Seharusnya hari itu jadi momen terindah bagi Tiny—gaun putih sudah terpakai, tamu sudah hadir, dan akad tinggal menunggu hitungan menit.
Tapi calon pengantin pria... justru menghilang tanpa kabar.
Di tengah keheningan yang mencekam, sang ayah mengusulkan sesuatu yang tak masuk akal: Xion—seseorang yang tak pernah Tiny bayangkan—diminta menggantikan posisi di pelaminan.
Akankah pernikahan darurat ini membawa luka yang lebih dalam, atau justru jalan takdir yang diam-diam mengisi hatinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vanesa Fidelika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6: Sepuluh Menit Terakhir
“Gimana kalau... Xion yang menggantikan Andika?”
Waktu seperti berhenti.
Xion—yang berdiri tegak di samping Rion—langsung memalingkan wajahnya, kaget bukan main. “Hah?” Suaranya nyaris tercekat.
Tiny juga langsung menoleh. Matanya membelalak. “Apa, Pa?”
Papa Rudy tetap tenang, meski sorot matanya tak bisa menyembunyikan konflik batin.
“Papa tahu ini terdengar mendadak dan gila... tapi kita nggak bisa menunggu lebih lama. Keluarga besar udah datang. Kursi udah penuh. Akad tinggal beberapa menit lagi. Kalau Andika... kalau dia memang nggak datang—kita harus ambil keputusan.”
Diva langsung berdiri, nyaris tak percaya dengan arah pembicaraan. “Om... yang bener aja?"
“Om tahu ini berat. Tapi Xion itu... anak baik. Dia udah lama dekat sama keluarga kita. Dia juga bukan kakak kandung Tiny. Bukan sedarah,” jawab Papa Rudy tegas.
Layla menatap suaminya. Rez tampak tercengang dengan apa yang baru dikatakan ayahnya, tapi belum berkata apa-apa.
Alicia refleks meraih tangan Tiny, yang kini mulai gemetar. Gadis itu memandang sekeliling, seakan dunia mendadak kabur dari fokus.
Xion sendiri terdiam. Nafasnya tampak tidak beraturan. Ia menatap ke arah Tiny sebentar, lalu langsung menghindari pandangan itu.
“Om...” ucap Xion pelan. “Xion... bukan nggak menghormati Om. Tapi ini terlalu mendadak.”
Mama Ina ikut menimpali, suaranya bergetar. “Pa, ini anak kita, Pa. Kita nggak bisa ambil keputusan sepenting itu dalam lima menit...”
Papa Rudy menunduk. “Tapi kita juga nggak bisa diam aja, Na. Kita harus punya rencana. Kalau sampai jam sembilan Andika nggak muncul... semua ini bakal jadi aib keluarga. Tiny bisa—”
“Papa!” potong Tiny akhirnya, suaranya lantang tapi pecah. “Jangan ngomong gitu...”
Semua langsung menoleh padanya.
Tiny berdiri perlahan dari kursinya. Gaun putihnya ikut bergoyang lembut. Ia menatap langsung ke arah Papa Rudy.
“Ini bukan Cuma soal akad yang gagal atau aib keluarga... Ini hidup aku, Pa... Ini pernikahan aku. Bukan keputusan darurat.”
Suara Tiny pecah di ujung kalimat. Tapi wajahnya tetap tegak. Matanya berkaca-kaca, tapi sorotnya penuh keyakinan.
“Kalaupun Andika nggak datang...” Tiny menghela napas dalam, “...aku nggak mau siapa pun gantiin dia. Apalagi... dia.”
Xion menunduk dalam. Ia tak tersinggung. Justru ia seperti ikut menahan beban yang sama beratnya.
Tak ada yang berani menyahut.
Ruangan itu kembali hening. Hanya suara detik jam dinding yang kini terasa berdentam di telinga semua orang.
Papa Rudy terdiam sejenak. Lalu ia melangkah pelan ke arah Tiny, berdiri tepat di hadapan putri bungsunya itu.
Tatapannya tajam, tapi bukan karena marah—melainkan karena ia sedang menata kata-kata agar tak menyakiti, namun tetap jelas dan tak terbantahkan.
“Tiny,” ucapnya pelan namun mantap.
Tiny menunduk, tapi tidak bergerak.
Papa Rudy menarik napas panjang, lalu melanjutkan. “Papa bukan nggak ngerti perasaan kamu. Papa tahu ini berat... dan nggak ada satu orang pun di sini yang berharap kejadian kayak gini muncul di hari penting kamu.”
Ia berlutut perlahan, agar sejajar dengan tinggi Tiny yang sedang duduk.
“Tapi kamu juga tahu, ini bukan Cuma soal cinta. Ini soal tanggung jawab. Harga diri keluarga. Kita bukan bicara soal malu atau nggak... tapi tentang bagaimana kita menghadapi hal yang tidak kita rencanakan.”
Tiny perlahan mengangkat wajahnya. Matanya merah, tapi mendengarkan.
“Papa nggak mau kamu menikah dalam paksaan, tidak akan pernah. Tapi Papa juga nggak bisa biarkan kamu ditinggal berdiri sendiri tanpa kepastian, di depan semua orang yang udah datang niat baik.”
“Banyak tamu datang dari jauh. Keluarga besar kumpul. Penghulu pun udah datang dan bersiap. Kamu sendiri tahu, ini bukan sekadar janji dua orang, tapi hajatan besar yang menyangkut banyak orang.”
Tiny mulai menggigit bibir bawahnya. Ia tahu, semua yang dikatakan ayahnya benar.
“Makanya Papa ajukan Xion. Bukan karena Papa asal tunjuk. Tapi karena dia orang yang Papa percaya. Bukan darah kita, tapi udah kita anggap bagian dari keluarga. Dan kamu sendiri tahu, Xion bukan orang asing.”
Papa Rudy menatap putrinya dalam-dalam, lalu mengendurkan nada suaranya.
“Tapi keputusan terakhir, tetap di kamu, Tiny... Bukan Papa, bukan Mama, bukan siapa-siapa. Papa Cuma ingin kamu tahu—kadang hidup nggak selalu sesuai rencana. Tapi kita tetap harus berani ngambil sikap... bahkan saat hati kita hancur.”
Tiny tak mampu berkata apa-apa. Ia hanya menatap wajah ayahnya yang penuh ketegasan sekaligus kasih. Lalu ia menunduk, menutup wajahnya dengan tangan.
Air mata mulai menetes lagi, diam-diam.
Mama Ina berdiri di belakang mereka, ikut memeluk bahu Tiny. Diva duduk di sisi, memegang tangannya. Rez memejamkan mata, menahan kesal karena tak bisa berbuat lebih.
Sementara itu, Xion masih berdiri di dekat pintu. Tak bersuara. Tapi hatinya ikut menanggung beban yang mendadak menimpa seluruh ruangan.
Pukul 08.50.
Sepuluh menit sebelum waktu akad.
Dan tak satu pun kabar dari Andika.
Pukul 08.57.
Tiga menit menuju waktu yang seharusnya menjadi momen bahagia dalam hidup Tiny.
Namun gaun putihnya terasa berat. Ruangan yang tadinya hangat kini seperti menelannya perlahan. Nafasnya tidak tersendat, tapi terasa tak utuh.
Semua masih menanti.
Papa Rudy berdiri dan memberi isyarat kepada semua yang hadir. Lalu ia menoleh ke arah Xion yang sejak tadi berdiri di samping Rion.
“Xion.”
Cukup satu kata. Tapi maknanya berat.
Xion mengangguk pelan. Langkahnya ringan, namun sikapnya tetap tenang. Ia menghampiri Tiny, lalu membungkuk sedikit, dan—entah karena reflek atau tulus—berlutut sejajar dengannya.
Ia tidak berkata panjang.
Hanya satu kalimat, pelan... seperti angin yang lewat di sela dedaunan gugur.
“Kalau kamu nggak mau, aku mundur sekarang juga.”
Tiny mendongak.
Untuk pertama kalinya pagi itu, ia menatap wajah Xion secara langsung. Ada keraguan di matanya. Tapi juga ada rasa... lega. Bahwa Xion memberinya ruang untuk memilih.
Dan di antara semua tekanan, satu hal yang tak pernah ia rasakan hari ini adalah: diberi pilihan.
Tiny mengangguk pelan. Bibirnya gemetar, tapi ia mengucapkan, “Ayo.”
Xion membalas dengan anggukan ringan.
°°°°
Pukul 09.15.
Langkah demi langkah mengantar Tiny keluar dari kamar.
Langit cerah. Tapi hati semua orang tahu, ini bukan sekadar pagi biasa.
Di halaman depan rumah—yang telah didekor penuh bunga putih dan hijau lembut—semua tamu berdiri. Ada yang berbisik. Ada yang hanya diam menatap.
Namun tidak satu pun yang bertanya.
Meja akad telah siap di bawah naungan pohon besar yang sejak semalam dipasangi lampu gantung kecil-kecil. Kursi mempelai pria kosong—dan kini, Xion mengisinya.
Ia duduk dengan tenang. Tangan di atas pangkuan. Matanya menunduk.
Tiny muncul diiringi Mama Ina dan Alicia. Gaunnya jatuh indah, walau langkahnya sedikit pelan. Tatapan semua orang padanya seperti gelombang tak terlihat—menghormati, memahami.
Papa Rudy sendiri yang duduk di depan penghulu, sebagai wali.
Sang penghulu membuka acara dengan suara lembut dan penuh wibawa. Bacaan basmalah mengalun, lalu beberapa nasihat singkat tentang makna pernikahan.
Lalu—momen itu pun tiba.
Semua diam.
Sang penghulu menoleh ke Papa Rudy, menanyakan kesediaan sebagai wali.
Papa Rudy mengangguk, lalu menoleh pada Xion yang duduk di hadapannya.
“Saya nikahkan dan saya kawinkan anak kandung saya, Eltiny Kaenara, kepada ananda Xion Ardinata, dengan mas kawin, dibayar tunai.”
Semua diam. Waktu seakan berhenti.
Xion menarik napas. Lalu menjawab dengan lantang dan tenang.
“Saya terima nikahnya dan kawinnya Eltiny Kaenara dengan mas kawin tersebut, dibayar tunai.”
Seketika...