NovelToon NovelToon
CEO Dingin-Ku Mantan Terindah-Ku

CEO Dingin-Ku Mantan Terindah-Ku

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Duda / CEO / Office Romance / Mantan
Popularitas:22.4k
Nilai: 5
Nama Author: Rere ernie

Nadira tak pernah menyangka bekerja di perusahaan besar justru mempertemukannya kembali dengan lelaki yang pernah menjadi suaminya tujuh tahun lalu.

Ardan, kini seorang CEO dingin yang disegani. Pernikahan muda mereka dulu kandas karena kesalahpahaman, dan perpisahan itu menyisakan luka yang dalam. Kini, takdir mempertemukan keduanya sebagai Bos dan Sekretaris. Dengan dinginnya sikap Ardan, mampukah kembali menyatukan hati mereka.

Ataukah cinta lama itu benar-benar harus terkubur?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rere ernie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter — 14.

Mobil berhenti perlahan di depan apartemen. Lampu kota berkelip di luar jendela, memantul samar pada kaca. Nadira menunduk, jemarinya sibuk meremas tali tas. Ia mencoba menutupi degup yang makin sulit dikendalikan.

“Turun,” ucap Ardan singkat, nadanya datar seperti biasa.

Nadira menggigit bibir, lalu memberanikan diri mengangkat wajah. “Kamu tidak ikut naik?” tanyanya lirih.

Ardan menoleh, menatapnya lama. Sorot matanya tajam, tapi ada sesuatu yang sulit disembunyikan. “Kamu ingin aku masuk? Kau sengaja menggigit bibirmu begitu... untuk menggodaku?”

Mata Nadira membelalak, wajahnya memanas. “Aku t-tidak__”

Namun Ardan tak memberinya kesempatan menyangkal, suaranya kembali dingin. “Tentang pernikahan yang aku batalkan hari ini… aku akan atur ulang. Besok, kau tidak perlu ke kantor. Kita pergi ke rumah sakit, kita akan bicara dengan ayahmu. Kau hanya perlu mengatakan satu hal pada keluargamu... kita akan menikah lagi. Dan kita akan mendapatkan buku nikah baru, mengerti?”

Jadi Ardan benar-benar tak tahu, bahwa kami sebenarnya masih sah sebagai suami-istri secara hukum.

“Baiklah,” jawab Nadira akhirnya, tanpa perlawanan.

Ardan sempat menatapnya lebih lama, seolah heran kenapa kali ini wanita itu tidak membantah. Namun ia tidak berkomentar, waktunya sangat mendesak. Malam ini, ia harus bertemu Claudia dan ayahnya di kediaman keluarga wanita itu untuk membicarakan rencana pertunangan sebelum akhirnya mereka menikah.

“Besok pagi aku jemput, tidurlah lebih cepat setelah makan malam. Sebentar lagi, orangku akan datang membawanya...”

Nadira hanya mengangguk pelan, lalu membuka pintu mobil. Udara malam menerpa wajahnya saat ia melangkah turun, mobil Ardan melaju perlahan meninggalkannya.

Di dalam mobil, cahaya ponsel Ardan menyala. Satu pesan baru masuk, dari Claudia.

[Ardan, kamu sudah sampai mana? Papa menunggumu.]

Ardan menatap layar ponsel beberapa detik, lalu menghela napas berat. Entah mengapa, wajah Nadira yang tadi pasrah itu masih terbayang jelas di benaknya, mengusik sisi terdalam yang selama ini ia kunci rapat.

Ia mengetik balasan singkat.

[Aku dalam perjalanan.]

Mobil terus melaju menuju rumah Claudia. Namun, untuk pertama kalinya dalam sekian tahun, Ardan tidak merasa sepenuhnya yakin pada arah yang ia pilih.

.

.

.

Rumah keluarga Claudia tampak megah malam itu. Lampu kristal berkilau di ruang tamu, menebar cahaya hangat yang justru terasa dingin bagi Ardan. Langkah kakinya bergema di lantai marmer, disambut oleh Claudia yang berjalan anggun dengan gaun malam berwarna merah marun.

“Ardan,” sapanya dengan senyum manis yang terlatih. “Akhirnya kamu datang juga, Papa sudah menunggu di ruang makan.”

Ardan hanya mengangguk tipis, menyembunyikan penatnya. Claudia menautkan tangannya di lengan Ardan, seolah-olah mereka pasangan sempurna. Gerakan Claudia membuat pria itu refleks menegang, meski bibirnya tetap terkunci.

Di ruang makan Tuan Wiryawan, ayah Claudia sudah duduk di kursi utama, dengan segelas anggur di tangannya. Tatapannya tajam, penuh wibawa.

“Ardan, duduklah. Malam ini kita perlu membicarakan hal serius, aku tidak ingin Claudia terus menunggu kepastian darimu.” Suaranya berat.

Ardan menarik kursi dan duduk. Claudia ikut duduk di sebelahnya, senyum tak pernah lepas dari wajahnya.

“Aku sudah siap, Om,” jawab Ardan dingin namun sopan. “Kapan pun Om merasa waktunya tepat, aku akan mengumumkan pertunangan kami.”

Claudia menoleh cepat, senyum lebarnya makin merekah.

Namun Tuan Wiryawan mengerutkan kening. “Pertunangan, ya? Aku ingin lebih dari itu, Ardan. Aku ingin pernikahan secepatnya, kau bukan lagi anak muda yang bisa terus menunda. Setelah pernikahan, perusahaan keluarga kita akan menjadi aliansi yang kokoh.”

Ardan meneguk air putih di hadapannya, mencoba meredam kegelisahan yang tiba-tiba muncul. Wajah Nadira terlintas lagi dalam pikirannya. Tatapan matanya yang rapuh, ucapannya yang pasrah… semua membekas terlalu dalam.

“Pernikahan tidak bisa diputuskan terburu-buru, Om.” Katanya akhirnya, tenang tapi tegas.

“Tapi Ardan... Papa benar. Kita sudah terlalu lama bersama, semua orang menganggap kita pasangan masa depan. Kalau tidak segera diumumkan, gosip buruk bisa saja beredar. Misalnya, gara-gara rumormu dengan sekertaris mu itu... kau menjadi goyah." Claudia mencoba memprovokasi.

Ardan menoleh, menatap Claudia. Ia akui wanita itu sangat cantik, tapi… hatinya terasa dingin. Ada jarak yang tak bisa ia jembatani, meski ia sudah berusaha.

“Aku akan mengumumkan jika waktunya tepat,” ulangnya, nada suaranya dingin. “Tapi jangan paksa aku menikah dalam waktu dekat, aku tidak ingin mengambil keputusan yang nantinya kusesali. Dan, mengenai sekertarisku... tak perlu dihiraukan. Aku tekankan sekali lagi, dia bukan siapa-siapa untukku."

Tuan Wiryawan menatap Ardan lama, lalu meletakkan gelasnya di meja dengan bunyi ‘tuk’ yang nyaring. “Ardan, aku percaya padamu karena kemampuanmu. Tapi jangan lupa, hubungan bisnis ini bisa runtuh kalau kau tak segera memberi kepastian. Kau juga paham konsekuensinya.”

Suasana meja makan menjadi tegang. Claudia meremamss lengan Ardan, seolah berusaha menahan pria itu agar tidak kabur dari genggamannya.

Namun di dalam hati Ardan, hanya satu nama yang menggema.

Nadira.

Malam itu meski tubuhnya duduk di ruang makan keluarga Claudia, pikirannya sama sekali tidak ada di sana.

Makan malam berakhir dengan formalitas. Tuan Wiryawan pamit lebih dulu, meninggalkan Claudia dan Ardan di ruang tamu. Hening sesaat, hanya suara detak jam dinding yang terdengar.

Claudia berdiri, lalu menuangkan anggur ke dalam dua gelas kristal. Ia menyerahkan segelas pada Ardan, lalu duduk di sampingnya. Keduanya sangat dekat... aroma parfum Claudia menyelimuti udara.

“Ardan…” suaranya lembut, nyaris berbisik. “Ayahku memang keras, tapi aku tahu kau butuh waktu. Aku tidak akan memaksamu, tapi setidaknya… izinkan aku menemanimu malam ini.”

Ardan menerima gelas anggur itu, tapi hanya diletakkan di meja tanpa disentuh. Matanya lurus ke depan, dingin dan tak tergoyahkan.

Claudia tersenyum tipis, lalu bergerak lebih dekat. Tangannya menyentuh lengan Ardan. “Kau selalu sibuk, selalu menjaga jarak dariku. Tapi... bukankah kita sudah bersama bertahun-tahun? Kau tidak lelah terus menahan diri terhadapku?”

Tatapan pria itu beralih pelan ke arah Claudia. Sorot matanya tajam, seperti pisau. “Claudia.”

Wanita itu menggigil sedikit, tapi tetap tersenyum pura-pura percaya diri. “Hm?”

“Jangan salah paham, aku tidak pernah menahan diri terhadapmu. Aku hanya... tidak ingin memberi sesuatu yang hatiku tidak bisa ikuti.”

Claudia tercekat. “Maksudmu…?”

Ardan berdiri, menatapnya dari atas dengan aura yang membuat udara seketika menegang. “Kau cantik, kau cerdas. Semua pria akan beruntung memilikimu, tapi aku tidak akan memberikan janji palsu padamu. Aku tidak bisa mencintaimu, Claudia.”

Wanita itu memaksakan senyum, meski suaranya bergetar. “Tapi Ardan… bukankah semua orang menganggap kita sudah seperti pasangan?”

“Biarlah mereka menganggap apa saja.” Ardan meraih jasnya. “Aku tidak hidup untuk memenuhi bayangan orang lain.”

Claudia bangkit, berusaha menahan tangan pria itu. “Ardan… jangan pergi malam ini. Setidaknya, temani aku sebentar.”

Tatapan pria itu kembali menusuk. “Jika aku bertahan di sini, hanya akan membuatmu semakin salah paham. Lebih baik aku pergi.”

Tanpa menoleh lagi, Ardan melangkah keluar. Claudia terdiam, matanya basah. Untuk pertama kalinya, ia benar-benar merasa kalah. Dan kebenciannya terhadap Nadira... semakin besar.

"Dulu aku memecah kalian berdua dengan semua tipu daya dan kelicikanku. Sekarang? Jangan mimpi kalian bisa bersama kembali. Kau kira aku tidak tahu kau membelikan apartemen untuk gundikmu itu? Aku tak akan pernah melepasmu, Ardan! Kau hanya milikku! Sampai aku mati, atau... sampai Nadira mati."

Pagi Hari...

Cahaya matahari menembus jendela apartemen Nadira, wanita itu baru saja selesai sarapan ketika suara dering ponsel membuatnya menoleh.

[Nadira... turun sekarang, aku sudah di depan.]

Ia mengambil tas, lalu turun. Di depan apartemen, Maybach hitam Ardan sudah menunggu. Sopir membukakan pintu, dan Nadira masuk dengan hati-hati.

Ardan duduk di kursi belakang, jas abu-abu rapi melekat pada tubuhnya. Wajahnya serius, tatapannya hanya sebentar menyapu Nadira sebelum kembali pada ponsel di tangannya.

“Pagi,” sapa Nadira, mencoba mencairkan suasana.

“Pagi,” jawab pria itu singkat.

Mobil melaju meninggalkan kompleks apartemen, di dalam mobil hening mendominasi. Nadira melirik pria di sampingnya, mencoba membaca pikirannya tapi ekspresi itu sama sekali tak berubah.

Sampai akhirnya, Ardan berbicara tanpa menoleh. “Di rumah sakit nanti, jangan coba-coba bicara yang aneh. Katakan saja, kau setuju menikah lagi denganku."

Nadira menelan ludah. “Kalau Papa menanyakan alasannya?”

“Aku yang akan menjawab.” Tatapan Ardan akhirnya beralih pada Nadira, penuh kuasa. “Kau cukup diam, mengerti?”

Wanita itu terdiam, lalu mengangguk pelan.

Namun dalam hatinya, ia tahu. Perjalanan ke rumah sakit ini bukan sekadar formalitas, ini awal dari badai yang lebih besar. Dan entah mengapa, hatinya berdebar… bukan hanya karena takut, tapi karena harapan kecil yang tak ingin ia akui. Jika sebenarnya... Ardan masih memiliki rasa untuknya.

1
Rita
betul dih
Rita
Ardan tolong jelaskan apa prasangka istrimu benar pa salah
Rita
lah🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣
Rita
awas nih sakit gangguan jiwa
Rita
obsesi itu namanya
Rita
tuh Ardan sdh tau kan
Rita
mamer 🥰🥰🥰🥰🥰🥰👍👍👍👍👍👍👍
Rita
hei hei😅😅😂😂😂😂
Lydia
Lanjut Author. Terima Kasih.
Rere💫: 😍😍😍😍😍
total 1 replies
Jeng Ining
good Clau provokasi Ardan terus, itubmemang yg dimaui mama Ardan, biar sepenuh hati Ardan melakukan pembelaan thd Nadira dn mengeluarkan semua isi hati yg hanya ada Nadira😁😁😁
Jeng Ining: biar polpolan nunjukin cintanya ke Nadira sesuai prediksi Mamanya🤭
total 2 replies
Tiara Bella
wow Ardan terlalu cepet ini mah ketemunya Nadira ....hehehhe...
Tiara Bella: hooh....
total 2 replies
Azahra Rahma
bagus, keren
Azahra Rahma
Ardan jangan percaya kata² Claudia,,dia itu wanita siluman ,,entah siluman laba² atau siluman ular putih
Rere💫: Siluman rubah 🦊🤣
total 1 replies
Desyi Alawiyah
Claudia emang licik...

Dalam keadaan terdesak pun dia masih bersikap sombong dan mencoba memprovokasi Ardan...😒
Rere💫: Di bikin tomyam 🤣🤣🤣
total 3 replies
Desyi Alawiyah
Istrimu di culik mama kamu, Ardan... Udah jangan khawatir 🤭
Aditya hp/ bunda Lia
istrimu mamah mu yang culik Ardan ...
Lydia
Lanjut Author. Terima Kasih.
Azahra Rahma
dalangnya adalah ibumu Ardan,,yg menculik Nadira
Azahra Rahma
tapi aku yakin Ardan tidak pernah berhubungan intim dengan Claudia,,,kalau Claudia dekat² saja sepertinya Ardan tidak menyukainya
Tiara Bella
aku udh takut Nadira diculik sm Claudia twnya sm mamer.....lega nya....sabar Ardan....et dah
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!