NovelToon NovelToon
Janda Melati

Janda Melati

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh / Ibu Mertua Kejam
Popularitas:5.4k
Nilai: 5
Nama Author: santi damayanti

sebuah cerita sederhana seorang melati wanita sebatang kara yang memilih menjadi janda ketimbang mempertahankan rumah tangga.

jangan lupa like dan komentar
salam autor

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi damayanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

jm 27

“Apa? Seratus juta? Hanya penyok sedikit!” ucap Melati dengan bibir gemetar. “Aku punya teman, namanya Agung Welder. Dia pernah kerja di Jerman sebagai tukang las dan perbaikan bodi mobil. Aku bawa saja ke sana, ya?”

Lelaki itu mendongak ke langit, wajahnya tetap tenang. “Kamu kira mobilku mobil murah? Apa kamu tidak lihat plat nomornya saja masih plat diler? Lalu kamu mau bawa ke tukang las?” Nadanya datar, tapi tajam. “Apa kamu mau menimbang mobil mewahku seperti barang rongsokan?” Tangannya kini menyelip ke saku celana.

Hati Melati bergetar, entah karena takut atau alasan lain yang ia sendiri tak mengerti.

“Tapi seratus juta itu bisa dapat dua mobil angkot, Pak,” ujarnya pelan. “Saya memang bodoh, tapi saya rasa biaya perbaikan tidak sebanyak itu.”

“Jangan jadikan alasan bodoh untuk menutupi tanggung jawabmu,” balas pria itu tegas. “Mobilku diam, lihat, aku parkir di bahu jalan, bukan di tengah jalan. Ini murni kesalahanmu. Ini kecelakaan tunggal, dan aku korbannya. Seratus juta itu sudah harga terendah, jadi kamu harus ganti.”

Melati menunduk. “Aku hanya lulusan SMP... pengangguran lagi,” ujarnya nyaris berbisik. Air matanya hampir jatuh dari pelupuk mata.

“Stop,” ujar lelaki itu cepat. “Jangan membatasi dirimu. Jangan jadikan tingkat pendidikan sebagai alasan untuk tidak sukses. Dan jangan jadikan kemiskinan sebagai alasan untuk tidak jadi orang kaya. Lahir miskin adalah takdir, tapi mati miskin itu pilihan.”

Melati mengernyitkan dahi. Sebagai penulis lepas, instingnya untuk mencatat hal-hal unik langsung bekerja. Kalimat itu ia simpan dalam benak: ‘Lahir miskin adalah takdir, mati miskin adalah pilihan.’

“Tapi aku enggak punya uang sebanyak itu sekarang. Lihatlah,” ujarnya sambil menunjuk ke arah motornya yang tua. “Motorku saja sudah jelek, harganya enggak sampai empat juta. Lalu aku harus bagaimana membayarnya?”

“Bayar dengan dirimu,” ucap lelaki itu datar.

Rahang Melati mengeras, tangannya mengepal, matanya melotot marah. “Aku bukan wanita murahan! Lebih baik aku mati daripada menjual diri!” geramnya lantang.

Lelaki tampan khas Timur Tengah itu mendelik, lalu menarik napas panjang. “Kamu kira aku punya selera pada wanita seperti kamu?” ucapnya dingin. “Bersihkan dulu pikiranmu. Bayar dengan dirimu artinya bayar dengan tenagamu. Kamu bisa mencuci piring, membersihkan rumah, atau mencuci mobil. Dan percayalah, aku tidak akan pernah mau dicucikan olehmu.”

Melati tersipu malu. Rupanya ia salah sangka dan terlalu percaya diri. Lelaki itu tinggi, sekitar 185 sentimeter, bertubuh kekar dan atletis. Sedangkan ia hanya 160 sentimeter. Setiap kali berbicara dengannya, Melati harus mendongak.

“Jadi, aku harus kerja sama Anda?” tanyanya pelan, kali ini nadanya lebih rendah.

“Ya, kamu enggak punya uang, kan? Maka bayar dengan tenaga,” jawab lelaki itu santai.

“Di mana aku harus kerja?” tanya Melati lagi, mencoba menenangkan diri.

Lelaki itu mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya—sebuah kartu nama elegan berwarna hitam perak—lalu menyerahkannya pada Melati.

“Panji Sukmana,” baca Melati pelan.

Pria itu mengulurkan tangannya. “Panji Sukmana,” ujarnya memperkenalkan diri.

Melati menangkupkan tangannya di dada. “Melati,” jawabnya sopan.

“Oh, maaf,” ucap Panji kemudian. “Aku lupa, kamu wanita berhijab. Tidak boleh bersentuhan fisik, ya?”

Melati hanya mengangguk.

“Datanglah ke tempat itu besok,” ucap Panji sambil menoleh ke arah mobilnya. Tanpa menunggu jawaban, ia melangkah pergi.

Mulut Melati terbuka, hendak membalas, tapi Panji sudah membuka pintu mobil dan masuk. “Tampan tapi tidak punya sopan santun,” gerutunya pelan. “Ucap salam dulu kek.”

Tiba-tiba, suara berat itu terdengar dari arah mobil. “Assalamualaikum.”

Melati mendongak. Ternyata Panji keluar lagi hanya untuk mengucapkan salam. Ia spontan menggaruk kepalanya yang tertutup hijab. “Waalaikumsalam,” balasnya dengan suara kecil.

Deru mesin mobil terdengar, perlahan menjauh meninggalkan Melati sendirian di pinggir jalan. Bayangan mobil hitam itu lenyap di tikungan, tapi bekas goresan di bodi belakang masih jelas terlihat dalam ingatan Melati.

Ia menatap kartu nama di tangannya. Tulisan di atasnya terbaca jelas: Universitas Mekar Buana.

“Universitas Mekar Buana?” gumamnya pelan.

Melati mengernyitkan dahi, mencoba mengingat. Nama itu tidak asing. Lalu ia menatap langit, napasnya berat.

“Bukankah ini tempat aku melamar kerja tadi?” katanya pada diri sendiri. Ia menarik napas dalam, mencoba mencerna semua kebetulan ini. “Kenapa aku harus kembali ke tempat itu? Aku harus bertemu lagi dengan Mawar berduri?”

Angin siang terasa panas menerpa tubuh Melati di pinggir jalan, tak jauh dari Indomaret yang berdampingan dengan Alfamart—pemandangan khas setiap sudut kota. Ia menyeka keringat di pelipisnya, menatap kosong ke arah lalu lintas yang padat.

“Ah, dia tidak memegang KTP-ku,” gumam Melati. “Kurasa dia tidak akan mencariku andai aku tidak bertanggung jawab.” Ia menggelengkan kepala, menepis pikirannya sendiri. “Tapi... dia orang kaya dan berkuasa. Mencari janda miskin sepertiku pasti bukan hal sulit baginya.”

Melati duduk di trotoar, menatap motor kesayangannya. Di bagian spakbor tampak bekas cat hitam, sisa benturan dengan mobil Panji Sukmana. Ia menghela napas panjang. Bekerja dengan Mawar akan membuatku tidak nyaman... tapi dengan apa aku harus membayar uang seratus juta? pikirnya.

Ia berdiri, lalu menaiki sepeda motornya. Kali ini ia menyalakan mesin dan memutar gas lebih kencang dari biasanya. “Biar enggak ngantuk,” katanya pelan tidak sesuai logika Safety Riding “pelan asal selamat” tapi “ngebut biar ga ngantuk” ya begitulah kadang hidup tidak sesuai teori,

Sementara itu, di tempat lain, Arga tengah tenggelam dalam dunianya sendiri. Setelah diangkat menjadi manajer umum di perusahaannya, hidupnya mendadak berubah. Saat sukses, banyak yang tiba-tiba jadi teman—itulah nasib Arga sekarang. Tapi ia tak terlalu peduli. Hanya tiga hal yang memenuhi pikirannya: rasa rindu pada Melati, keberadaan adiknya, Irma, yang entah di mana, dan kejadian semalam ketika Kartika datang ke kamarnya.

“Arga!” panggil Deni sambil masuk ke ruangannya.

Arga menoleh. Deni, yang dulu sering mengejeknya, kini bersikap manis. Dunia kerja memang penuh ironi.

“Ya, ada apa?” tanya Arga datar.

“Ada vendor mau masuk. Katanya siap mensejahterakan kamu,” ucap Deni setengah berbisik.

Arga mengerutkan dahi. Belum seminggu jadi manajer umum, godaan sudah datang. “Lakukan saja sesuai prosedur,” jawabnya tegas.

Deni menghela napas panjang. “Arga, jangan cuma mikirin perusahaan dan bos besar itu. Mereka kaya karena kita. Kita cuma digaji seadanya. Manfaatkan kesempatan ini sebaik mungkin.”

“Jika tidak ada kepentingan lain, sebaiknya kamu keluar saja,” ucap Arga tanpa menatapnya.

“Pikirkan baik-baik, Arga,” Deni tidak menyerah.

“Pergilah.”

Nada datar Arga membuat Deni kesal. Ia pun keluar dari ruangan dengan wajah masam.

Arga menatap laptop di mejanya. Laporan-laporan menumpuk, tabel-tabel memenuhi layar. Namun pikirannya tidak di sana. Bayangan Melati justru muncul. “Melati…” gumamnya lirih.

Waktu berlalu cepat, matahari condong ke barat. Arga menutup laptop dan keluar dari ruangannya. Beberapa karyawan menyapanya ramah, tapi ia hanya membalas dengan senyum tipis.

Ia menuju parkiran, masuk ke dalam mobil, dan melaju pelan menuju Kampus STIE Harapan Bangsa, tempat Irma kuliah.

Sampai di parkiran, Arga turun dan berjalan ke ruang administrasi. Di sana, seorang wanita berhijab duduk di belakang meja.

“Saya mencari adik saya, namanya Irma. Bisa tolong lihat, di ruangan mana dia kuliah?” tanyanya sopan.

Wanita itu mengetik nama Irma di komputer, lalu mengernyitkan dahi. “Irma... keterangan DO, Pak. Dua bulan yang lalu.”

Mata Arga membesar. “Dikeluarkan atau mengundurkan diri?”

“Dianggap mengundurkan diri, Pak. Dua semester tidak bayar kuliah. Dihubungi juga tidak bisa, jadi kami nyatakan keluar.”

Arga terdiam. Rasa bersalah menghantam dadanya. “Masalahnya, Bu... Irma sudah tiga bulan tidak tinggal di rumah.”

Wanita berhijab itu ikut mengerutkan kening. “Coba Bapak tanya teman-temannya di semester empat. Gedungnya di paling ujung, mungkin mereka tahu.”

1
partini
ini bisa ujungnya main 🐴🐴 ma kakak iparnya
partini
sehhh langsung aja 100jt ,,jodoh ini
partini
busehhhh kaka ipar nasfu bungtt,,hemmmm bisa kena ini kena jebakan KK ipar obat perangsang biasanya di pakai
Isranjono Jono
mati aja bu jangan lama2 hidup nanti dosanya segunung 😄😄
Isranjono Jono
wanita bodoh kau lapar tapi makanan mu kau kasih mertua sungguh bodoh maaf thor aku jadi setan hari ini🤭
Isranjono Jono
lawan2 kalau aku iparku gak ada yang berani sama aku coba kalau berani aku hancurkan dapur menyala kan aku thor🤭🤭
Desi Belitong
balas jangan bodoh hanya diam ujung2nya nangis
partini
good story
partini
👍👍👍👍👍
santi damayanti
ini harusnya rumah Risma
santi damayanti
ini harusnya rumah risma
SOPYAN KAMALGrab
ini. saya ga ngertii
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!