Alya, gadis sederhana dan salehah yang dijodohkan dengan Arga, lelaki kaya raya, arogan, dan tak mengenal Tuhan.
Pernikahan mereka bukan karena cinta, tapi karena perjanjian bisnis dua keluarga besar.
Bagi Arga, wanita berhijab seperti Alya hanyalah simbol kaku yang menjemukan.
Namun bagi Alya, suaminya adalah ladang ujian, tempatnya belajar sabar, ikhlas, dan tawakal.
Hingga satu hari, ketika kesabaran Alya mulai retak, Arga justru merasakan kehilangan yang tak pernah ia pahami.
Dalam perjalanan panjang penuh luka dan doa, dua hati yang bertolak belakang itu akhirnya belajar satu hal:
bahwa cinta sejati lahir bukan dari kata manis… tapi dari iman yang bertahan di tengah ujian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ricca Rosmalinda26, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rumah Tanpa Cinta
Rumah megah itu berdiri di atas tanah hampir setengah hektar. Pilar-pilar tinggi menjulang, dinding berwarna putih keabu-an, dan halaman luas dengan taman rapi di sisi kanan. Semuanya tampak sempurna dari luar, seperti gambaran bahagia seorang pengusaha sukses.
Namun bagi Alya, rumah itu terasa sunyi. Tidak ada senyum yang menyambut, tidak ada ucapan selamat datang, hanya langkah kaki yang menggema di lantai marmer dingin.
Mbok Darmi, seorang perempuan tua berkerudung yang sudah puluhan tahun bekerja di keluarga Maheswara, menjemput Alya di pintu masuk. Senyumnya ramah, tatapannya hangat.
“Nona baru, ya? Saya Mbok Darmi. tuan Arga pesan supaya saya bantu apa pun yang nona perlukan.”
Alya tersenyum lembut dan menunduk sopan.
“Terima kasih, Mbok. Mohon bimbingannya. Saya masih harus banyak belajar.”
“Masya Allah, halus banget tutur katanya,” gumam Mbok Darmi sambil tersenyum bangga. “Mari, saya antarkan ke kamar utama.”
Mereka berjalan menapaki tangga spiral yang melingkar indah. Dindingnya dipenuhi lukisan-lukisan mahal, foto-foto Arga di luar negeri, dan penghargaan bisnis yang berjejer rapi di rak kaca.
Tapi tidak satu pun foto keluarga. Tidak ada kenangan hangat yang terpajang.
Ketika tiba di kamar utama, Mbok Darmi membuka pintu dengan hati-hati. Ruangan itu luas, penuh ornamen mewah: tempat tidur besar, lemari kaca, dan balkon yang menghadap taman belakang.
“Ini kamar tuan Arga. Ibu dan Bapak dulu bilang, nanti nona tinggalnya di sini.”
Alya memandangi sekeliling ruangan, lalu tersenyum tipis.
"Mbok, panggil saya Alya saja yaa. Nona, terlalu berlebihan untuk saya." Ucap Alya, merasa tidak nyaman dengan panggilan istimewa dari mbok Darmi.
"Loh, tidak sopan non. Nanti saya kena tegur tuan Arga." Jawab Mbok Darmi.
Alya berpikir pelan, apakah suaminya itu akan peduli dengan hal-hal begini bahkan saat dia tidak peduli dengan Alya?
"Kalau begitu panggil 'mbak' saja yaa. Saya kurang nyaman dengan panggilan itu."
"Boleh non?.. Eh, mbak maksud saya."
"Tentu saja boleh." Jawab Alya dengan senyuman.
“Baik, Mbok. Saya akan bereskan barang-barang saya. Terima kasih banyak.” Lanjut Alya.
Mbok Darmi mengangguk.
“Kalau mbak Alya butuh apa-apa, panggil Mbok aja di dapur. tuan Arga sudah berangkat ke kantor kan barusan?"
“Iya, Mbok. Terima kasih.”
---
Di Kantor Arga Maheswara
Gedung Maheswara Group menjulang tinggi di pusat kota Jakarta. Lantai tertinggi, tempat Arga bekerja, didominasi kaca besar dengan pemandangan gedung-gedung megah di bawahnya.
Ia duduk di kursi kulit hitam, jasnya rapi, wajahnya tegas, dan sorot matanya tajam seperti biasa. Di hadapannya, para staf berdiri dengan gugup.
“Target bulan ini turun lima persen,” katanya dingin. “Saya nggak mau dengar alasan. Saya mau hasil. Kalau minggu depan angka ini nggak naik, ganti timnya.”
Seorang manajer muda mencoba bicara, “Pak, kami sudah berusaha maksimal. Mungkin pasar sedang—”
“Pasar?” potong Arga tajam. “Jangan salahkan pasar. Salah strategi kalian!”
Ruang rapat hening. Tak seorang pun berani membalas.
Arga berdiri, melepas jasnya, lalu menatap layar monitor besar di dinding.
“Saya nggak bayar kalian buat mikir alasan. Saya bayar kalian buat kerja. Sekarang keluar, perbaiki laporan itu.”
Mereka segera bubar, meninggalkan ruangan dengan wajah tegang.
Satu-satunya orang yang tersisa adalah sekretaris pribadinya, Clara, wanita berambut cokelat gelombang, berpenampilan elegan dan mengenakan dress formal yang menonjolkan lekuk tubuh.
Clara mendekat dengan membawa segelas kopi.
“Pak, semua orang masih shock karena Anda menikah mendadak,” ujarnya pelan tapi menggoda. “Mereka penasaran, siapa perempuan yang bisa menaklukkan Arga Maheswara.”
Arga mendengus.
“Pernikahan itu cuma formalitas.”
“Tapi Anda benar-benar menikah, kan?” tanya Clara sambil tersenyum kecil. “Saya pikir gosip.”
“Clara. Fokus kerja. Jangan bahas hal pribadi.”
Nada suaranya datar tapi dingin, membuat Clara langsung terdiam.
Namun begitu Clara keluar, Arga memejamkan mata. Ia merasa berat.
Menikah bukan hal yang ia inginkan. Semua hanya untuk memenuhi keinginan ayahnya. Ia ingin bebas, hidup seperti dulu.
Bagi Arga, pernikahan ini hanyalah rantai baru yang membatasi ruang geraknya.
---
Sore di Rumah Arga
Langit mulai berwarna jingga ketika mobil hitam Arga memasuki halaman rumahnya. Ia turun dengan wajah letih, membuka dasi sambil berjalan masuk ke rumah.
Suara langkahnya terdengar tegas di lantai marmer.
Begitu sampai di tangga, ia melihat Mbok Darmi yang baru keluar dari kamar atas.
“Mbok,” panggilnya singkat. “Alya di mana?”
“nona di kamar, tuan,” jawab Mbok Darmi hati-hati. “Saya antar tadi ke kamar utama, sesuai pesan Ibu Retno.”
Alis Arga langsung mengerut.
“Kamar utama?” suaranya meninggi. “Mbok bilang… kamar utama?”
“Iya, tuan. Bukankah memang begitu katanya—”
“Astaga…” Arga mengacak rambutnya kasar. “Siapa suruh dia tidur di kamarku?”
Ia langsung melangkah cepat ke atas. Pintu kamar utama terbuka sedikit, dan dari celahnya terlihat Alya sedang merapikan selimut di atas tempat tidur besar itu.
Alya tersenyum kecil ketika menyadari suaminya datang.
“Mas Arga sudah pulang? Aku baru saja—”
“Keluar,” potong Arga tajam.
Alya tertegun.
“Maaf?”
“Aku bilang keluar dari sini! Siapa suruh lo masuk ke kamar gue?”
Alya memandangnya dengan mata tenang, meski hatinya sedikit bergetar.
“Maaf, Mas. Aku hanya mengikuti arahan Mbok Darmi. Katanya, ini kamar kita.”
“Kamar gue, bukan kita! Gur nggak pernah bilang lo tidur di sini.”
Nada suaranya meninggi. “Gue udah siapkan kamar di sebelah, dan gue nggak mau lo sentuh barang apa pun di sini. Jelas?”
Alya diam sejenak. Wajahnya tetap lembut, meski ada luka di matanya.
“Baik, Mas. Kalau itu yang Mas inginkan.”
Ia menunduk, menutup koper kecilnya, lalu berdiri perlahan.
“Aku minta maaf sudah lancang. Aku akan pindah sekarang juga.”
Arga berjalan ke balkon, menatap keluar tanpa bicara. Napasnya berat, seperti menahan sesuatu yang bahkan ia sendiri tidak pahami.
Alya menunduk hormat sebelum melangkah keluar.
Sebelum pintu tertutup, ia sempat berkata pelan,
“Tidak apa-apa, Mas. Aku tahu, setiap awal pasti sulit. ‘Dan bisa jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia baik bagimu.’ (QS. Al-Baqarah: 216). Semoga suatu hari, Mas Arga juga bisa melihat kebaikan dari semua ini.”
Pintu menutup perlahan.
Suara langkah Alya menjauh di lorong.
Arga terdiam. Kata-kata itu bergema di kepalanya. Ia tidak mengerti kenapa, tapi ada sesuatu dalam cara Alya berbicara, lembut, tapi menembus.
Ia menghela napas panjang, lalu menatap kosong ke arah tempat tidur.
“Cewek aneh,” gumamnya lirih. “Sabar banget, padahal gue jelas-jelas kasar ke dia.”
---
Sementara itu, di kamar sebelah, Alya menggelar sajadah dan menundukkan kepala dalam sujud panjang.
Air matanya jatuh di atas sajadah. Tapi dalam doanya, tidak ada keluhan, hanya harapan.
“Ya Allah, kuatkan hatiku. Jadikan rumah ini tempat penuh rahmat, bukan amarah. Aku tidak ingin membencinya, meski ia menolak keberadaanku. Aku ingin mencintainya dengan sabar, sebagaimana Engkau mengajariku lewat ujian ini.”
Malam pun turun perlahan, menyelimuti rumah besar itu dengan keheningan.
Di satu kamar, seorang wanita berdoa dengan ikhlas.
Di kamar lain, seorang pria menatap langit.
Dua hati, satu rumah tapi jarak di antara mereka masih selebar langit dan bumi.
---
☘️ To be continued
aku aja klo ngomong diceramahi emosi apalagi modelan arga 🤣🤣