"Kembalikan benihku yang Kamu curi Nona!"
....
Saat peluru menembus kaki dan pembunuh bayaran mengincar nyawanya, Mora Valeska tidak punya pilihan selain menerima tawaran gila dari seorang wanita tua yang menyelamatkannya untuk mengandung penerus keluarga yang tak ia kenal.
5 tahun berlalu. Mora hidup tenang dalam persembunyian bersama sepasang anak kembar yang tak pernah tahu siapa ayah mereka. Hingga akhirnya, masa lalu itu datang mengetuk pintu. Bukan lagi wanita tua itu, melainkan sang pemilik benih sesungguhnya—Marco Ramirez.
"Benihmu? Aku merasa tak pernah menampung benihmu, Tuan Cobra!" elak Mora, berusaha melindungi buah hatinya.
Marco menyeringai, tatapannya mengunci Mora tanpa ampun. "Kemarilah, biar kuingatkan dengan cara yang berbeda."
Kini, Mora harus berlari lagi. Bukan untuk menyelamatkan diri sendiri, tapi untuk menjaga anak-anaknya dari pria yang mengklaim mereka sebagai miliknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kenz....567, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Biru Atau Hijau?
Sinar matahari pagi yang hangat mulai menyelinap masuk melalui celah-celah ventilasi, menyapa penghuni rumah yang sudah sibuk sejak pagi. Di rumah yang asri, kehangatan itu bukan hanya berasal dari matahari, melainkan dari celoteh dua bocah kembar yang sedang tumbuh aktif-aktifnya.
Rakael dan Vier, sepasang kembar yang menggemaskan, sudah selesai mandi. Aroma sabun bayi dan bedak tabur menguar dari tubuh mungil mereka. Keduanya telah berpakaian rapi, Rakael dengan setelan kaos bergambar superhero kesukaannya, sementara Vier tampak manis dengan gaun selutut berwarna pastel. Tanpa menunggu komando dua kali, kaki-kaki kecil itu melangkah keluar rumah, menuju halaman depan di mana udara pagi masih terasa begitu segar dan belum tercemar polusi kota.
Di sudut halaman, sebuah ayunan besi tua namun kokoh menjadi tujuan utama. Rakael, dengan gaya sok dewasanya, menepuk dudukan ayunan itu, memberikan isyarat pada saudara kembarnya.
"Viel, cini naik. Laka dolongin," ajak Rakael semangat.
Vier, gadis kecil dengan rambut dikuncir dua itu terlihat senang. Matanya berbinar menatap ayunan. Tanpa ragu, ia memanjat naik dan duduk dengan nyaman. Rakael segera mengambil posisi di belakang, tangan mungilnya mendorong punggung Vier perlahan.
"Ini namanya goooyang dombleeeet," seru Rakael tiba-tiba dengan suara lantang, membuat Vier membulatkan mulutnya karena terkejut dengan dorongan yang sedikit lebih kencang dari sebelumnya.
Vier menoleh sedikit ke belakang, keningnya berkerut bingung. "Bukannya Ayunan? Apa itu gooyang doomblet?" tanya Vier polos. Sebagai kakak meski hanya beda menit, ia terkadang kesulitan memahami kata adiknya yang ajaib, ditambah lagi dengan pelafalan Rakael yang masih sangat cadel.
Rakael mendengus, seolah-olah Vier adalah anak paling tidak gaul sedunia. "Kamu itu lagi goooyang doomblet, maca nda tahu goyang doomblet?!" protes Rakael gemas.
Vier menggeleng pelan. Ia benar-benar tak mengerti dan bingung. Di kepalanya, ia hanya sedang bermain ayunan.
"Vier, Raka, ayo sarapan dulu. Nenek sudah siapkan sarapan ini," suara lembut Kirana, sang nenek, terdengar dari ambang pintu. Wanita paruh baya itu tersenyum melihat keakraban cucunya.
Mendengar kata sarapan, telinga Rakael seolah menegak. Lekas, Vier turun dari ayunan dan Rakael pun segera berlari menghampiri neneknya, diikuti Vier di belakangnya. Keduanya buru-buru masuk ke ruang makan, menarik kursi kayu mereka dengan suara berdecit yang nyaring. Langkah keduanya begitu bersemangat, persis seperti kuda pacu yang baru saja terlepas dari kandangnya, siap menerjang apapun yang ada di meja makan.
Di atas meja, asap tipis mengepul dari piring saji. Aroma gurih santan dan rempah langsung menyergap hidung.
"Apa ini?" tanya Vier, jari telunjuknya mengarah pada gundukan nasi yang berwarna kuning cerah, berbeda dari nasi putih yang biasa ia lihat. Wajahnya menunjukkan keraguan.
"Naci uduuuk, walnanya lagi belbeda. Makan aja, plotes telus," tegur Rakael sok tua, lalu tanpa ba-bi-bu langsung menyendok nasi itu ke piringnya dan melahapnya dengan semangat membara. Mulutnya penuh, pipinya menggembung lucu saat mengunyah.
Vier mengerucutkan bibirnya, menatap nanar nasi kuning itu. Ia menoleh pada Mora, yang baru saja duduk sambil memegang garpu berisi potongan buah pepaya.
"Mom, aku enggak mau," adunya dengan nada merengek pada sang Mommy.
Mora menghela napas pelan. Ia tahu betul tabiat putrinya ini. Mora sendiri memang anti sarapan berat di pagi hari, lebih memilih buah atau roti, dan sepertinya kebiasaan itu menurun telak pada Vier. Genetik memang tidak bisa bohong.
"Ma, Vier emang susah makan kalau nasi begini. Apa ada roti? Biasanya dia makan roti panggang. Biar aku buatkan," ucap Mora seraya meletakkan garpunya dan bersiap beranjak berdiri.
"Ada di lemari belakang," terang Kirana sambil tersenyum maklum. Tangan keriput namun hangat milik Kirana sesekali terulur, membantu menyuapkan nasi ke mulut Rakael yang mulai berlepotan. "Anak pintar, makan yang banyak ya."
"Loti ya nda bica kenyang. Tapi nanti jam cembilan ada abang-abang maltabak, Laka mau beli, Viel mau nda?" tawar Rakael disela-sela kunyahannya. Ia menatap Vier dengan mata bulatnya yang penuh harap.
"Maltabak? Apa itu? Rasanya asam?" tanya Vier polos.
Senyuman Rakael luntur seketika. Bahunya merosot lemas. Ia menatap ke arah neneknya dengan tatapan lelah yang dibuat-buat, seolah menghadapi Vier adalah pekerjaan paling berat di dunia.
"Olang nyacal dali planet mana anak catu ini, Nek?" tanya Rakael dramatis, membuat Kirana terkekeh geli hingga bahunya berguncang.
Tak lama kemudian, Mora kembali dari dapur membawa aroma harum mentega yang terpanggang. Ia meletakkan sepiring roti panggang kecokelatan yang sempurna di hadapan Vier. Lalu, tatapannya beralih ke arah Rakael. Bocah laki-laki itu kini menatap piring roti Vier dengan mata berbinar, seolah nasi uduk di hadapannya sudah tidak menarik lagi.
"Raka mau juga?" tanya Mora menawarkan dengan lembut.
Rakael menatap piring nasinya yang masih setengah, lalu kembali menatap roti panggang, kemudian menatap wajah Mommy-nya. Ada pergolakan batin di sana.
"Kalau jam cembilan kulang cepuluh boleh nda? Kacian nanti nacinya celayiiiiing kaya ictli ikan telbang," ucap anak itu dengan ekspresi prihatin yang sungguh-sungguh.
Kirana tak bisa menahan tawanya kali ini. "Ya ampun, istri ikan terbang," gumamnya. Rakael memang sering menemani neneknya menonton drama di televisi siang hari. Tak disangka, memori otak kecilnya merekam jelas berbagai adegan dan istilah dari sinetron tersebut, bahkan menerapkannya pada nasib nasi uduknya.
"Boleh sayang, ayo habiskan dulu nasinya. Jangan sampai nasinya menangis," ucap Mora tersenyum, tangannya dengan telaten memungut butiran nasi yang berceceran di sekitar piring Rakael dan menyingkirkannya ke tepi.
Suasana hening sejenak saat mereka menikmati makanan masing-masing. Hingga Rakael kembali bersuara, memecah keheningan dengan sebuah permintaan.
"Gelas hijau Laka mana?" tanya Rakael sambil celingukan. Matanya menyapu seluruh permukaan meja makan.
Ketiga wanita dewasa dan satu gadis kecil itu ikut mencari. Vier, yang melihat sebuah gelas plastik di meja samping, segera turun dari kursinya. Ia mengambil gelas itu dengan sigap dan kembali mendekat pada Rakael yang juga bersiap turun.
"Ini Raka," Vier menyodorkan gelas di tangannya dengan senyum bangga karena bisa membantu.
Namun, reaksi Rakael justru di luar dugaan. Ia menatap gelas itu dengan kening berkerut, lalu menggeleng tegas.
"Bukan walna bilu, hijau loooh," tolak Rakael. Ia mengabaikan gelas yang disodorkan Vier, lalu turun dari kursinya dan melangkah menuju dapur dengan hentakan kaki kecil yang kesal.
Vier terpaku di tempatnya. Ia menatap gelas di tangannya, lalu menatap punggung adiknya, lalu kembali ke gelas itu. "Perasaan Vier, ini warna hijau. Mana birunya?" tanya Vier bingung, suaranya mencicit ragu. Mora dan Kirana saling bertatapan. Ada kekhawatiran yang tersirat di mata Mora.
gmn kelanjutannya