Daniel menatapnya. “Mami tidak masalah?”

“No,” jawabnya singkat, lalu menoleh ke jalan. “Tapi kalau dia tidak mau… kau jangan memaksanya, ya?”

Daniel mengangguk pelan. “Iya, Mami.” Mobil terus melaju, membawa senyum kecil yang enggan hilang dari wajah Daniel.

...----------------...

Di kantor Helion, pagi selalu datang dengan terlalu banyak suara. Ketukan keyboard bercampur dengan bunyi mesin printer, derap sepatu hak di lantai marmer, dan bisik-bisik yang mengalir pelan dari antar meja. Hari itu, topik yang paling sibuk dibicarakan bukan soal target penjualan atau proyek besar, melainkan satu nama: Arash.

“Dia sudah ganti sekretaris tiga kali dalam dua minggu,” bisik seorang karyawan sambil mencondongkan tubuh ke meja temannya.

Entah apa yang sebenarnya diinginkan atasan muda itu. Yang jelas, setiap sekretaris yang masuk ke ruangannya selalu keluar dengan wajah pucat atau lingkar mata yang gelap—dan dua hari kemudian, surat pengunduran diri mereka sudah ada di meja HRD.

“Hari ini ada sekretaris baru yang datang,” ucap salah satu karyawan lain, nada suaranya setengah berharap, setengah ragu. “Aku harap dia bisa bekerja lama di sini.”

“Aku harap begitu,” sahut yang lain, tapi nada pesimisnya terlalu jelas untuk disembunyikan.

Sementara itu, di lantai atas, suasananya jauh lebih dingin. Di dalam ruangan luas milik Papa Agam, suara pendingin udara berdengung lembut, menyelimuti ruangan dengan dingin yang konstan. Di balik meja kayu besar, pria paruh baya itu menatap tajam ke arah putranya.

“Ini sudah yang ketiga kalinya kau mengganti sekretarismu, Arash!” suara Papa Agam lebih tajam dari tatapannya. “Sebenarnya apa yang kau cari dari mereka?”

Arash berdiri tegak di depannya, rahangnya mengeras. Nafas panjang keluar perlahan dari hidungnya, seperti menahan sesuatu yang ingin ia luapkan. “Arash mencari yang bisa membantu Arash dengan baik, Pa,” jawabnya singkat, tapi jelas.

“Dengan baik bagaimana menurutmu?” suara itu berubah tajam, sarat sindiran. “Apa mereka semua tidak ada yang bekerja sebaik dirimu sendiri, begitu?”

“Bukan itu maks—”

“Cukup, Arash.” Potongannya mengeras. Tangannya menghantam meja perlahan, cukup keras untuk memberi tekanan. “Papa sudah memilih sekretaris baru untukmu. Dia perempuan.”

“Kenapa harus perempuan?” Arash menoleh cepat, nada tidak setuju langsung terdengar. “Arash tidak mau jika itu perempuan, Arash maunya sekretaris pria.”

“Arash!” bentak Papa Agam. “Berhenti bersikap kekanak-kanakan. Kau sudah mengganti tiga sekretaris pria. Sekarang jangan membantah pilihan Papa!”

Untuk beberapa detik, hanya ada suara AC yang terdengar. Akhirnya Arash mendengus pelan, tatapannya berpaling ke jendela.

“Baiklah,” ucap Arash akhirnya. “Kalau begitu Arash kembali bekerja.” Ia membalikkan badan dan meninggalkan ruangan itu tanpa menunggu jawaban.

Lorong kantor terasa lebih sepi dari biasanya. Lampu-lampu putih memantulkan bayangannya yang memanjang di dinding kaca. Langkahnya mantap, tapi di dalam dadanya ada sesuatu yang bergejolak. “Itu semua karena mereka tidak becus bekerja,” gerutunya pelan.

Namun yang paling menusuk baginya bukan soal kinerja. Mereka selalu membandingkannya dengan Martin. Dengan cara bicara yang seolah santai, tapi penuh penilaian. Dan dari situlah kebencian yang tak pernah ia kenal sebelumnya tumbuh perlahan dalam dirinya.

Lift berbunyi lembut saat pintunya terbuka. Arash melangkah masuk dan menekan tombol lantai 11, tempat ruangannya berada. Suara mesin lift seperti menariknya turun ke dunia yang lebih dingin. Pintu terbuka. Ia mendorong pintu ruangannya… dan terdiam.

Seorang wanita berdiri membelakanginya. Rambutnya diikat rapi, jas membalut tubuh rampingnya, sepatu heels meninggikan posturnya. Ia tampak begitu tenang, seolah tempat itu memang miliknya.

“Siapa kau?” tanya Arash, nadanya dingin.

Wanita itu langsung berbalik. Senyuman lebar terukir di wajahnya, membuat lipstik merah di bibirnya tampak mencolok. “Morning, Arash.”

Jantung Arash seakan berhenti sepersekian detik. “Celine?” suaranya turun menjadi gumaman terkejut. “Apa yang kau lakukan di sini?”

Mendengar itu, senyuman Celine sedikit memudar. “Paman Agam tidak memberitahumu?”

Arash menatapnya dalam. “Jadi… kau sekretarisku yang baru?”

Celine mengangguk ringan. “Aku baru lulus kuliah, dan Daddy menyuruhku untuk bekerja di sini.” Ia melangkah mendekat, jarak mereka menyempit. Lalu tanpa ragu, ia meraih Arash dalam pelukan yang hangat—pelukan yang membawa aroma parfum lembut dan kenangan masa lalu.

“Aku turut berduka atas meninggalnya Martin.”

Untuk sesaat, tubuh Arash kaku. Nafasnya berat. Ada luka lama yang kembali tersentuh. Tapi tangannya tetap terangkat—perlahan membalas pelukan itu.

“Terima kasih,” ucapnya lirih.

.

.

.

.

.

.

.

📌Jangan lupa like dan komen yang banyak yaa🥰

1
Sri Peni
ceritanya bagus aq lebih tertarik pd diksinya.
Sri Peni
updatenya jgn lama2
Sri Peni
apakah ini novel terjmahan? krn diksinya benar2 pas bagiku. . benar2 bahasa sastra. maaf baru kali ini aq bc , cerita yg bhsnya bagus .. sulitdibahas dgn tertulis
Ig ; LaruArun: Bukan ka, ini bukan novel terjemahan. cerita ini pure isi kepala aku. btw, terimakasih banyak karena udah mampir dan mohon dukungannya 🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!