Series #2
Keputusan Rayden dan Maula untuk kawin lari tidak semulus yang mereka bayangkan. Rayden justru semakin jauh dengan istrinya karena Leo, selaku ayah Maula tidak merestui hal tersebut. Leo bahkan memilih untuk pindah ke Madrid hingga anaknya itu lulus kuliah. Dengan kehadiran Leo di sana, semakin membuat Rayden kesulitan untuk sekedar menemui sang istri.
Bahkan Maula semakin berubah dan mulai menjauh, Rayden merasa kehilangan sosok Maula yang dulu.
Akankah Rayden menyerah atau tetap mempertahankan rumah tangganya? Bisakah Rayden meluluhkan hati sang ayah mertua untuk merestui hubungan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6 : Bayangan Yang Tak Pernah Pergi
...•••Selamat Membaca•••...
Hujan baru saja reda di kota Madrid. Udara masih membawa aroma aspal basah dan dedaunan yang dipukul derasnya hujan musim semi.
Di kejauhan, matahari sore mencoba menembus awan yang mulai menipis, menyisakan langit kelabu dengan semburat jingga. Rumah Sakit Universitario tampak tenang dari luar, namun di balik dinding kacanya, kehidupan terus berdetak dengan denyut yang tak pernah tidur.
Rayden berdiri di seberang jalan, tepat di bawah naungan pohon palem yang basah oleh embun. Hoodie hitamnya menutupi sebagian wajah, menyatu dengan bayangan yang ia ciptakan sendiri. Dia telah berada di sana selama tiga jam.
Diam dan menanti Maula, matanya tak pernah lepas dari pintu kaca otomatis yang menjadi jalur keluar masuk para dokter, mahasiswa koas, dan pasien.
Tak lama istri yang dia nanti muncul dengan rambutnya yang diikat sederhana, jas putih tersampir di lengan, dan senyum itu—senyum yang pernah membuat dunia Rayden terasa mungkin kembali normal tapi kali ini, senyuman Maula muncul dengan cahaya yang tidak adil. Ia tertawa dengan seseorang.
Laki-laki tinggi dengan rahang tegas, rambut kecoklatan yang berantakan seperti baru keluar dari ruang operasi. Dokter muda yang entah sejak kapan mulai masuk dalam orbit kehidupan Maula.
Mereka tidak bersentuhan dan tidak ada gestur mesra yang mencolok. Tapi ada kehangatan yang tak bisa disangkal. Cara Maula menatap Lucan ketika mereka bicara. Cara ia memukul lengan Lucan pelan karena gurauannya. Cara ia menoleh beberapa kali meskipun mereka sudah berjalan menjauh, seolah tak ingin percakapan mereka selesai.
“Gunakan waktumu untuk istirahat yang cukup, jadwal mulai padat dan jangan biarkan kondisi fisikmu terganggu,” pesan Lucan pada Maula.
“Siap Dokter.” Mereka kembali tertawa sebelum benar-benar berpisah.
Rayden tak bergerak. Matanya merah bukan karena lelah, tapi karena terbakar. Cemburu bukan kata yang tepat. Apa yang ia rasakan lebih seperti kehilangan yang tak pernah diberikan kesempatan untuk menjadi miliknya sejak awal.
“Pantas kau sangat mudah melupakan aku, ternyata pria itu yang sudah menggantikan posisiku ya.” Rayden mengepalkan tangannya dengan kuat lalu kembali mengikuti Maula tanpa disadari oleh siapa pun.
Ia pernah bersumpah akan melindungi Maula. Namun perlahan, sumpah itu berubah menjadi obsesi yang menggerogoti pikirannya.
“Aku tidak akan pernah melepaskan apa yang telah menjadi milikku,” geramnya sambil terus menatap ke arah Maula yang kini tengah bicara dengan teman-temannya termasuk Sofia.
Rayden merasa dunia telah mencuri Maula dari pelukannya. Ia tak bisa menerima bahwa orang lain bisa membuat Maula tertawa seperti itu, sementara ia yang pernah membunuh demi melindungi Maula, bahkan tak bisa mendekat tanpa membuat gadis itu menegang dalam ketakutan.
Baru saja emosinya sedikit reda, Rayden kembali melihat Lucan mengajak Maula satu mobil, sontak hal itu membuatnya tak nyaman. Maula memberikan kunci mobil pada Sofia yang menandakan bahwa nanti Sofia yang akan membawa mobilnya pulang.
Mobil Maula dan Lucan menjauh, mengarah ke kafetaria terbuka yang tak jauh dari rumah sakit, tepat di bawah cahaya jingga lampu taman. Burung camar melintas di langit yang memudar membuat dunia terasa tenang dan kali ini terlalu tenang.
Rayden mengikuti mereka dan menunduk menahan sakit. Ia ingin pergi tapi kakinya membeku.
Ia bisa melihat bahkan saat Lucan menarik kursi untuk Maula dan Maula tersenyum dengan tulus, senyum yang Rayden tahu pernah ia lihat di masa lalu. Senyum yang sekarang bukan lagi miliknya. Senorita yang telah hilang dalam dirinya.
“Ini tidak bisa dibiarkan, aku tidak ingin Maula dimiliki siapa pun selain aku.”
Di kafe, Lucan tampak bercerita panjang lebar tapi Rayden tidak bisa mendengarnya. Ingin dia ke sana tapi beberapa anak buah Leo terus awas ke arah Maula.
“Jadi kapan kau akan melamar dia? Hm pantas saja Papa sering menitipkan aku padamu ya, ternyata kau ini tunangannya Lily. Aku tidak sabar dengan pernikahan kalian.” Maula tampak begitu bahagia.
“Tahun depan, aku dan dia sudah sepakat, bahwa pernikahan kami akan jadi sesuatu yang sangat istimewa.” Maula tersenyum.
“Beruntung ya Uncle Axelo, punya menantu dokter seperti kamu. Hm... kira-kira si Lily mimpi apa ya dapatnya kamu?” Tawa Lucan pecah dengan ekspresi Maula itu.
“Mungkin mimpi dipatuk ular.” Mereka berdua kembali tertawa riang.
Bayangan panjang Rayden menyatu dengan malam yang turun perlahan. Hatinya tidak pecah, ia hanya retak diam-diam yang sangat dalam tanpa suara. Seperti bayangan yang selalu menempel pada cahaya, Rayden tetap di sana.
Ia masih mengawasi istrinya itu.
Meski Maula tertawa dengan orang lain, di dalam pikirannya dan jauh di lubuk hatinya, nama itu masih terukir dalam luka. Rayden.
...***...
Hari sudah malam ketika Maula keluar dari kafetaria rumah sakit. Langit memucat perlahan, menyisakan semburat biru kehitaman yang pekat.
Lucan baru saja pamit, ia dipanggil kembali ke ruang IGD. Mereka mengobrol selama hampir satu jam, membicarakan hal-hal ringan seperti kasus pasien, makanan Spanyol yang terlalu asin, dan masa kecil Lucan. Maula tertawa cukup banyak hari ini. Mungkin terlalu banyak.
“Aku pesan taksi online untukmu ya,” ujar Lucan yang tidak enak karena dia harus kembali ke rumah sakit.
“Tidak usah, santai saja. Aku bisa minta Marlo untuk jemput.”
“Tunggu saja di sini, jangan jalan sendirian.”
“Iya.”
Maula menghubungi adiknya, dan meminta Marlo datang.
“Aku tunggu di parkiran belakang rumah sakit ya.”
Ketika Maula berjalan sendiri menuju tempat parkir belakang rumah sakit, perasaan itu datang. Perasaan yang tak bisa dijelaskan dan langkahnya melambat.
Angin menyapu rambutnya pelan, namun ada sesuatu dalam udara malam itu yang berbeda. Bukan dinginnya.
Tapi… sesuatu yang menempel di kulit, seperti tatapan tajam dari balik bayangan.
Maula menoleh cepat ke belakang dan kosong.
Hanya suara samar mesin ambulans di kejauhan. Lampu taman berkedip satu kali, lalu mati. Ia menghela napas, menyadari jantungnya berdetak terlalu cepat barusan. Tangan kirinya menggenggam ponsel erat-erat, seolah benda kecil itu mampu mengusir ketakutan.
Dia melanjutkan langkah dan mencoba mengabaikan kecemasan yang merayap di tengkuknya, namun suara langkah itu kembali.
Bukan langkahnya. Tapi... yang lain.
Tap. Tap. Tap.
Seirama. Diam. Lalu muncul kembali.
Maula berhenti lagi dan menoleh. Tak ada siapa-siapa. Terlebih area yang dia lalui kali ini cukup sepi dan cahaya yang begitu remang.
Tapi dia tahu. Dia merasakan. Ada seseorang yang melihatnya. Bukan sekadar melihat tetapi juga mengawasi.
Menghafal setiap detail dari dirinya seperti seorang kolektor mengamati artefak langka yang tak ingin disentuh, hanya dimiliki dalam diam.
...•••Bersambung•••...