"Mas aku pinta cerai" ucap laras
Jantungku berdetak kencang
Laras melangkah melauiku pergi keluar kosanku dan diluar sudah ada mobil doni mantan pacarnya
"mas jaga melati, doni ga mau ada anak"
aku tertegun melihat kepergian laras
dia pergi tepat di hari ulang tahun pernikahan
pergi meninggalkan anaknya melati
melati adalah anak kandung laras dengan doni
doni saat laras hamil lari dari tanggung jawab
untuk menutupi aib aku menikahi laras
dan sekarang dia pergi meninggalkanku dan melati
melati bukan anakku, bukan darah dagingku
haruskah aku mengurus melati, sedangkan dua manusia itu menghaiantiku
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 5
“Tolong, Pak. Kalau memang harus ada alasan penangkapan, beri alasan yang masuk akal,Mana ada seorang ayah menculik anaknya” ucapku pelan. Aku tidak ingin Melati terbangun.
“Bohong!” bentak Pak Ferdi. “Dia bukan ayahnya!” serunya lagi dengan nada penuh penekanan.
Ternyata, saat membawa polisi, dia cukup berani mengatakan bahwa aku bukan ayah Melati.
Yang membuatku heran, mengapa mereka begitu ngotot ingin mengambil Melati, padahal selama ini mereka bahkan tidak mengurusnya dengan benar?
“Tega, Pak,” kataku lirih. “Kenapa kemarin Melati dibiarkan menangis di pinggir jalan?”
Amarahku pada lelaki tua itu sudah tak bisa kubendung.
“Sebaiknya dijelaskan di kantor polisi,” kata salah satu petugas.
“Ayah!”
Teriakan Melati menggema.
Ia meloncat dari tempat tidur dan berdiri di depanku. Matanya basah, tubuhnya gemetar.
“Jangan ambil Ayahku! Orang jahat!” teriaknya lantang. Tatapannya tajam menembus dada para polisi.
“Pak, dia bukan ayahnya. Saya bisa membuktikannya,” ucap Ferdi tanpa rasa bersalah.
Aku menunduk, menahan napas. Tanganku membelai lembut rambut Melati.
“Melati sayang... tenang, ya. Ayah pasti kembali,” bisikku.
“Ayah! Aku tidak akan bialkan olang jahat sakiti Ayah!” suaranya keras, penuh keberanian.
Hatiku terharu... tapi juga sakit.
Sangat sakit.
Apa salahku?
Merawat anak ini sejak bayi. Memandikannya. Menyuapinya. Mendongeng sebelum tidur.
Lalu hari ini… aku dituduh menculiknya?
Kenapa hidupku harus seperti ini?
“Sudah, Pak,” ucap salah satu polisi. “Nanti Anda bisa menjelaskannya di kantor.”
Melati menangis histeris saat aku digiring keluar.
Rosidah berusaha menariknya paksa dari pelukanku.
Melati meronta, memukul-mukul lengan Rosidah dengan tangan kecilnya.
Rosidah tampak murka. Matanya melotot. Tangannya sempat terangkat—nyaris menampar Melati.
Namun ia mengurungkan niatnya.
Mungkin karena sadar, ada polisi yang menyaksikan semua itu.
Aku hanya bisa menatap dari kejauhan, dada sesak.
Anak yang kubesarkan dengan cinta, sedang diseret oleh orang tidak pernah benar-benar mencintainya
Aku digelandang.
Tangan diborgol, seperti penjahat. Tubuhku didorong masuk ke mobil tahanan.
Aku hanya bisa pasrah. Tak bisa melawan.
Bukan karena aku takut… tapi karena aku tahu, perlawanan tidak akan mengubah apa pun.
Yang paling membuatku cemas bukan nasibku.
Tapi Melati.
Apakah dia bisa makan tanpaku? Apakah dia bisa tidur nyenyak malam ini?
Siapa yang akan menyuapinya? Mendongeng sebelum tidur?
Aku tahu, adik Pak Ferdi bernama Arsyad. Dia seorang polisi.
Sepertinya… kekuasaan itu kini digunakan untuk menyingkirkanku.
Sampailah aku di kantor polisi.
Aku dibawa masuk ke sebuah ruang interogasi.
Ruangan itu dingin dan sepi. Dua orang polisi sudah duduk di dalam, menatapku tajam.
Aku duduk di bawah sorot lampu yang menyilaukan mata.
“Tandatangani ini. Cepat!” ucap salah satu dari mereka, menyerahkan selembar kertas.
Aku mengernyit.
“Kenapa Bapak tidak bertanya dulu? Dan kenapa saya harus menandatangani ini?” tanyaku heran.
Aku memang belum pernah diinterogasi sebelumnya.
Tapi logikaku masih bekerja.
Bukankah seharusnya ada proses tanya jawab?
Bukankah berita acara dibuat setelah pemeriksaan, bukan sebelum?
"Jangan banyak tanya! Memangnya kamu punya apa untuk melawan Pak Arsyad?" bentak salah satu polisi dengan nada meremehkan.
Sudah kuduga... aku memang harus bersalah di mata mereka.
Tak ada ruang untuk membela diri. Tak ada tempat untuk menjelaskan.
"Cepat!" ucap polisi yang lain, suaranya mengancam, telunjuknya mengarah pada kertas yang belum kutandatangani.
Aku menarik napas dalam. Dada terasa sesak. Tapi suaraku keluar tegas, tanpa gentar:
"Saya tidak mau."
Aku menatap mereka satu per satu.
"Aku tidak akan mengakui sesuatu yang tidak kulakukan."
Aku memang lemah tapi aku tidak mau mengalah pada ketidakadilan
Seorang polisi maju dan berbisik padaku, “Cepat tanda tangani, ini menentukan nasib Melati.”
Jantungku berdebar. Interogasi macam apa ini? Ini bukan interogasi, ini intimidasi.
Tak ada pilihan. Akhirnya aku menandatangani berita acara itu, yang isinya saja aku tidak tahu.
Setelah diinterogasi, aku dibawa ke sel penjara. Aku didorong dengan paksa masuk ke tempat yang tak seharusnya aku tempati.
Namun, memang beginilah hukum. Hukum hanya alat bagi orang yang berkuasa untuk menunjukkan kekuasaannya. Seharusnya, hukum mengatur kekuasaan, tetapi kenyataannya, kekuasaanlah yang mengatur hukum. Dan aku memang tak punya kuasa.,
"Wey, kabarnya dia menculik anak," ucap seorang penghuni penjara.
Gila, bahkan di dalam penjara saja aku sudah menjadi target. Dari mana para narapidana ini tahu kalau aku menculik anak?
Menurut rumor, orang yang menculik anak atau memperkosa wanita akan mendapat perlakuan buruk dari sesama narapidana.
"Ya sudah, hajar saja sih," ucap seseorang.
Rasa takut merayap dalam diriku. Ternyata mereka ingin aku mati di sini. Kenapa? Apa salahku? Apa aku merugikan mereka? Memang seharusnya aku tidak menikahi wanita hamil, agama juga melarangnya, dan inilah akibatnya. Niat baik memang harus disertai dengan cara yang baik.
"Bugh!" Sebuah pukulan mendarat di perutku.
Rasa nyeri menjalar di seluruh tubuhku, pandanganku mendadak pening. Rasanya aku ingin muntah, kepalaku seperti berputar-putar.
Selanjutnya, penghuni penjara memukuliku tanpa ampun. Mungkin, asalkan aku tidak mati atau cacat, itu batasannya. Tidak ada satu pun petugas yang membantuku, padahal jarak antara sel penjara dengan ruangan petugas tidak terlalu jauh. Mereka tuli, ya, memang petugas hukum pura-pura tuli kalau yang menderita adalah manusia tak berdaya sepertiku.
Aku babak belur dihajar para narapidana. Bahkan, sebagian dari mereka ada yang menyiramku dengan air kencing.
Aku meringkuk, merasakan semua rasa sakitku. Astaga, seperti inikah rasanya menjadi lelaki tak berdaya?
Pagi tiba. Aku tidak dibangunkan, padahal waktunya sarapan. Mungkin mereka menganggapku hina sehingga aku tak layak diberi makan.
Siang hari, suasana penjara mendadak ramai. Semua penghuni mengerubungiku, bahkan dari kamar lain pun ikut mengerubungiku. Hampir ada 30 orang mengelilingiku. Mereka terlihat sangar dan badannya kekar.
Aku menghela napas berat, mungkin ini adalah akhir dari seorang Riko. Belum juga aku menjadi seorang Zainuddin, aku sudah harus berakhir.
Aku memejamkan mata dan siap dipukul. Aku sudah siap merasakan sakit lagi, dipukuli oleh 30 orang sangar.
Namun, setelah sekian lama, aku tidak merasakan pukulan.
Aku membuka mata dan yang kulihat adalah semua orang menunduk padaku dengan wajah penuh penyesalan.
"Saudaraku, maafkan aku yang sudah salah paham padamu," ucap seorang pria paruh baya yang wajahnya paling sangar.
"Apa mereka minta maaf padaku? Apakah mereka merasa bersalah karena semalam memukuliku? Apa alasannya?"
"Saudaraku, kami sudah tahu semuanya," ucap pria itu.
"Ma... maksud Anda?" tanyaku.
"Hari ini, penjara dikepung ojek online se-Jabodetabek. Mereka membawa layar besar yang memutar video seorang anak kecil menangis di pinggir jalan. Kamu menyelamatkan anakku itu. Sementara itu, mereka yang melaporkanmu adalah orang-orang yang menyakiti anak kecil itu," ucap pria tersebut.
"Apa rekan-rekan ojol bergerak? Siapa yang menggerakkan mereka? Ponselku mati, aku tidak pernah meminta bantuan mereka."
"Kami semua minta maaf," 30 orang itu serempak berkata sambil menundukkan muka di depanku.
"Aku Anton," ucapnya. "Kalian tahu reputasiku. Sekarang dia adalah saudaraku karena dia mencintai anaknya sepertiku. Barang siapa yang menyakitinya, maka dia menyakitiku," ucapnya sambil mengangkat tanganku.
Semua orang mendekatiku mereka bersalaman dan meminta maaf
"Anak muda, kamu anak baik. Ini kartu namaku, sebentar lagi kamu akan dikeluarkan. Aku tidak punya uang, aku hanya punya ini. Datanglah ke tempat ini jika kamu butuh bantuan hukum," ucapnya.
Aku tertegun.
"Maaf, Pak... Bapak siapa namanya?" tanyaku.
"Katakan aku adalah LH," ucapnya.
Aku menganggukkan kepala.
"Memang apa yang sebenarnya terjadi?" tanyaku.
"Entahlah, Jakarta Timur hari ini macet total. Ojek online memblokir semua jalan. Tadinya ada warga yang akan membubarkan ojek online, tapi setelah melihat video kamu, mereka malah ikut demo. Sekarang sudah menjadi perhatian pusat, petugas lapas pun kalang kabut mengendalikan situasi," ucap seorang narapidana yang kebetulan tadi bertugas membersihkan halaman depan.
,,,
,,,
Ini adalah ceritaku, antara fiksi dan nyata
Kenyataanya memang aku ini ojol, nyambi nulis
Kalau tulisanku blepotan berarti lagi terima orderan