Aluna, gadis sebatang kara yang harus terlibat dengan pernikahan kontrak dengan seorang Ceo demi membayar denda atas insiden yang tidak sengaja terjadi.
Dan Haris laki-laki berusia 32 tahun yang juga terpaksa menawarkan pernikahan kontrak pada Alana demi maminya.
bagaimana kelanjutan kisah keduanya ??
ikutin terus perjalanan cinta mereka.
Plagiat ! hus hus ☠️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona_Written, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
05
Keesokan paginya, aku terbangun dengan perasaan yang tidak enak. Harus menghadapi kenyataan bahwa motorku masih berada di bengkel dan kakiku masih terasa sakit yang tidak tertahankan. Aku bahkan merasa hampir tak mampu bangun dari tempat tidur.
"Aku tak akan bisa kuliah hari ini," gumam Aluna, dengan kesal pada diri sendiri. Lantas, dia merogoh handphone yang berada di meja nakas untuk menghubungi Della, sahabat-nya.
"Hey Della, maaf banget hari ini aku nggak bisa masuk kuliah," ucap Aluna dengan sedikit berat hati. Aluna tidak ingin mengecewakan sahabatnya itu, tetapi apa boleh buat kondisinya saat ini benar-benar tidak memungkin Aluna menyampaikan kabar ini membuat Aluna merasa sedih dan sekaligus bersalah karena Aluna tahu Della pasti mengkhawatirkan keadaannya.
"kenapa kok gak masuk?" Tanya Della, dia heran karna bagaimanapun kondisinya Aluna tidak pernah izin tidak masuk, kecuali bener-bener genting.
"Kemarin aku kecelakaan, motorku rusak dan sekarang kakiku masih terasa sakit banget," ucap Aluna menjelaskan situasi yang kemarin dia alami.
"Hah! terus bagaimana keadaan kamu sekarang Lun, apa kamu baik-baik saja, aku ke rumahmu ya."Ucap Della dengan suara paniknya.
"Aku gak kenapa-kenapa Del, aku baik-baik saja, hanya sakit sedikit dan kaki lecet aja, cuman motorku masih di bengkel."ucap Aluna.
Aluna bisa merasakan bahwa Della khawatir dengan keadaannya, karna Della benar-benar sahabat yang selalu ada untuk Aluna di saat susah maupun senang. Sahabat sejati memang selalu saling mengerti satu sama lain. Setelah selesai bercakap-cakap dengan Della, Aluna mematikan sambungan telponnya, dia melangkah menuju kamar mandi untuk membasuh wajahnya, lalu dia berjalan keluar dari kamarnya, dan dengan susah payah menahan rasa sakit di kakinya yang sedikit bengkak itu Aluna menuruni anal tangga untuk sampai ke lantai satu dan menuju ke dapur untuk mengambil minum dan membuat sarapannya.
"Si*l kenapa ini sakit sekali si."gumam Aluna sambil memijat pelan kakinya.
"Ayo dong jangan manja begini, kan kamu tau aku apa-apa harus bisa sendiri, "lanjutnya menyemangati dirinya sendiri.
Semenjak kedua orang tua-nya meninggal dunia Aluna selalu melakukan apapun sendiri, karna memang dia tidak memiliki siapapun di dunia ini, jadi apapun yang terjadi dia selalu berusaha untuk menyelesaikan sendiri tanpa meminta bantuan siapapun.
**
Haris terbangun dengan perasaan bingung, mengernyitkan dahi saat ia menyadari bahwa dia berada di mansion milik maminya. Seperti ingatan yang tiba-tiba menyambar, ia teringat bahwa semalam maminya melarangnya untuk kembali ke apartemennya.
"Kenapa sih Mami selalu meminta gue untuk menikah, kenapa tidak dia saja yang menikah lagi kalo memang kesepian, kenapa harus gue yang di suruh menikah dan memberikan dia cucu?" Omel Haris dalam hati. Ingin rasanya ia melawan, memberontak agar bisa menyuarakan isi hatinya, jika dia tidak ingin menikah dia ingin hidup bebas, karna menurutnya perempuan hanya akan menghambat ambisinya saja.
Tetapi, disisi lain, rasa hormat dan takut akan kemarahan maminya membuatnya enggan untuk berbicara.
"Apakah ini yang terbaik bagiku? Atau, Mami hanya ingin membuktikan kepada teman-temannya jika aku tidak seperti yang mereka bicarakan, tapi untuk apa, untuk apa mami memikirkan ucapan mereka coba, kan yang menjalankan hidup itu aku bukan mereka." Ucap Haris kesal."Aaaarrregggghhhhhh, rasanya kepalaku sangat pusing jika memikirkan apa yang mami inginkan itu,"lanjut Haris.
"Apa gue harus mencari wanita yang mau dibayar saja untuk menikah dengan gue dan melahirkan anak gue nanti? Setelah itu kita bercerai dan gue akan memberikan bayaran yang fantastis kepadanya," gumam Haris, merasa putus asa dalam situasi ini. Dia tahu mungkin ide itu terdengar konyol, tetapi dia tidak ingin terjebak dalam ikatan pernikahan yang hanya akan membuat hidup terkekang. Entah mengapa, dia merasa pernikahan itu seakan akan membatasi kebebasannya, padahal dia tahu bahwa sebenarnya pernikahan seharusnya membawa kebahagiaan. Tapi, di satu sisi, dia juga tidak ingin kehilangan kesempatan untuk memiliki anak dan mengasuhnya agar tumbuh menjadi pribadi yang baik. Lama dia berpikir, mencari cara terbaik agar keinginan maminya terpenuhi tanpa harus mengorbankan kebebasan yang dia inginkan.
Namun, setiap kali mencari solusi, dia selalu merasa ragu dan takut bahwa mungkin pilihannya akan membawa konsekuensi buruk bagi orang lain, terutama wanita yang akan menikah dengannya dan anak yang akan dilahirkannya nanti.
"Sudahlah, mungkin ini memang takdir gue, menjadi orang yang terus mencari jalan keluar dari masalah yang sebenarnya belum tentu ada." Haris menghela napas, mencoba menerima kenyataan bahwa mungkin memang tidak ada jalan mudah yang bisa dia tempuh untuk mewujudkan keinginan maminya itu. Dalam kesendirian, dia hanya bisa berharap suatu saat nanti akan ada solusi yang datang padanya tanpa harus menyakiti hati orang lain.
Setelah bergelut dengan pikirannya sendiri, Haris bangkit dari tempat tidurnya dan melangkah ke kamar mandi, dia berdiri di bawah guyuran air dingin yang keluar dari shower di atas kepalanya itu, Haris mengusap-ngusap rambutnya, dan membiarkan air dingin itu mendinginkan kepalanya yang sedang banyak pikiran itu.
Setelah kurang lebih setengah jam Haris membersihkan dirinya, akhirnya kini dia sudah siap dengan setelan jas dan pakaian formalnya, dia menuruni anak tangga dengan langkah yang berwibawa dan merapihkan kancing tangan jasnya.
"Pagi, Sayang," ucap Nyonya Ghania lembut saat melihat anaknya berjalan ke arahnya. Tangannya yang penuh kasih segera memeluk anaknya dalam dekapan. Dalam hati, Nyonya Ghania merasa sangat bersyukur akan kehadiran Haris dalam hidupnya.
"Seandainya kamu tahu betapa banyak cinta yang ada di dalam hatiku untukmu, Nak," batinnya sambil merasakan detak jantung anaknya yang hangat dan penuh kasih. Dalam benak Nyonya Ghania, ingatannya kembali melayang pada masa-masa ketika ia berjuang keras menghadapi dunia yang penuh tantangan. Dia tahu bahwa menjadi seorang ibu adalah pekerjaan yang penuh tanggung jawab, namun dia yakin bahwa kehadiran Haris telah memberinya kekuatan dan kebahagiaan yang lebih besar daripada apa pun. Nyonya Ghania melihat matanya yang penuh harapan dan tulus.
"Ingin ku katakan kepadamu nak, walaupun mami kadang menyebalkan menurutmu, yang selalu menuntut mu harus seperti ini dan itu, tapi percayalah nak mami melakukan itu untuk kebaikan kamu sendiri." ucapnya dalam hati lagi.
Dia berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia akan selalu ada untuk anaknya dan memberikan yang terbaik untuk Haris. Sebuah tugas yang tak mudah, namun hati Nyonya Ghania selalu bersinar dengan cinta dan kegigihan untuk menghadapinya.
"Kenapa si mi, kok menatap Haris sampe seperti itu."ucap Haris sambil menatap dalam mata sang mami.
"Gapapa sayang, mami hanya sangat merindukan masa-masa bareng sama kamu, sekarang kamu sangat sibuk dengan perusahaan, dan kadang kamu juga gak mau pulang ke mansion malah pulang ke apartemen kamu, kan kalo kamu udah nikah kamu makin gak ada waktu sama mami Ris."ucap nyonya Ghania dengan nada merajuknya
"Iya maafin Haris ya mi,Haris sibuk juga buat mami bukan buat yang lain, "ucap Haris memberikan pengertian kepada sang mami. "ya makannya mami jangan paksa Haris buat nikah terus, biar waktu Haris terus sama mami."lanjutnya mengalihkan pembicaraan agar sang mami berubah pikiran.
"Etsssss, engga ya, mami tetap mau kamu cepat menikah, dan memberikan mami cucu yang banyak, biar mansion ini rame, ingat waktu kamu hanya dua minggu."ucap nyonya Ghania.
"Astaga mi."ucap Haris frustasi.
Namun sang mami tidak sama sekali gentar dengan niatnya untuk menjodohkan sang anak walaupun wajah Haris sudah sangat frustasi memikirkan hal itu.