Pernikahan Emelia dengan Duke Gideon adalah sebuah transaksi dingin: cara ayah Emelia melunasi hutangnya yang besar kepada Adipati yang kuat dan dingin itu. Emelia, yang awalnya hanya dianggap sebagai jaminan bisu dan Nyonya Adipati yang mengurus rumah tangga, menemukan dunianya terbalik ketika Duke membawanya dalam perjalanan administrasi ke wilayah terpencil.
Di sana, kenyataan pahit menanti. Mereka terseret ke dalam jaringan korupsi, penggelapan pajak, dan rencana pemberontakan yang mengakar kuat. Dalam baku tembak dan intrik politik, Emelia menemukan keberanian yang tersembunyi, dan Duke Gideon dipaksa melihat istrinya bukan lagi sebagai "barang jaminan", melainkan sebagai rekan yang cerdas dan berani.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nur Sabrina Rasmah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mengingat Gerya
Ada rasa perih yang tiba-tiba menusuk ulu hati Emelia. Gerya adalah satu-satunya pelayan yang ia anggap saudara, namun pengkhianatannya adalah luka terdalam sebelum peperangan ini dimulai. Gerya, yang ternyata mata-mata yang membenci Gideon, hampir saja meracuni mereka berdua. Emelia masih ingat saat terakhir kali mereka bertemu di tepi jurang; meski Gerya menghunuskan pisau, ada tangis di matanya—sebuah pengakuan bahwa ia menyayangi Emelia, namun dendamnya pada keluarga Gideon terlalu besar untuk dipadamkan. Gerya memilih terjun ke jurang daripada harus membunuh Emelia atau menyerah pada Gideon.
Melihat Kayla, Emelia merasa seperti diberi kesempatan kedua oleh takdir, meski rasa trauma itu masih ada.
"Dia tidak sama dengannya, Emelia," bisik Gideon, seolah mampu membaca ketakutan yang melintas di mata istrinya. Ia meremas bahu Emelia, menyalurkan kekuatan. "Kayla telah melewati seleksi yang paling ketat oleh Night Hawks. Dia tidak memiliki dendam, hanya kesetiaan."
Kayla, yang seolah mengerti suasana hati majikannya, tetap menunduk dengan hormat tanpa mencoba bersikap berlebihan. "Hamba tahu hamba tidak bisa menggantikan siapa pun di masa lalu Anda, Yang Mulia. Tapi hamba di sini untuk memastikan bahwa mulai hari ini, Anda tidak akan pernah merasa dikhianati lagi oleh orang-orang di sekitar Anda."
Emelia menarik napas panjang, mengusir bayangan Gerya dari benaknya. Ia menatap paras cantik Kayla yang tenang. "Terima kasih, Gideon. Aku... aku butuh ini."
"Bagus," sahut Gideon, beralih pada Kayla dengan tatapan mengintimidasi yang biasa ia gunakan. "Kayla, siapkan Duchess untuk sarapan. Jika ada satu helai rambutnya yang kusut atau satu hal saja yang membuatnya merasa tidak nyaman, kau tahu konsekuensinya."
"Gideon, jangan menakutinya," tegur Emelia lembut sambil tersenyum tipis.
Gideon mendengus pelan, namun matanya berkilat posesif. "Aku hanya memastikan bahwa di istana yang penuh ular ini, mawar milikku memiliki penjaga yang tepat."
Gideon mengecup kening Emelia sekali lagi sebelum melangkah keluar kamar. Di ambang pintu, ia sempat melirik Kayla dengan tatapan tajam yang memberikan perintah tanpa kata: Lindungi dia, atau kau akan menghadapi pedangku.
Setelah pintu tertutup, suasana ruangan menjadi lebih ringan. Kayla mendekati Emelia dengan langkah ringan. "Mari, Yang Mulia. Mari kita tunjukkan kepada semua orang di istana ini bahwa Ratu yang sebenarnya telah kembali, jauh lebih kuat dari apa yang pernah mereka bayangkan."
Emelia bangkit dari tempat tidur, meninggalkan duka tentang Gerya di bawah selimut. Bersama Kayla, ia melangkah menuju cermin besar, bersiap untuk mengenakan zirah kecantikan yang akan membuatnya tampak tak terkalahkan di depan rakyatnya nanti.
Kayla dengan terampil mulai menyiapkan air hangat dan minyak esensial, gerakannya tenang namun efisien. Saat jemari Kayla menyisir rambut Emelia, suasana hening di kamar itu mendadak terasa hangat. Kayla tidak banyak bicara, seolah mengerti bahwa pikiran sang Duchess masih tertinggal di masa lalu yang kelam.
"Gaun ini," Kayla berbisik pelan sambil membentangkan gaun beludru berwarna zamrud gelap di atas kursi. "Duke Jasper yang memilihnya sendiri. Katanya, warna ini akan membuat mata Anda terlihat seperti hutan di Utara yang tenang namun tak tertembus."
Emelia berdiri di depan cermin, membiarkan Kayla mengancingkan bagian belakang gaunnya. Saat kain sutra halus itu membungkus tubuhnya, Emelia merasa harga dirinya kembali tegak. Zamrud itu tampak kontras dengan kulitnya yang pucat, dan potongan leher gaun yang tinggi memberikan kesan otoritas yang dingin.
"Apa kau takut padanya, Kayla?" tanya Emelia tiba-tiba, menatap pantulan Kayla di cermin. "Maksudku... pada suamiku?"
Kayla terhenti sejenak, lalu tersenyum tipis. "Seluruh dunia takut pada sang Duke, Yang Mulia. Tapi bagi hamba, ketakutan itu adalah jaminan keamanan. Pria yang bisa membuat seluruh kerajaan bergetar hanya dengan satu tatapan, namun bersimpuh di kaki Anda... itu adalah pria yang layak hamba layani melalui Anda."
Jawaban itu membuat Emelia tertegun. Ia teringat bagaimana Gideon menatapnya tadi pagi—penuh pemujaan, namun di saat yang sama begitu dominan seolah-olah ia tidak akan membiarkan udara sekalipun menyentuh Emelia tanpa seizinnya.
Setelah Kayla menyelesaikan riasan tipis dan menyematkan bros perak berbentuk lambang keluarga Emelia yang asli di dadanya, pintu kamar terbuka kembali. Gideon berdiri di sana. Ia sudah mengganti jubah tidurnya dengan pakaian kebesaran Duke—hitam pekat dengan sulaman benang emas, pedang hitamnya sudah tersampir rapi di pinggang.
Napas Gideon tertahan sejenak saat melihat Emelia. Ia melangkah masuk, mengabaikan Kayla yang langsung membungkuk hormat dan mundur ke sudut ruangan. Gideon mendekati Emelia, tangannya melingkar di pinggang istrinya dengan tarikan yang kuat, memaksa Emelia menempel pada dadanya yang keras.
"Cantik," gumam Gideon, suaranya rendah dan serak. Ia membelai bros perak di dada Emelia dengan ibu jarinya. "Kau terlihat seperti wanita yang akan membuat para pengkhianat di luar sana menyesali hari mereka dilahirkan."
"Apakah kau sudah siap, Gideon?" tanya Emelia, menatap mata merah suaminya yang kembali menyala oleh ambisi dan proteksi.
"Aku selalu siap untukmu," jawab Gideon sambil memberikan lengan untuk digenggam Emelia. "Aula perjamuan sudah penuh dengan para bangsawan yang gemetar. Mereka ingin tahu apakah mawar dari Utara ini akan mengampuni mereka atau menghancurkan mereka. Mari kita beri mereka jawaban."