Amira adalah seorang barista yang bekerja di sebuah kafe biasa, namun bukan bar sepenuhnya. Aroma kopi yang pekat dan tajamnya alkohol sudah menjadi santapan untuk penciumannya setiap hari. Ia mulai terbiasa dengan dentingan gelas, desis mesin espresso, serta hiruk pikuk obrolan yang kadang bercampur tawa, kadang pula keluh kesah. Namun, di balik semua itu, ada satu hal yang tidak pernah benar-benar bisa ia biasakan—bayangan tentang Satria.
Satria tidak pernah menginginkan wanita yang dicintainya itu bekerja di tempat seperti ini. Baginya, Amira terlalu berharga untuk tenggelam dalam dunia yang bercampur samar antara cahaya dan gelap. Dan yang lebih menyesakkan, Satria juga tidak pernah bisa menerima kenyataan bahwa Amira akhirnya menikah dengan pria lain—pria yang kebetulan adalah kakaknya sendiri.
Takdir, kata orang.
Tapi bagi Satria, kata itu terdengar seperti kutukan yang kejam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 5
Amira melangkah perlahan di trotoar, tubuhnya lelah setelah seharian berjalan dan bekerja. Sinar matahari senja menyorot hangat di wajahnya, menyisakan bayangan panjang di jalanan sepi. Langkahnya berat, tapi ia terus berjalan, membawa tas kerja yang sedikit menggantung di bahunya.
Tiba-tiba, suara motor mendekat dari belakang. Amira menoleh, terkejut melihat Satria berhenti persis di sampingnya. Helm di tangan, senyum hangatnya seolah menenangkan segala rasa lelah.
"Mas Satria!" Senyum Amira mengembang.
"Aku baru selesai kuliah." Kata Satria. "Maaf telah membuatmu pulang berjalan kaki."
Amira menggeleng. "Jangan salahin diri kamu, Mas. Aku sudah terbiasa pulang berjalan kaki setelah bekerja."
"Sebagai permohonan maaf, aku ingin ajak kamu pergi."
"Pergi? Kemana, Mas?"
Satria menoleh ke jok belakang motornya yang kosong, memberikan isyarat lembut agar Amira naik. Senyumnya hangat, seolah berkata tanpa kata: Naik saja, nanti kau akan tahu.
Amira mengangguk antusias, hatinya berdebar, lalu melompat naik ke jok belakang motor. Tangan kecilnya menggenggam pinggang Satria, yang membuatnya sangat merasa aman dan nyaman.
Satria kembali menyalakan mesin, dan motor pun melaju perlahan di jalanan senja. Angin sore menyapu wajah mereka, membawa aroma kota dan sedikit aroma Satria dari serat jaket yang dikenakannya. Hangat dan memberikan rasa aman.
"Mas?" Kata Amira.
"Ya, sayang?"
Sayang. Kata itu berhasil membuat Amira seperti wanita yang paling spesial. Ia tersenyum malu, pipinya memerah, dan matanya berbinar hangat. Di balik kaca spion, ia menatap Satria. Sepertinya itu sudah lebih dari cukup untuk mendapatkan jawaban bahwa lelaki itu benar-benar tulus padanya. Kini, Amira memegang serat jaket Satria, bukan hanya untuk merasakan rasa aman. Ia memeluknya dari belakang, seolah meminta lebih dari sekadar perlindungan.
Sedangkan Satria, yang merasakan pelukan erat itu, hanya tersenyum hangat. Sesekali, ia menangkup jemari kekasihnya dan membalas pelukan itu dengan usapan lembut, penuh perhatian.
****
Setengah jam berlalu. Motor akhirnya berhenti di depan sebuah gerbang. Sepi. Hanya suara angin senja yang berdesir lembut. Amira menoleh, sedikit terkejut oleh kesunyian di sekitar mereka.
"Yuk!" Ajak Satria, seakan tak memberikan kesempatan Amira untuk bertanya apalagi menolak.
Amira menatapnya sebentar, sedikit terkejut, tapi akhirnya mengangguk. Tangan Satria menggenggam tangannya, dan bersama-sama mereka melangkah melewati gerbang yang membawanya menuju sebuah tempat yang membuat Amira tersentak.
Pemakaman itu tenang dan sepi, deretan batu nisan tertata rapi di atas tanah kering, beberapa dihiasi bunga segar yang kontras dengan hijau rerumputan di sekitarnya. Pohon-pohon rindang menundukkan dahan mereka, seolah memberi perlindungan dan kesakralan pada tempat itu.
Di dekat pemakaman, terlihat sebuah toko bunga kecil dengan jendela yang memantulkan cahaya senja. Satria menoleh ke Amira dan tersenyum. “Yuk, kita ke sana sebentar,” Ajaknya lembut.
"Mas, ini ..."
Satria menarik lengan Amira menuju toko bunga itu. Begitu memasuki toko, suasana berubah menjadi hangat. Rak-rak penuh bunga berwarna-warni memenuhi ruangan, dan aroma harum bunga segar perlahan menyelimuti mereka.
"Den Satria," Sapa seorang wanita paruh baya itu menyambut kehadirannya. Matanya melirik Amira yang ada dibelakangnya. "Wah, Den Satria dengan siapa?"
Satria tersenyum dengan ramah, hangat dan sangat akrab, seolah mengenal satu sama lain cukup lama. "Ini Amira."
Mata wanita itu sekilas menatap Amira, lalu kembali memandang Satria seolah memberi isyarat bahwa ia sudah tahu Amira adalah kekasihnya. “Cantik dan ayu, tenan,” katanya sambil tersenyum, memuji Amira dengan hangat.
Amira membungkukkan setengah tubuhnya, tersenyum malu sambil membalas pujian itu. “Terima kasih,” lirihnya, matanya sesekali menatap Satria yang berdiri di sampingnya dengan senyum hangat.
"Sudah disiapkan, Bu?"
Wanita itu mengangguk, tersenyum hangat, lalu berbalik pergi ke bagian belakang toko, sesaat meninggalkan Amira dan Satria ditempatnya mereka berdiri.
"Mas," Ucap Amira menarik mata Satria disampingnya. "Kenapa ajak aku ke tempat ini? Kita sebenarnya mau kemana, Mas?"
Satria hanya tersenyum samar sambil menatap bunga-bunga di hadapannya. “Nanti kamu bakal tahu,” Jawabnya singkat, seolah sengaja menyimpan rahasia kecil itu.
Tak lama, wanita itu kembali dengan langkah tenang, membawa seikat bunga krisan putih yang masih basah dan segar. Senyum ramahnya kembali menghiasi wajah saat ia menyerahkan bunga itu kepada Satria.
Satria menerimanya dengan hati-hati, seolah bunga itu punya makna lebih dari sekadar hiasan. Amira menatap bunga itu dengan rasa penasaran yang semakin besar, namun ia memilih diam, menunggu Satria membuka rahasianya sendiri.
"Makasih ya, Bu,” Ucap Satria sambil menyerahkan beberapa lembar uang kertas berwarna biru. Wanita itu menerimanya dengan senyum ramah dan anggukan kecil.
Ia lalu menoleh ke arah Amira, menggenggam bunga krisan putih di tangan kirinya. Sedangkan, sebelah tangan lainnya kembali menggenggam jemari kekasihnya. “Yuk,” Katanya singkat, memberi isyarat untuk keluar.
Amira yang masih kebingungan hanya mengikuti langkah Satria meninggalkan toko bunga itu. Aroma bunga segar masih tertinggal di udara saat pintu kaca bergemerincing halus di belakang mereka.
Satria melangkah lebih dulu, melewati jalan setapak yang berkelok-kelok di antara deretan nisan. Setiap langkahnya terasa mantap namun perlahan, seolah ia mengenali setiap sudut pemakaman itu.
Sementara itu, Amira mengikuti di belakang, matanya menelusuri batu-batu nisan yang berjajar rapi dengan rasa penasaran, kepada siapa dan untuk siapa bunga itu Satria tuju. Angin sore berembus pelan, menggoyangkan dedaunan yang meneduhkan jalan setapak itu. Hingga akhirnya, mereka berhenti di depan sebuah makam sederhana yang terletak di bawah naungan pohon ketapang.
Satria memandang makam itu dengan sorot mata yang tiba-tiba berubah teduh. Seketika napasnya terasa berat, seolah ada sesuatu yang menekan dadanya.
Amira hendak bertanya, tetapi sebelum sempat mengeluarkan kata, tubuh Satria goyah—lututnya melemah, dan ia jatuh berlutut di depan makam itu. Bunga krisan di tangannya nyaris terlepas, namun ia tetap menggenggamnya erat.
"Mas Satria!” Seru Amira panik, tangannya terulur menyentuh bahu lelaki itu.
Satria tidak pingsan, hanya diam, bahunya sedikit bergetar seperti sedang menahan sesuatu yang tak ingin ia tunjukkan. "Aku datang, Ma." Katanya dengan suara bergetar.
Ma? Amira menelan saliva. Tanpa perintah, Amira ikut berlutut di samping Satria. Kedua tangannya terlipat di pangkuan, mencoba menghargai kesakralan momen itu meskipun ia belum sepenuhnya mengerti siapa yang dimakamkan di hadapan mereka.
Amira menunduk kemudian. Matanya mulai merayap dan berhasil membaca sepotong nama yang terukir jelas di batu nisan itu ketika Satria menaruh bunga kristan itu disana. Desi. Begitu nama yang terbaca dengan ukiran huruf yang sedikit memudar.
"Kenalin, Ma. Ini Amira. Pacar aku." Lanjut Satria sembari memegang lembut nisan itu. "Aku tahu Mama tidak akan pernah setuju aku pacaran sebelum aku sukses,” Ucapnya pelan, suaranya bergetar namun sarat keteguhan. " Tapi ..." Matanya perlahan menoleh, mengunci pandangan Amira yang sedari tadi diam memperhatikannya. "Dia berhasil membuatku jatuh cinta. Dan aku tidak bisa menahan perasaan itu."
Amira menelan ludah, dadanya terasa hangat sekaligus berdebar. “Mas Satria …” Bisiknya lirih, nyaris tak terdengar, seolah takut suaranya memecah keheningan di antara mereka.
Satria hanya tersenyum tipis, tatapannya tetap lembut, seakan mengajak Amira untuk percaya pada setiap kata yang baru saja ia ucapkan.
****
"Ayahku pergi … meninggalkan aku dengan Ibuku yang saat itu sedang terbaring sakit di rumah sakit,” Ucap Satria pelan, suaranya terdengar serak saat kata-kata itu meluncur.
Sedangkan, Amira terdiam, hanya menatapnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
"Dia pergi tanpa rasa peduli terhadap kami." Lanjut Satria. Matanya menatap lurus ke depan, ke sebuah danau yang terhampar tenang di balik deretan pepohonan di ujung pemakaman. Permukaan airnya berkilau lembut memantulkan cahaya senja yang kian meredup, sesekali riak kecil terbentuk oleh embusan angin sore. "Mama meninggal … karena waktu itu kami nggak punya biaya buat operasi,”
Ia menunduk sebentar, jemarinya meremas pelan lututnya. “Setelah Mama pergi, aku dititipin ke panti asuhan. Di sanalah aku belajar bertahan. Sampai akhirnya ada pasangan yang mengangkat aku sebagai anak mereka. Dan kalau bukan karena mereka, mungkin aku nggak akan bisa sampai di titik ini. Semua yang aku punya sekarang … nggak akan pernah ada tanpa mereka.”
Amira kembali menahan keterkejutannya. Namun kali ini ia tak bisa membendung air matanya. Satria yang ia duga sosok pelindung yang sempurna, ternyata memiliki sisi rapuh yang bahkan lebih hancur daripadanya. Kalimat yang selalu membuat hati Amira tenang, ternyata tersimpan banyak luka yang kini terang-terangan Satria buka.
Satria menoleh seketika, menatap Amira yang ternyata sudah begitu dekat dengannya. Namun Amira tak bergerak, tetap diam di tempatnya, seolah enggan memutus jarak yang hanya sejengkal di antara mereka. Di saat itu juga, Satria tersenyum sembari menepis lembut air mata yang membasahi wajah kekasihnya.
"Maaf." Ucap Amira tertunduk dengan segudang rasa penyesalannya. "Seharusnya aku tahu ini sejak awal, Mas."
Satria tersenyum bijak, sorot matanya teduh. Perlahan, ia mengangkat tangan dan menangkap pipi Amira, mengusapnya dengan lembut seolah ingin menenangkan air mata yang masih tersisa di sana. "Tetaplah bersamaku, Amira. Apapun yang terjadi."
Hening sesaat.
Detik berikutnya, Amira merengkuh ruas-ruas jemari kokoh itu lalu mengangguk yakin, meski tanpa suara.
****