NovelToon NovelToon
Tuan Muda Kami, Damien Ace

Tuan Muda Kami, Damien Ace

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Mafia / Romansa / Persaingan Mafia
Popularitas:1.9k
Nilai: 5
Nama Author: Ferdi Yasa

Mereka bilang, Malaikat ada di antara kita.

Mereka bilang, esok tak pernah dijanjikan.

Aku telah dihancurkan dan dipukuli, tapi aku takkan pernah mati.

Semua darah yang aku tumpahkan, dibunuh dan dibangkitkan, aku akan tetap maju.

Aku telah kembali dari kematian, dari lubang keterpurukan dan keputusasaan.

Kunci aku dalam labirin.

Kurung aku di dalam sangkar.

Lakukan apa saja yang kalian inginkan, karena aku takkan pernah mati!

Aku dilahirkan dan dibesarkan untuk ini.

Aku akan kembali dan membawa bencana terbesar untuk kalian.

- Damien Ace -

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ferdi Yasa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 6 Sesuatu yang Salah

[Saya sudah mengecek kamera pengawas, tapi tidak ada satu pun yang menjangkau sampai ke area itu, Tuan.]

[Saya akan berjaga di sini sementara.]

Alex menerima dua pesan singkat dari Edgar. Ia segera membalas cepat, “Tidak perlu, pulang dan istirahatlah.”

Ada Nic di sana, dan Alex tahu betul, Nic tidak akan tinggal diam jika terjadi sesuatu.

Malam itu, Alex akhirnya merebahkan tubuhnya, memeluk Eve, dan memejamkan mata. Setelah sore yang panjang dan penuh keringat, Eve tertidur sangat nyenyak. Ia tak tahu kapan Alex meninggalkan sisinya, juga kapan pria itu kembali.

Namun kebiasaan itu sudah bukan hal asing baginya.

Sejak kehamilan keduanya, Alex selalu bangun lebih dulu. Ia datang membawa segelas jahe hangat setiap pagi, dan berkat itu, Eve tak lagi mengalami morning sickness.

Seperti yang ia duga, tak lama setelah matanya terbuka, Alex muncul dari pintu kamar dengan cangkir di tangan. Uap hangat masih mengepul, memenuhi ruangan dengan aroma jahe yang lembut.

Alex duduk di sisi ranjang, menyerahkan cangkir itu dengan tenang. “Minumlah selagi hangat.”

“Sebenarnya kau tidak perlu repot-repot melakukan ini lagi,” ucap Eve lembut. “Aku merasa jauh lebih baik sekarang.”

“Kau yakin?” tanyanya pelan.

Eve tersenyum. “En. Tapi karena kau sudah menyiapkannya, aku akan meminumnya.”

“Tidak perlu memaksakan diri kalau kau tidak ingin,” jawab Alex, suaranya tetap tenang.

“Tidak, aku menyukainya. Rasanya hangat di perut,” ujar Eve sambil meneguk pelan. Setelah beberapa tegukan, ia meletakkan cangkir itu di meja samping. “Alex … selain merawatku dan anak-anak, kau juga harus memikirkan dirimu. Kalau kau bekerja sampai larut malam, jangan bangun terlalu pagi hanya untuk menyiapkan ini. Kau juga butuh istirahat yang cukup.”

Alex hanya menatapnya sesaat. Bagaimana mungkin ia bisa memikirkan dirinya sendiri, ketika selama ini Eve sudah melalui begitu banyak hal seorang diri—mengandung, melahirkan, dan membesarkan Damien serta Daisy tanpa keluh? Kehamilan kali ini, ia sudah berjanji akan menjaganya sebaik mungkin.

Namun di depan Eve, ia hanya mengangguk.

“Sebenarnya … aku juga ingin sesuatu,” ucap Eve ragu-ragu.

“Katakan saja. Apa pun yang kau inginkan, aku akan mendapatkannya untukmu.”

“Aku ingin menyetir sendiri.”

Alex langsung menjawab tegas, “Tidak mungkin.”

Eve tersenyum memelas. “Ayolah, aku hanya ingin sekali saja menyetir, seperti dulu. Lagipula, hamil bukan berarti aku tidak bisa menyetir. Waktu mengandung Damien dan Daisy pun aku baik-baik saja.”

“Sekarang berbeda,” potong Alex. “Aku di sini. Dan aku yang menentukan apa yang boleh kau lakukan, dan apa yang tidak.”

Ia hendak berdiri sebelum hatinya luluh oleh rayuan Eve. Tapi wanita itu lebih cepat — tangannya melingkar di pinggang Alex, menahan.

“Boleh, ya? Tolong ….” Suaranya lembut, memelas. “Aku janji akan hati-hati. Tidak jauh, dan aku akan pulang tepat waktu.”

Ia hanya ingin merasakan sedikit kemandirian. Selama ini Alex selalu mengantar dan menjemputnya, bahkan di tengah jadwal padatnya. Tak jarang, pria itu harus kembali ke perusahaan setelah mengantarnya pulang.

Setelah semua yang terjadi, Alex tak lagi bisa sepenuhnya percaya pada orang lain—kecuali pada mereka yang benar-benar berada di sekitarnya.

Edgar sudah bersama anak-anak, dan itu berarti, tanggung jawab menjaga Eve kini sepenuhnya berada di tangannya.

“Alex … itu hanya mengemudi,” ucap Eve dengan nada lembut yang penuh harap. “Aku bukan pembalap yang akan mengebut di jalanan. Boleh, kan? Kalau aku sampai mengalami masalah, aku janji tidak akan meminta untuk menyetir lagi.”

Alex menahan diri untuk tidak menatapnya. Tapi sekali saja ia melirik, wajah Eve yang memohon itu membuat hatinya melemah—seolah ia baru saja merebut mainan dari tangan seorang anak kecil.

“Baiklah,” ucapnya akhirnya. “Aku pegang ucapanmu.”

“Terima kasih, Sayang ….” Eve langsung memeluknya erat, suaranya bergetar lega.

“Tapi kalau sedikit saja terjadi sesuatu, aku tidak akan mengizinkanmu mengemudi lagi.”

“Aku janji. Aku akan hati-hati dan tidak akan pergi terlalu jauh darimu.” Ia menempelkan wajahnya di dada Alex, dan senyum di bibirnya tampak begitu bahagia—seperti seseorang yang baru saja mendapat kebebasan kecil setelah lama terkurung. “Jadi, kapan anak-anak akan pulang?”

“Nic dan Nelly bilang mereka akan mengantar anak-anak ke sekolah hari ini,” jawab Alex, sambil menatap wajah istrinya dari dekat. “Rayyan dan Manda juga sudah kembali kemarin sore. Dan—”

“Apa mereka sudah pindah?” potong Eve.

“Ya. Rayyan membawa istrinya ke sini begitu mereka tiba kemarin.”

“Itu bagus. Aku akan mengunjunginya nanti.”

Mereka sudah cukup lama tidak bertemu. Ada banyak hal yang perlu dibicarakan—dan bagi Eve, hanya Manda yang bisa diajak bercanda sekaligus berdebat dengan nyaman.

Setelah sarapan, Rayyan datang ke rumah. Dua pria itu pergi lebih dulu, dan barulah setelahnya Eve bersiap. Ia sengaja menunggu sampai keduanya benar-benar pergi sebelum mengambil kunci mobil dan berangkat ke rumah Manda.

Sebelumnya ia sudah memberi tahu Manda tentang kedatangannya. Saat tiba, Manda sudah menunggu di depan rumah—tepat di depan pintu, berdiri tegak seperti penjaga istana. Begitu mobil Eve berhenti, Manda langsung melangkah cepat menghampirinya.

“Eve … aku rindu sekali denganmu!” seru Manda sambil merentangkan tangan.

Baru saja keluar dari mobil, Eve menyingkirkan pelan tangan itu sebelum sempat menyentuh tubuhnya. “Siapa yang percaya? Kau pergi lama sekali sampai aku sempat berpikir menyarankan Alex menjual rumahmu ini.”

“Hei! Kau justru yang pergi lebih lama dariku, dan aku tidak protes!”

“Lalu kenapa kau tidak protes?”

“Kau!” Manda mendengus kesal. “Ah, sudahlah. Kau makin menyebalkan saat hamil. Kalau anakmu nanti lahir dan mirip denganku, kau harus siap, karena kau terus membuatku jengkel!”

“Rumor macam apa itu?” balas Eve, tersenyum geli.

“Itu bukan rumor, tapi kenyataan. Lihat Damien dan Daisy—ada yang mirip dirimu? Tidak, kan? Itu karena dulu kau terlalu sering mengumpati Alex!”

“Ya, karena mereka anaknya, tentu saja mirip dia!”

“Kalau kau tak percaya, lihat saja nanti,” kata Manda sambil menepuk bahu Eve. “Sudahlah, kalau kita terus berdebat, sampai siang pun tak selesai. Ayo, aku mau bicara sesuatu penting denganmu.”

“Padahal aku ingin melihat ke dalam rumahmu dulu,” gumam Eve sambil mengikuti langkahnya.

“Untuk apa? Isinya sama saja—ada sofa, meja makan persegi panjang, kamar tidur, kamar mandi, dapur, kolam renang, dan tembok yang masih kokoh. Sekarang ayo cepat, aku tidak mau terlambat ke kantor sebelum bicara ini padamu.”

Manda membuka pintu mobil Eve, lalu tanpa banyak bicara mendorongnya pelan agar duduk di kursi pengemudi. Dia sendiri berputar ke sisi penumpang dan masuk.

Mobil pun melaju perlahan keluar dari halaman.

“Jadi, apa sebenarnya yang mau kau bicarakan?” tanya Eve, menoleh singkat.

Manda menarik napas, lalu berkata lirih, “Aku yakin Alex tidak akan memberitahumu tentang ini. Dan aku sendiri juga takkan tahu… kalau saja aku tidak sengaja mendengar Rayyan menelepon seseorang tadi malam.”

Dia menatap Eve, matanya serius. “Eve, apa kau tahu kalau Laura sudah bebas?”

Eve refleks menoleh padanya. “Sungguh? Bagaimana bisa secepat ini?”

“Aku juga tidak tahu,” jawab Manda cepat. “Yang kudengar, Rayyan menyuruh seseorang untuk memasukkan nama Laura ke daftar hitam. Katanya, jika dia muncul lagi, mereka harus segera memantau—dan jangan sampai dia tahu tentang transplantasi Damien.”

“Laura …,” bisik Eve pelan. “Dia masih belum menyerah mengejar keponakannya? Aku pikir dia sudah tahu kalau Eldy meninggal.”

“Ya, tapi kau tahu sendiri, dia bukan tipe yang mudah menyerah. Karena Celline yang mengandung Eldy, aku curiga dia akan mencari Celline dulu. Dan kalau sampai dia tahu soal Damien ….”

Manda berhenti, menelan ludah. “Eve, aku bahkan tidak mau membayangkan kelanjutannya. Itu … sedikit menakutkan.”

Beberapa saat Eve hanya diam, matanya menatap lurus ke jalan, pikirannya melayang entah ke mana. “Hal seperti ini memang tidak mungkin Alex atau Rayyan mengatakannya pada kita.”

“Ya, tepat sekali.” Manda mengangguk cepat. “Bahkan Rayyan sengaja bicara di luar kamar dengan suara kecil. Aku tidak bermaksud menguping, tapi tadi malam aku keluar mengambil air, dan kebetulan kudengar percakapan itu. Kalau tidak, aku juga takkan tahu.”

“Tapi jangan terlalu kau pikirkan,” lanjutnya lagi, berusaha menenangkan suasana. “Aku percaya Alex tidak akan diam. Dia pasti sudah menyiapkan langkah untuk menghadapi Laura. Lagipula, setelah sekian lama berpisah dari Damien dan Daisy, aku yakin dia takkan membiarkan apa pun menjauhkan mereka lagi.”

Eve masih terdiam. Namun di balik senyum tipisnya, tersimpan kegelisahan yang tajam. Ia masih ingat tatapan Laura saat itu—tatapan yang membara penuh kebencian saat wanita itu mengguyurnya dengan bensin, seolah benar-benar ingin membakarnya hidup-hidup.

Wanita yang dikuasai amarah … jauh lebih berbahaya dari siapa pun.

“Eve …,” panggil Manda lembut, memegang lengannya di atas kemudi. “Aku tidak bermaksud menakutimu. Aku hanya ingin kita semua waspada. Kau tak perlu berpikir terlalu jauh, serahkan saja semuanya pada Alex.”

“Aku tahu,” jawab Eve akhirnya, mencoba tersenyum. Ia menekan pedal gas sedikit lebih dalam.

Karena informasi dari Manda, Eve memutar arah kemudi. Ia tidak lagi menuju panti, melainkan mengambil jalan ke rumah Noah.

Jika Laura tahu soal Eldy, bukankah langkah berikutnya adalah mencari Celline? Dan Celline tinggal di rumah Noah sekarang.

Saat mobilnya berhenti di depan, Diana yang pertama muncul menyambutnya. Wanita itu tersenyum seadanya.

“Kau kemari, Eve?”

“Bu, bagaimana kabarmu?”

Diana dan Eve memang sempat akrab di masa lalu—sebelum Celline muncul dan segalanya berubah. Hingga kini, Eve sudah terbiasa memanggilnya Ibu, meski ia tahu, ada waktu-waktu di mana Diana begitu membencinya.

Namun sekarang, semuanya menjadi lebih baik. Termasuk hubungannya dengan Celline.

“Baik, seperti yang kau lihat. Ada urusan?” tanya Diana datar.

“Apa Celline ada di dalam?”

“Dia baru saja masuk ke kamarnya. Kau bisa langsung menemuinya.” Diana tersenyum tipis lagi, lalu berbalik pergi.

Ada sesuatu yang janggal pada wanita itu. Entah masih menyimpan kebencian lama, atau mungkin … karena Eldy, yang jantungnya kini berdegup di dada Damien.

Eve mengabaikan pikirannya. Mungkin karena mereka sudah lama tak berbicara, jadi semuanya terasa canggung. Ia segera naik ke lantai atas, menuju kamar yang tadi disebut Diana.

“Celline, kau di dalam? Ini aku,” ucapnya sambil mengetuk pelan.

“Eve, itu kau?”

Pintu terbuka, memperlihatkan Celline di baliknya. “Kau di sini?”

“Apa aku boleh masuk?”

“Masuk saja.”

Kamar Celline cukup luas, dengan beberapa foto dirinya dan Diana tergantung di dinding. Terlihat jelas, Diana masih menyayangi wanita itu seperti dulu.

“Kau datang ke sini … ada yang ingin kau bicarakan denganku?”

“Ya. Ini soal Laura.”

Celline menatap Eve sejenak, lalu tersenyum tipis. “Aku sudah menduga itu. Aku senang kau langsung menanyakannya padaku, Eve.” Ia melangkah mendekat. “Aku juga terkejut saat melihat Laura datang kemari, apalagi langsung menyinggung soal Eldy. Aku memang bilang padanya kalau Eldy meninggal karena kecelakaan, tapi tenang saja—aku tidak menyebut soal Damien. Aku berjanji tak akan pernah mengungkapkan itu.”

“Aku minta maaf kalau kedatanganku mendadak, mungkin terlihat seolah kami menekanmu agar tetap merahasiakan semuanya. Tapi bagaimanapun, kau ibu kandung Eldy. Aku hanya ingin memastikan semuanya aman.”

“Kau tidak perlu meminta maaf,” balas Celline lembut. “Sebagai ibunya, aku paham apa yang harus kulakukan. Aku tahu siapa Laura, dan seberapa gilanya dia jika terobsesi. Kami sudah merelakan keputusan Eldy. Aku hanya berharap tak ada masalah di kemudian hari … agar Eldy bisa tenang di sana.”

“Terima kasih.” Eve menatapnya tulus. “Ngomong-ngomong, apa kau tak ada acara hari ini?”

“Tidak. Aku … belum punya keberanian untuk keluar, untuk menampakkan diri di kota ini.”

“Kalau begitu, mau ikut denganku? Ada sesuatu yang ingin kutunjukkan padamu.”

***

1
Dheta Berna Dheta Dheta
😭😭😭😭
Idatul_munar
Gimana ayah nya tu..
Arbaati
hadir Thor...
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!