Ketika cinta datang dari arah yang salah, tiga hati harus memilih siapa yang harus bahagia dan siapa yang harus terluka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santika Rahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 5
Begitu Alleta melangkah masuk melewati pintu, aroma rumah yang sangat ia kenal langsung menyergap hidungnya hangat.
“Leta…”
Suara lembut itu terdengar dari ruang tamu. Suara yang setiap hari selalu ia rindukan.
“Mama…”
Tanpa menunggu sedetik pun, Alleta berlari kecil dan langsung memeluk tubuh sang ibu, Ibu Sekar Amalya, yang baru dua minggu ini tak berada di rumah.
“Alleta kangen…” suaranya pecah pelan di tengah pelukan itu, seolah seluruh kekuatan yang tadi ia pakai untuk bersikap tegar sirna seketika.
Sang ibu membalas pelukannya sama erat, mengusap punggung putrinya pelan. “Mama juga kangen, Sayang… Tapi kok baru pulang jam segini?” tanyanya lembut, sedikit cemas.
“Nanti Leta cerita…Papa dimana?” Alleta melepaskan pelukan, menoleh ke kanan-kiri mencari sosok yang sama rindunya ia nantikan.
Belum sempat ibunya menjawab, suara langkah terdengar dari arah dapur.
“Nyariin Papa?”
Sosok itu muncul dengan senyum lebar dan tangan terentang menunggu pelukan.
“Papa!”
Alleta langsung berlari lagi, kali ini ke pelukan Pak Bagas Rudiksa. Ia memeluk ayahnya erat, seolah ingin memastikan bahwa sosok itu benar-benar ada tepat di hadapannya.
“Dua minggu nggak ketemu, rasanya kaya setahun…” gumam Alleta lirih, suaranya mengandung rindu yang tertahan terlalu lama.
Bukannya tidak terbiasa, tapi justru karena terlalu terbiasa dengan kesepian itu membuat Alleta begitu gembira saat kembali bertemu dengan orang yang sangat dia rindukan.
“Udah, udah… Papa punya oleh-oleh buat Alleta.” Bagas mengusap kepala putrinya dengan lembut, senyum bangga terpajang jelas di wajahnya.
Ia lalu menggandeng tangan Alleta menuju ruang keluarga. Sekar mengikuti di belakang, masih memerhatikan putrinya yang tampak sedikit pucat, khawatir namun memilih diam dulu.
Sesampainya di sofa, Bagas meminta Alleta duduk. Ia kemudian membuka laci meja kecil dan mengambil sebuah kotak beludru kecil berwarna navy.
Alleta memperhatikan setiap gerakan itu dengan rasa penasaran.
Kotak itu dibuka perlahan…
Di dalamnya, tersemat sebuah kalung silver yang berkilau lembut terkena lampu ruang keluarga. Liontinnya berbentuk huruf yang disusun rapi: AS. Mungil, elegan, dan sangat indah.
“Sini… Papa pakein.”
Dengan penuh kehati-hatian, Bagas mengalungkan hadiah itu ke leher putrinya.
“Cantik banget… persis kayak kamu,” ujar sang ibu dengan suara lembut yang membuat hati Alleta menghangat.
Alleta tersenyum, menyentuh liontin itu pelan.
“AS?” tanyanya bingung namun penasaran.
“AS… Alleta Sabiru.” Bagas tersenyum bangga, “Kamu suka?”
“Suka banget… Makasih Papa, Mama.”Ia langsung memeluk mereka berdua dan mencium pipi keduanya, rasa haru tak bisa ia sembunyikan.
Namun setelah pelukan itu lepas, Alleta menarik napas pelan, mencoba menyusun kata-kata.
“Oh ya… Leta mau cerita sesuatu…” ujar Alleta masih dengan senyum yang tersampir di wajahnya.
“Cerita apa sayang..?” sang ibu berbicara.
Alleta menarik napas pelan sebelum mulai bercerita.
“Tadi di sekolah… ada latihan basket, Ma, Pa.” Ia menatap keduanya bergantian, berusaha menjelaskan setenang mungkin.
“Terus… salah satu pemain tim basket, namanya Sagara, nggak sengaja lempar bola, dan kena kepala Alleta.” Nada suaranya dibuat santai, meski tatapan ibunya langsung panik lagi.
“Kena kepala? Kamu gapapa?” Sekar memegang sisi kepala Alleta, mengecek pelan.
“Udah mendingan kok… Papa Mama tenang aja.” Ia meyakinkan dengan senyum tipis.
Namun ayahnya belum terlihat lega.Sebelum Bagas sempat bertanya, Alleta melanjutkan,
“Tapi Sagara… dia langsung tanggung jawab. Dia yang bawa Alleta ke UKS,” lalu melirik singkat ke ibunya, “dan ke rumah sakit, biar beneran diperiksa sama dokter.”
Sekar dan Bagas saling bertatapan, ekspresi keduanya mulai melunak, setidaknya soal penanganannya.
“Terus… Sagara juga ngajak makan dulu,”ujar Alleta sedikit canggung, jari-jarinya memainkan liontin “AS” yang baru diberikan ayahnya.
“Habis itu baru dianterin pulang.”
Ada jeda hening.
Bagas menyandarkan tubuhnya, mencoba menilai setiap detail.
“Tapi sekarang kamu gapapa kan??” Nada suaranya pelan tapi tetap mengandung kekhawatiran seorang ayah.
Alleta mengangguk mantap.
“Iya, Pa. Alleta baik-baik aja, cuma memar dikit.”
Lama… sampai akhirnya sang ayah tersenyum kecil, meski masih terlihat memikirkan banyak hal.
“Bagus kalau dia punya rasa tanggung jawab.”Kalimat itu terdengar seperti izin samar.
Sekar mengusap kepala putrinya lagi, “Yaudah kamu sekarang istirahat dulu. Mama buatin teh hangat ya.”
Alleta tersenyum lega,
“Iya, makasih, Ma… Pa.”
Alleta kemudian bangkit, dan melangkah menuju kamarnya di lantai dua. Sembari berjalan, dia sempat berpikir, kenapa nyeritain gini aja, rasanya kayak mau kenalin calon suami sih?.
*******
Setelah mandi, Alleta merasa jauh lebih segar. Rambut panjangnya masih sedikit basah. Ia duduk bersila di atas kasur, buku kimia terbuka di pangkuannya. Sesekali ia meneguk teh hangat yang tadi dibuatkan Mama, aromanya menenangkan, rasa manisnya pas.
Pensilnya mengetuk halaman buku ringan, berusaha fokus pada rumus kimia yang sebenarnya sudah berputar-putar di kepalanya sejak tadi. Tapi otaknya justru sibuk memutar ulang kata-kata Sagara siang tadi.
“Gue ga berbakat main basket…”
Alleta mengerutkan kening.
Pemuda itu jelas bohong.
Dia sendiri melihat bagaimana Sagara begitu lihai di lapangan.
Refleksnya cepat, lemparannya tepat.
Ngapain sih dia bohong?
Atau cuma ga mau terlihat hebat? Sok rendah hati begitu? Kepalanya penuh pertanyaan yang tak ada jawabannya.
Dengan sedikit ragu, ia meraih ponsel yang tergeletak di sampingnya. Jempolnya bergerak membuka Instagram. Di kolom pencarian ia mengetik nama yang belakangan terlalu sering muncul di benaknya:
Sagara
Muncul banyak hasil. Nama itu ternyata tidak jarang dipakai.
Alleta menggigit bibir, satu per satu akun ia buka.
Akun pertama bukan.
Akun kedua juga bukan.
Akun ketiga… hmm bukan juga.
Hingga akhirnya…
@Sagara_Kelana31
Satu nama yang terasa… cocok.
Tak ada foto profil. Bio kosong.
Pengikut tidak banyak.
Namun begitu ia buka postingannya…
dan melihat foto pertama…
dadanya langsung kenceng deg-degan.
Foto di kolam renang.
Sagara bersama beberapa temannya, Sagara hanya memakai celana pendek, tubuhnya terlihat atletis dengan otot bahu dan perut yang jelas terbentuk.
Slide kedua menampilkan Sagara sendirian, lebih dekat.
Wajahnya terlihat dingin namun… entah kenapa, justru semakin tampan.
Alleta menelan ludah.
Tangan kirinya refleks menutupi setengah wajah, seolah bisa menyembunyikan rasa malu yang justru muncul tanpa alasan.
“Apa sih… lebay banget lo, Let.” gumamnya, mencoba menertawakan diri sendiri.
Ia menggulir lagi.
Foto berikutnya membuatnya tertegun lebih lama.
Sagara dan timnya memegang piala basket dengan sorak kemenangan.
Komentar dan like banyak sekali, seolah menjadi bukti masa kejayaannya.
Caption-nya sederhana:
“One Last Match.”
Tanggal unggahannya: 21 juni 2016, setahun yang lalu.
Alleta membeku sejenak.
Sagara… juara?
Kalau gitu, kenapa dia bilang gak berbakat?
Ada apa sebenarnya?
Kenapa berhenti?
Semakin lama ia melihat foto itu, semakin banyak pertanyaan yang muncul.
Dan tanpa sadar… semakin besar rasa ingin tahunya terhadap pemuda bernama Sagara.
Ia mematikan layar ponsel dan termenung sesaat. Wajah itu, tatapan datar itu, dan suara cueknya…
semuanya mengganggu pikirannya.
“Aduh… kenapa jadi kepikiran gini sih…” keluhnya pelan.
Mata Alleta kembali fokus pada layar ponselnya. Dia menggulir ke bagian paling bawah akun itu dan sebuah foto menarik perhatiannya.
Sagara duduk di sebuah bangku taman, memegang gitar akustik berwarna cokelat gelap. Jemarinya tampak menyentuh senar, wajahnya sedikit menunduk, dalam ekspresi yang… tenang. Foto itu dipost dua tahun lalu, namun auranya masih terasa hangat seolah baru kemarin diambil.
“Dia bisa main gitar juga?” gumam Alleta kagum.
Detik berikutnya..tap.
Suaranya kecil, tapi cukup untuk membuat seluruh tubuh Alleta membeku.
Jempolnya baru saja memencet ikon hati. Foto itu kini berubah merah.
“Mampus,” bisik Alleta, wajahnya langsung memanas. “Yaampun… gimana nih…?!”
Dengan gerakan super cepat, dia menekan ikon hati itu lagi hingga kembali putih. Tapi kerusakan sudah terjadi. Notifikasi pasti sudah terkirim. Apalagi akun Sagara sepi, setiap notifikasi pasti terlihat jelas.
“Dia pasti mikir gue kepo! Aduh… kenapa juga tangan gue nakal banget sih?”
Alleta buru-buruh meletakkan ponselnya. Lalu tanpa ampun, dia menenggelamkan wajah ke bantal.
“Aaaaaaa!!!”
Suaranya teredam, tapi paniknya nyata. Bahunya naik-turun menahan malu yang meledak begitu saja.
Kenapa harus foto yang ini… foto dua tahun lalu pula… keliatan kayak stalker berat kan jadinya?!
Dia kembali mengintip ponsel, seolah berharap notifikasi like itu bisa terhapus dari dunia.
Akhirnya, Alleta kembali menutup wajahnya. Kali ini lebih dalam lagi. Jika saja lantai bisa menelannya, Alleta tidak akan menolak.
*******
Di sisi lain, di balkon lantai dua kediamannya, Sagara bersandar pada kursi besi berlapis kayu. Malam itu cukup sepi, hanya suara angin yang menyapu dedaunan terdengar halus.
Ia mengangkat pod ke bibir, menghembuskan asap pelan yang memudar ke udara gelap. Matanya kosong menatap langit, entah apa yang sedang dia pikirkan.
Getar singkat dari saku celana membuatnya mengalihkan perhatian.
Drrt.
Sagara mengerutkan dahi malas. Notifikasi bukan hal penting baginya. Biasanya dia mengabaikannya begitu saja. Tapi mungkin karena gabut, ia meraih ponsel itu.
Satu notifikasi Instagram terpampang.
@byalleta01 menyukai foto Anda
Sagara mengangkat alisnya.
Jemarinya menekan nama akun tersebut. Sekejap profil itu terbuka.
24K followers
Foto profil cewek cantik dengan pose manis, postingan aesthetic penuh warna.
Sagara menghela napas pendek sambil menyunggingkan senyum miring.
“Oh… anak itu.”
Si gadis pendek yang kena bola basket sore tadi.
Ia menggulir sebentar isi feed Alleta, penuh kehidupan. Sangat kontras dengan akunnya yang sepi.
“Stalker ni anak…” gumamnya sambil terkekeh kecil, menyadari foto yang disukai adalah foto yang dipostingnya dua tahun lalu.
Sagara memandangi feed akun tersebut cukup lama. Detik berikutnya, jempolnya langsung menekan tulisan follow hingga tulisan itu berwarna putih. Setelah itu Sagara langsung menutup aplikasi dan kembali meletakkan ponselnya di saku celana.
Sagara menyandarkan kepala pada sandaran kursi, masih memainkan ujung pod di jarinya. Ia kembali menatap langit, tapi sudut bibirnya tetap terangkat tipis.
Untuk pertama kalinya setelah lama, notifikasi tadi terasa… lumayan menyenangkan.
Bersambung...
~Kalau gue panggil, Si pendek yang memikat, sabi kali yaa..~
Sagara Kelana Biantara