PERNIKAHAN AMIRA

PERNIKAHAN AMIRA

PROLOG

Hujan mengguyur permukaan sore hari. Tak ada mendung, tak ada badai. Semua jatuh membawa bulir yang tak diharapkan sebelum-sebelumnya. Memang, awal Juni ini selalu menghadirkan hujan tanpa permisi. Pria berusia dua puluh enam tahun itu segera menepikan motornya di depan sebuah ruko yang sebagian sudah tutup. Sementara, dirinya, Satria, berteduh di bawah sebuah kanopi kayu.

Sorot matanya menatap jalanan yang lenggang oleh kendaraan. Hujan turun deras, membuat aspal berkilau seperti cermin pecah yang memantulkan cahaya lampu jalan. Kendaraan sesekali melintas, berseliweran menentang derasnya air yang mengguyur, meninggalkan cipratan yang liar dan dingin. Beberapa tetes air yang terlempar dari roda mobil mengenai celana panjangnya, menimbulkan bercak-bercak basah yang menjalar perlahan.

Sambil berdiri, tiba-tiba aroma kopi menyeruak dari balik pintu kafe di belakangnya. Harumnya menusuk indra penciuman, hangat dan pekat, kontras dengan hawa dingin hujan yang menempel di tubuh. Aroma itu seolah memanggil. Satria menoleh ke belakang. Tersadar, bahwa ia tengah berdiri di depan sebuah kafe yang mengajaknya bukan hanya sekedar singgah, tapi untuk mampir ke dalamnya.

Ia kemudian mulai masuk. Disambut dengan suara denting bel yang khas di pintu masuk, menggema lembut di antara riuh rendah percakapan pelanggan. Hangatnya udara kafe segera memeluk tubuhnya yang lembap oleh hujan, bercampur dengan aroma kopi baru diseduh dan samar-samar alkohol dari rak kaca di belakang bar.

"Selamat sore. Sudah reservasi meja?" Sapa seorang Pelayan restoran berapron hitam datang mendekatinya.

Satria menggeleng, belum. Ia baru menapaki jalan sekitar sini. Dan, ini adalah kali pertama ia singgah di sebuah kafe yang tempatnya cukup nyaman juga.

“Bagaimana kalau di meja sana?” Ucap pria itu sambil menunjuk ke sudut ruangan, tempat sebuah meja kayu kosong berdiri tenang di dekat jendela yang berkabut oleh hujan. Suaranya terdengar sopan, namun tegas, khas seorang pramusaji yang sudah terbiasa menghadapi berbagai macam tamu dengan beragam karakter.

"Satu cangkir espresso satu." Angguk Satria lalu melangkah menuju meja yang dimaksud pria itu.

Sekilas, pandangannya menatap jajaran barista yang begitu lihai meracik kopi. Tangan-tangan mereka begitu cekatan dan terampil, menakar bubuk kopi dengan presisi, menekan tuas mesin espresso yang mendesah lembut, hingga menuangkan susu hangat ke dalam cangkir dengan gerakan yang nyaris seperti tarian. Uap panas mengepul, melayang perlahan di udara, bercampur dengan aroma kopi yang begitu pekat.

Di sisi lain, di antara jajaran barista yang tengah sibuk itu. Ada seorang wanita yang usianya mungkin tak jauh darinya. Wajahnya teduh dengan sorot mata yang tenang. Namun, seakan menyimpan cukup banyak ketakutan didalamnya.

Satria kemudian melepas tatapan itu lalu duduk di mejanya. Di momen itulah, ia segera mengeluarkan kamera dari bagpack-nya, lalu mulai menangkap gambar dari setiap gerakan wanita berambut cepol dengan tubuh tinggi semampai itu ketika meracik kopi. Bunyi klik kamera terdengar pelan, tenggelam dalam riuh rendah kafe, namun bagi Satria, setiap jepretan terasa seperti menorehkan kisah baru yang tak bisa ia ungkap dengan kata-kata.

Amira. Ia tak sadar bahwa fokus lensa itu mengarah padanya. Lengannya terus sibuk menata nampan, sementara matanya sesekali melirik pesanan yang menumpuk. Ada ritme tenang dalam tiap gerakan, yang tanpa sengaja justru tampak begitu memesona.

"Ra!" Seorang teman kerja di sampingnya tiba-tiba menyenggol lengannya pelan. "Nih, anterin minuman ini ke meja sana!" Katanya sambil memberikan nampan berisi secangkir espresso hangat, sementara matanya tertuju pada meja yang di duduki Satria. "Kamu itu baru kerja dua minggu disini, kamu tahu kan ... konsekuensi karyawan yang gak fokus saat bekerja?!"

"Ga-Gak fokus gimana ya, maksudnya?" Kata Amira.

Wanita itu mendesis sambil melipatkan kedua lengan di bawah dada. "Kamu sadar gak, si?!Tangan kamu emang gerak, tapi mata kamu tuh kosong! Gimana kalau salah pesanan?!"

Satria yang mendengar ucapan itu refleks meletakkan kamera di atas meja lalu mengepalkan jemarinya. Ia mendesah pelan, sementara tatapannya mulai berpusat pada Amira sepenuhnya. Ia tak suka nada meremehkan itu, apalagi diarahkan pada seorang wanita yang nampak begitu lembut. Ada kilatan iba di mata Satria, meski bibirnya tetap terkatup rapat.

"Tunggu apalagi, cepet anterin sana! Kalau aku gak di suruh Pak Romi buat ngarahin bimbing kamu kerja, aku sudah malas berurusan denganmu!" Lanjut wanita itu. Namanya Elen. Meski usianya lebih muda dari Amira, pengalamannya jauh lebih banyak dan membuatnya merasa lebih unggul.

Amira tertegun sejenak. Ujung jemarinya yang menggenggam nampan bergetar, hampir saja membuat cangkir di atasnya tumpah. Dadanya terasa sesak, seperti ditikam kata-kata yang tanpa ampun. Bibirnya terbuka ingin membalas, namun tak ada suara yang keluar. Ia hanya menunduk, menelan ludah yang terasa pahit, lalu melangkah pelan dengan perasaan terinjak.

Langkahnya menuju meja nomor tujuh. Meja Satria. Degup jantungnya pelan beriringan dengan derap kakinya, seolah sadar bahwa tatapan lelaki itu sudah lebih dulu menunggunya.

Amira hanya tersenyum ketika secangkir espresso itu berhasil mendarat di meja Satria. Senyum pelayan—senyum yang dipaksakan untuk semua pelanggan, meski di baliknya tersimpan rasa lelah dan getir yang tak pernah benar-benar hilang. Kemudian, ia berbalik dan melangkah pergi. Sementara, Satria menatap punggungnya dalam diam, seolah enggan melewatkan setiap langkah yang menjauh.

****

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!