Kenyataan menghempaskan Dion ke jurang kekecewaan terdalam. Baru saja memutuskan untuk merangkak dan bertahan pada harapan hampa, ia justru dihadapkan pada kehadiran sosok wanita misterius yang tiba-tiba menjadi bagian dari hidupnya; mimpi dan realitas.
Akankah ia tetap berpegang pada pengharapan? Apakah kekecewaan akan mengubah persepsi dan membuatnya berlutut pada keangkuhan dunia? Seberapa jauh kenyataan akan mentransformasi Dion? Apakah cintanya yang agung akhirnya akan ternoda?
Apapun pilihannya, hidup pasti terus berjalan. Mengantarkan Dion pada kenyataan baru yang terselubung ketidakniscayaan; tentang dirinya dan keluarga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon K. Hariara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Antara Mimpi dan Realitas
Dion yang mulanya bingung dan takut akan kehadiran Melati di tiap mimpinya, mulai terbiasa. Apalagi wanita itu senang ngobrol dan memberinya nasihat positif. Tapi ia kaget setengah mati karena suatu waktu mengalami kejadian yang begitu nyata, hingga Dion tak bisa membedakan apakah itu mimpi atau kenyataan.
Dion terbangun dari tidurnya karena isak tangis seorang wanita. Ketika membuka mata, ia mendapati Melati telah ada di dalam kamar. Ia duduk dengan wajah bertumpu pada lutut sambil terisak.
“Kak, kenapa ada di kamarku?” seru Dion kaget setengah mati.
Dengan terburu-buru Dion mengambil selimut yang terlipat di samping bantal untuk menutupi bagian bawah tubuh yang hanya mengenakan boxer.
Dion bangkit duduk tak percaya dengan matanya sendiri sebab ia tak merasa membukakan pintu untuk seseorang malam itu. Lagipula, ia selalu mengunci kamar setiap akan tidur karena terbiasa tidur hanya mengenakan celana dalam.
Pertanyaan Dion tidak mendapat sahutan dari Melati. Wanita itu terus saja menangis sambil meletakkan wajah diatas kedua tangan yang ditumpukan pada lutut.
“Kak, kenapa menangis?” Dion mencoba lebih lembut, rasa iba mulai mengalahkan keterkejutannya.
“Aku tak tahu jalan pulang,” sahutnya lirih sambil sesaat menatap pada Dion yang bertelanjang dada di depannya. Dion lalu mengambil t-shirt dan kain sarung dari lemari dan mengenakannya kemudian membuka pintu kamar.
“Kakak nggak boleh di kamar Dion. Nanti kita dituduh yang bukan-bukan.”
“Tapi aku sudah tak tahu harus pergi ke mana. Tolong aku, Dion! Biarlah aku di sini sebentar.”
“Iya, Kak. Dion akan tolong sebisanya. Tapi sebaiknya kita bicara di ruang tengah.”
Melati menggeleng membuat Dion menghembuskan napas berat. “Baiklah. Tapi kakak mau cerita apa yang terjadi?” Dion berusaha mencari tahu masalah Melati.
Melati perlahan menghapus air matanya. Napasnya masih tersendat, tapi ia mulai berbicara.
“Sudah berhari-hari aku berputar-putar di lingkungan ini. Aku masuk ke lorong-lorong, mencoba menemukan jalan keluar, tapi selalu kembali ke tempat yang sama.”
Dion mendengarkan dengan saksama.
“Aku tak ingat apa pun. Namaku, siapa diriku, semuanya kabur. Aku hanya ingat namaku secara tak sengaja ketika aku menanyakan namamu kemarin dulu itu.”
Dion mengernyit, berusaha menyerap semua keanehan itu.
“Aku mencoba berbicara dengan orang-orang, tapi mereka tidak mendengarku. Mereka bahkan tidak melihatku. Yang bisa melihatku, malah lari ketakutan.”
Dion tambah bingung dengan kisah Melati tapi rasa penasaran membuatnya duduk mendekat agar bisa mendengar jelas kata-kata wanita itu.
“Hanya kau yang bisa melihat dan mendengarku. Dan hanya kau yang tidak berlari ketakutan,” tambah Melati yang mulai berbicara normal.
“Aku sungguh tak mengerti, Kak,” Dion berusaha meminta penjelasan lebih lanjut.
“Percaya atau tidak, aku sepertinya terjebak di dunia mimpi. Entah mimpi siapa. Maksudku, apakah ini mimpiku, mimpimu, atau mungkin mimpi kita telah menyatu karena alasan yang tidak aku mengerti,” tutur Melati lirih.
Dion terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-katanya. “Aneh. Memang sejak kita bertemu malam itu, aku tak pernah bermimpi apa pun selain bertemu dan berbincang dengan Kakak.”
“Jadi, maksud Kakak, aku juga sedang bermimpi?”
Melati menatapnya dalam. “Kalau kau terbangun, kau akan sadar ini hanya mimpi. Tapi bagiku, ini nyata.”
Dion menjambak rambutnya sendiri, bahkan menepuk pipinya beberapa kali. Semua terasa normal. Terlalu nyata untuk disebut mimpi.
Lalu tiba-tiba, Melati berbisik pelan, hampir tak terdengar. “Bagaimana kalau aku sebenarnya sudah mati?”
Dion membelalakkan mata.
“Jangan bicara seperti itu, Kak! Mana ada orang mati bisa bicara dan menangis!” serunya.
Melati kembali terisak. Tangisannya yang pilu seakan mengguncang ruangan, membuat Dion tanpa sadar berkata, “Baiklah. Kakak bisa tinggal di sini.”
Melati menegakkan kepala dengan mata berbinar. “Benarkah? Terima kasih, Dion!” katanya penuh haru, sambil buru-buru menyeka air mata yang masih mengalir di pipinya.
Ketika menggunakan tangan untuk mengusap pipi yang basah, rok Melati turun sehingga paha putihnya terlihat jelas. Dion memalingkan wajah karena malu.
“Bagaimana Dion bisa membantu Kak Melati?” tanya Dion masih dengan memalingkan wajah ke arah dinding.
“Biarlah aku di sini sementara sampai ingatanku kembali.”
“Di sini? Maksud kakak di kamar ini?”
“Iya, di kamar ini. Kakiku lelah karena terus berjalan. Toh, kebanyakan orang tak bisa melihatku jadi kupikir tidak akan ada masalah.”
“Apa Dion takut seperti beberapa orang yang bisa melihatku? Kenapa memalingkan wajah begitu?” tanya Melati heran kenapa Dion memalingkan wajah.
“Aih, bukan. Tapi rok Kakak...,” jelas Dion dengan kalimat menggantung.
Melati yang memahami maksud pemuda itu buru-buru membetulkan posisi duduknya. “Sudah. Begitu saja malu. Seperti ABG saja kamu ini,” ledek Melati meskipun suaranya masih sedikit sendu.
“Memang pun baru gede, Kak.”
“Dion benar-benar tak apa-apa kalau aku tinggal di kamar ini?”
Dion menautkan alis untuk beberapa saat. “Sebenarnya, pertanyaan itu lebih cocok untuk Kakak. Apa Kakak nggak apa-apa tinggal di kamarku?”
“Tidak masalah. Ini jauh lebih baik daripada terus berjalan tanpa henti. Aku janji tidak akan mengganggumu.”
Dion masih sulit percaya pada situasi itu. “Baiklah. Tapi kalau misalnya aku ganti pakaian? Maksudku, aku ini kan laki-laki.”
“Apa Dion juga mengganti pakaian dalam mimpi?”
“Seingatku sih tidak.”
“Nah, berarti kalau Dion tidur lagi dan terbangun, aku tidak akan ada di sini. Kita hanya bertemu saat kau bermimpi. Setidaknya, begitulah yang terjadi selama beberapa kali pertemuan kita.”
Penjelasan itu membuat Dion teringat pada pertemuan pertama mereka. Ia dulu sempat bertanya, apakah itu mimpi atau nyata?
“Lalu malam itu? Saat kita bertemu pertama kalinya?”
“Aku sendiri tak tahu. Bagiku itu nyata. Tapi untukmu, aku tak yakin. Yang kutahu, malam itu Dion begitu larut dalam pikiran, sampai tidak menyadari beberapa orang sebenarnya mencoba menegur. Tapi Dion tak menyahut mereka. Malah hanya bicara denganku.”
Dion tertegun.
Sebuah ketukan pelan mengusik kesadarannya. Sejak kapan ia menjadi begitu tenggelam dalam pikirannya sendiri? Sejak kapan dunianya hanya berisi dirinya dan Melati?
Melati tampaknya menyadari kebingungan Dion. Ia mengalihkan pembicaraan. “Bagaimana dengan lari pagimu?” tanyanya ringan.
Tapi pertanyaannya tak mendapat sahutan dari Dion yang berusaha keras memahami pertemuan dengan Melati yang bermula ketika Wina memutuskan hubungan dengannya.
Melati menatapnya dengan tatapan penuh arti. “Dion belum bisa melupakan dia?”
Dion tersenyum miris. “Seandainya aku bisa. Tapi itu tak mungkin. Aku hanya ingin rasa sakit hati ini hilang.”
Melati menunduk, lalu berbisik pelan, “Kita ini aneh, ya. Aku ingin mengingat, sedangkan Dion ingin melupakan.”
Dion tersenyum getir. “Iya. Ironis.”
Mereka masih berbincang hingga suara kokok ayam terdengar samar dari luar jendela. Dion tiba-tiba merasa sangat mengantuk.
“Kak, aku mengantuk sekali. Nanti kalau Kakak mau tidur, bagaimana?” tanyanya.
“Yah, gantian. Dion tidurlah. Aku belum mengantuk. Aku akan duduk di sini saja.”
Dion membaringkan tubuhnya. Ia menatap ke arah Melati yang tersenyum padanya. Sejenak Dion teringat akan ibunya yang memiliki senyum dan tatapan menenangkan seperti senyuman Melati.
“Kanapa Dion melihatku begitu?” tanya Melati yang merasa malu ditatap oleh Dion.
“Maaf kak. Aku merasa pernah mengenal kakak entah di mana. Dan kakak membuatku teringat pada ibuku.”
Melati tampak terkejut, lalu dengan cepat memalingkan wajahnya, menyembunyikan rona malu di pipinya.
Dion tak sempat berpikir lebih jauh. Matanya semakin berat. Sesaat kemudian, ia pun terlelap.
...***...
Kali itu Dion bangun kesiangan. Ia baru tersadar ketika jarum pendek jam dinding menunjukkan angka tujuh. Ia menyesal telah melewatkan lari pagi. Lalu panik karena teringat akan Melati.
Dion memperhatikan sekelilingnya. Tak ada jejak Melati.
Ia keluar dari kamarnya dan mendapati Marini sedang mendandani Yenni yang akan berangkat ke sekolah. Masih penasaran, Dion memeriksa dapur, kamar mandi, ruang tengah, hingga depan rumah.
Tidak ada Melati di sana.
Sadar Marini memberi tatapan heran, Dion pun menceritakan mimpinya, seseorang menginap di kamar.
“Teman? Perempuan? Awas kalau berani,” ancam Marini membuat Dion gugup. Tapi Marini kemudian tertawa.
“Bagaimana caramu memasukkan perempuan ke kamarmu tanpa sepengetahuan kakak?” gurau Marini.
“Aku pasti mimpi aneh lagi,” ujar Dion sambil melangkah menuju kamarnya.
Begitu memasuki kamar, Dion mencium aroma khas parfum Melati yang manis.
Hati Dion berdegub kencang.
“Apa yang sebenarnya terjadi? Apa aku telah mengalami gangguan jiwa?” tanya Dion di dalam hati.
Beberapa menit kemudian, ia sudah berusaha mengabaikan pertanyaan itu dan mulai menyiapkan diri karena harus menghadiri kuliah pagi itu.
...***...
Dion sedang bersiap untuk berangkat ke kampus ketika ibu kosnya menerima tamu beberapa orang wanita. Dalam pembicaraan mereka, Dion bisa mengetahui bahwa tamu itu masih memiliki hubungan keluarga dengan Marini.
Salah seorang dari mereka menyatakan keinginan untuk tinggal di rumah itu. Tapi Marini menolak karena kamar kosong sudah disewakan kepada seseorang, yakni Dion.
Dalam perjalanannya ke kampus, Dion memikirkan pembicaraan Marini dengan tetamunya tadi. Ia merasa tidak enak karena Marini harus menolak keluarganya karena kehadiran Dion di rumah itu. Meskipun Dion membayar sewa tiap bulan, dia tahu keluarga induk semangnya itu tidak sepenuhnya kekurangan uang.
“Kak Rini pasti senang bila ada seorang wanita lain yang menemaninya di rumah,” pikir Dion. Ia pun berencana untuk pindah dari rumah itu dan mencari indekos yang lebih murah akhir bulan itu.