Maya, anak sulung yang doyan dugem, nongkrong, dan bikin drama, nggak pernah nyangka hidupnya bakal “dipaksa” masuk dunia yang lebih tertib—katanya sih biar lebih bermanfaat.
Di tengah semua aturan baru dan rutinitas yang bikin pusing, Maya ketemu Azzam. Kalem, dan selalu bikin Maya kesal… tapi entah kenapa juga bikin penasaran.
Satu anak pembangkang, satu calon ustadz muda. Awalnya kayak clash TikTok hits vs playlist tilawah, tapi justru momen receh dan salah paham kocak bikin hari-hari Maya nggak pernah boring.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayusekarrahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 6 Maya si Santri Teladan
Maya masuk kedalam asrama dengan kaki dihentakkan. Kopernya dilempar begitu saja, membuat teman-teman satu kamarnya terbangun. Mereka kebingungan melihat teman barunya itu terlihat begitu kesal. Wajahnya ditekuk, hidungnya kembang kempis. Bak seekor banteng yang siap menyerang lawannya.
Ia langsung menghempaskan tubuhnya ke kasur triplek kesayangannya-eh maksudnya, kasur penderitaannya. Ia menarik selimut lusuh itu sampai menutupi kepalanya.
“Udah cukup penderitaan gue hari ini. Besok pagi gue mau minta dipulangin, titik,” gumamnya, pura-pura keras supaya sekamar dengarnya.
Sinta dan yang lain cuma saling pandang, bingung harus tertawa atau kasihan. Tapi mereka memilih diam, karena jelas Maya lagi di mode “awas kalo ada yang nyolek.”
Baru saja Maya memejamkan mata, suara ketukan keras terdengar di pintu asrama.
Tok… tok… tok…
“Maya, keluar sebentar,” suara berat Azzam terdengar.
Selimut Maya langsung tersingkap. “Ya ampun, dosa apa sih gue hari ini…” keluhnya setengah mati.
Dewi berbisik sambil ngakak pelan, “Cepet keluar, May, nanti makin parah.”
Dengan malas, Maya menyeret langkahnya keluar. Begitu pintu dibuka, ia melihat Azzam berdiri tegap, wajahnya serius, sementara di belakangnya Farhan bersandar di tiang dengan ekspresi penuh hiburan.
Azzam menatap Maya tajam. “Kamu baru satu malam di sini, tapi sudah coba kabur. Kamu pikir pesantren ini apa, hotel bintang lima yang bisa keluar masuk sesuka hati?”
Maya mendengus, menyilangkan tangan di dada. “Ya abis kasurnya aja udah bikin punggung gue trauma. Makanannya entah apa, terus… kecoa! Helloo, masa gue harus bersahabat sama kecoa buat survive?”
Farhan nyaris batuk menahan tawa, sampai terpaksa menunduk.
Azzam menarik napas panjang, tetap berusaha tenang. “Maya, kamu ke sini bukan buat dimanja. Kamu di sini belajar, dibentuk. Kalau kamu nggak tahan, itu berarti kamu belum siap keluar dari zona nyaman.”
Maya langsung mendongak, matanya melotot. “Zona nyaman? heh, kalau nyaman nya aja nggak ada, apa yang mau gue keluarin? Gue ini manusia, bukan robot!”
Farhan kali ini benar-benar ngakak, sampai tepuk-tepuk paha. “Ampun, May, cara ngomong kamu mirip kayak lagi debat politik ya.”
Azzam melirik tajam ke arah Farhan. “Han, jangan ketawa. Ini serius.”
Tapi Farhan masih geleng-geleng sambil cengengesan.
Maya menatap Azzam dengan wajah menantang. “Pokoknya gue nggak terima diperlakuin kayak tahanan. Gue punya hak buat milih hidup gue sendiri.”
Azzam menahan emosi, lalu bicara pelan tapi tegas. “Kalau kamu merasa di sini penjara, maka belajarlah jadi tahanan yang baik. Supaya nanti, ketika waktunya tiba, kamu bisa keluar sebagai orang yang lebih kuat. Kalau kamu cuma lari, kamu cuma buktiin kalau kamu lemah.”
Kata-kata itu sempat membuat Maya terdiam beberapa detik. Tapi egonya menolak kalah.
“Lemah? Heh, jangan salah. Gue kuat banget, asal lo tau ya. Kalau nggak kuat, dari tadi gue udah nangis meraung-raung. Liat nih, gue masih bisa ketawa… hahaha!” Ia ketawa sendiri, tapi jelas getir.
Farhan semakin tertawa keras, sementara Azzam hanya memijit pelipis, frustasi menghadapi murid barunya ini.
“Sudah. Besok pagi kita lanjut bicara lagi. Sekarang masuk, dan coba pikirin kata-kata saya,” ujar Azzam akhirnya.
Maya manyun, lalu membalikkan badan dengan hentakan kaki. “Iya, iya. Besok gue bales argumen lo, tunggu aja.”
Farhan masih tertawa saat Maya menutup pintu asrama dengan brak! keras.
“zam, jujur, aku nggak sabar ngeliat gimana drama dia besok,” ucap Farhan masih sambil ngakak.
Azzam hanya menghela napas panjang. “hah..aku juga, Han. aku juga…”
......................
Keesokan harinya langit masih begitu gelap, hanya terdengar suara jangkrik dan hewan malam yang memecah kesunyian. Ditengah gelap itu beberapa pemuda terlihat berjalan dengan pakaian kokonya.
Azzam dan beberapa santri laki-laki terlihat berjalan beriringan menuju masjid. Sebentar lagi waktu subuh datang, mereka membagi tugas membangunkan seluruh penghuni pesantren.
Kentongan dipukul keras, hingga menimbulkan suara yang nyaring. Lampu-lampu asrama terlihat menyala,beberapa santri terlihat banyak yang sudah terbangun.
Ada yang masih setengah sadar, ada juga yang langsung sigap melompat dari kasur.
Tapi Maya?
Ia masih bergelung di bawah selimut, mendengkur pelan. Sesekali tangannya mengibaskan udara seakan mengusir nyamuk, padahal yang dia usir sebenarnya suara teriakan mbak-mbak senior yang mondar-mandir.
“Bangun! Cepet wudhu, jangan lelet!” teriak seorang kakak kelas dengan suara cempreng tapi galak.
Maya meringis di balik selimut. Ya Tuhan, kayak alarm manusia. Bisa nggak sih sekali aja gue diperlakukan kayak putri raja? pikirnya.
Tiba-tiba selimutnya ditarik dengan kasar.
“HEY! Baru sehari aja di sini, kamu udah molor kayak gini?!” suara senior perempuan meledak di telinganya. Dia Putri, santriwati senior yang terkenal karena galaknya.
Maya terkejut setengah mati, ia langsung duduk sambil merapihkan rambutnya yang awut-awutan. “Astaga, mbak Senior, jangan kagetin orang dong. gue jantungan tahu!”
Teman-temannya yang lain terlihat menahan tawa. Tapi senior itu malah semakin jutek. “Cepet bangun! Kalau nggak, siap-siap dihukum sama Ustadz Azzam!”
Nama Azzam disebut, Maya langsung mencebik tak suka. Yaelah, dia lagi dia lagi. Kayak hantu gentayangan aja.
Dengan langkah gontai, Maya menuju kamar mandi.Mengambil wudhu dengan malas,tak lama kemudian Maya keluar dari kamar mandi dengan wajah setengah basah—karena wudhunya itu hanya seperti cuci muka biasa. Rambutnya belepotan, bajunya masih kusut. Sinta tampak berbisiik-bisik pada Dewi.
“Eh, itu sih namanya wudhu express.”
Dewi nyengir, “Wudhu kilat, tiga detik langsung suci.”
Maya mendelik ke arah mereka. “Apa lo liatin gue, hah?!”
Dewi dan Sinta langsung pura-pura sibuk dengan mukena masing-masing.
Begitu barisan santriwati mulai berjalan ke masjid, Maya ikut dengan langkah malas. Ia berada dibarisan paling belakang, jalannya sempoyongan mirip zombie .
Sampai di masjid, semua santri sudah duduk rapi. Shaf santri dan Santriwati dipisahkan dengan kain pembatas. Suasana tenang, hanya terdengar lantunan doa dari salah satu ustadz. Maya? Ia malah sibuk memerhatikan kipas angin tua yang berdecit.
“Tuh kan, kipas aja protes hidup di sini…” gumamnya sambil mendesah panjang.
Farhan yang duduk di shaf laki-laki, kebetulan menghadap ke arah santriwati dari balik celah kain yang sedikit terbuka. Begitu melihat Maya melamun sambil mengucek kedua matanya, ia langsung tersenyum tipis.
Shalat Subuh berjamaah dimulai. Semua berdiri khusyuk, tapi Maya—baru saja takbir—langsung keseleo otot punggung gara-gara posisi kasurnya semalam.
“Aduh, ya ampuuun! Punggung gue, sakitnya!” bisiknya sambil meringis.
Sinta yang di berada di sebelahnya nyaris tertawa, namun buru-buru menutup mulutnya menggunakan mukena.
Selesai salat dilanjutkan dengan doa, Azzam langsung memberi kultum singkat. Suaranya tenang tapi tegas.
“Santri yang baik itu bangun sebelum subuh, bukan setelah diseret-seret. Ingat, kita di sini belajar disiplin, bukan cari kenyamanan duniawi.”
Maya mendengus pelan. “Kode keras nih…”
Sayangnya, suara dengusannya agak keras, sampai beberapa santri depan nengok.
Farhan, dari jauh, sudah tidak tahan lagi. Dia menyender ke tiang masjid sembari menutup wajahnya, tertawa tanpa suara.
Setelah pengajian selesai, para santri bubar. Maya buru-buru kabur, tapi langkahnya terhenti saat suara berat Azzam memanggil.
“Maya.”
Langkahnya langsung beku. Dalam hati ia mengutuk, duh, kenapa sih nama gue kayaknya punya magnet di mulut dia.
Azzam menatapnya tajam. “Setelah sarapan, temui saya di ruang guru. Kita harus bicara lagi.”
Maya menghela napas panjang, lalu berbisik ke Sinta. “Gawat, kayaknya sidang skripsi gue dimajukan.”
Sinta hanya tertawa pelan sembari menggelengkan kepalanya.