NovelToon NovelToon
Rahim Yang Tergadai

Rahim Yang Tergadai

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Konflik etika / Beda Usia / Romansa / Anak Yang Berpenyakit
Popularitas:473.6k
Nilai: 5
Nama Author: kenz....567

"Hanya memberinya seorang bayi, aku dapat 200 juta?"

***

Demi menyelamatkan nyawa putrinya yang mengidap penyakit jantung bawaan—Arexa Lyn Seraphine—terpaksa mencari pinjaman uang sebesar 200 juta dan ia hanya punya waktu semalam.

Tak ada pilihan lain, semesta mempertemukannya dengan Raffandra Mahendra, CEO dingin yang dikenal kejam dalam urusan bisnis. Arexa memberanikan diri mengajukan permohonan yang mustahil pada pria itu.

"200 juta? Jumlah yang sangat besar untuk kamu pinjam. Apa yang bisa kamu gadaikan sebagai jaminan?"

"Rahim saya, Tuan."

Tuntutan sang Mama yang memintanya untuk segera menikah dan juga rumor panas yang mengatakan dirinya bukan pria normal membuat Raffa akhirnya menyetujuinya dengan sebuah syarat.

"Bahkan uang ini akan menjadi milikmu, jika dalam waktu 6 bulan kamu berhasil mengandung anakku." ~Raffa

Apa yang akan terjadi dalam waktu 6 bulan itu? Di tambah rahasia Arexa yang terkuak membuat hubungan keduanya semakin rumit.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kenz....567, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ketakutan Arexa

Arexa terkejut saat Raffa berbalik dan memandangnya dengan tatapan tajam. Tubuhnya gemetar, membuatnya melangkah mundur. Pria di hadapannya terus mendekat, menatapnya dengan tatapan menvsuk. Aura di sekitarnya terasa mencekam dan dingin.

“Tu-tuan, a-alat itu sangat menyeramkan. Sa-saya juga takut dengan ja-jarum suntik. Ba-bagaimana kalau ... cara alami saja?” ucapnya dengan suara terbata-bata, mencoba tetap tenang walau dadanya terasa sesak.

Raffa tiba-tiba meraih tangan Arexa dan menahannya ke tempat tidur. Belum sempat Arexa memproses keterkejutannya, pria itu sudah menindih tubuhnya. Wajah mereka kini hanya berjarak beberapa senti. Napas mereka terasa satu sama lain, dan tubuh Arexa semakin gemetar ketakutan.

“Hei ... kenapa takut, hm? Bukankah kamu sendiri yang ingin memberiku anak dengan cara alami?” bisik Raffa dengan nada dingin dan tatapan menvsuk. “Baru saya mendekat saja kamu sudah menggigil. Belum juga saya menyentuhmu.”

D4da Arexa terasa semakin sesak. Seolah oksigen pun menolak masuk ke paru-parunya. Raffa tak memedulikan kegelisahannya, malah mendekatkan wajahnya ke telinga Arexa hingga membuat wanita itu menjerit lirih ketakutan.

“Malam ini ... atau—”

Tangan Raffa mulai menyentuh perut Arexa. Detik berikutnya, keadaan pun kacau.

“TUAN!!” jerit Arexa lantang, disertai dorongan kuat yang berhasil membuat Raffa terjungkal jatuh dari tempat tidur. Ia terduduk di lantai, menatap wanita itu yang kini berdiri dengan air mata mengalir di pipinya.

“SAYA BERSEDIA UNTUK HAMIL ANAK ANDA! TAPI ITU BUKAN BERARTI ANDA BERHAK MEMPERK0SA SAYA!” teriaknya keras, lalu berlari pergi meninggalkan Raffa yang masih terpaku dengan mulut terbuka dan hati dihantam kata-kata itu.

“Memper ... k0sa?” gumamnya linglung. Ia mencoba berdiri, namun b0k0ngnya terasa sakit akibat terjatuh. Pikiran di kepalanya berkecamuk.

“Dia sendiri yang minta cara alami. Sekarang aku dekati malah dibilang memperk0sa? Atau ... jangan-jangan dia nggak paham maksudnya hamil dengan cara alami?” gumamnya lagi, mencoba memahami. “Aneh, dia sudah punya anak. Harusnya aku yang belajar dari dia.” Gerutunya kesal.

Sementara itu, Arexa mengunci pintu kamarnya dan tubuhnya meluruh ke lantai. Tubuhnya masih gemetar. Ia memeluk dirinya sendiri, mencoba meredam rasa takut yang terus mengendap dalam pikirannya.

“Bunda?”

Suara lembut itu datang dari Meira yang baru bangun. Anak itu segera turun dari ranjang dan menghampiri Arexa yang tengah menahan isak. Dengan pelan, Meira duduk di sebelah bundanya dan menggenggam tangannya. “Bunda ... talik napaaaas ...,”

Arexa mencoba mengikuti perintah anaknya.

“Jangan lupa di buaaang ... kalau nda, nanti belhenti celamanya ...,” ucap Meira polos, membuat Arexa tersenyum lirih dan kembali menuruti petunjuk anaknya.

Setelah dirinya sedikit tenang, Arexa menatap wajah Meira yang bulat sempurna. Ia mengelus pipi putrinya dengan lembut.

“Maaf, Bunda bangunin Mei, ya?”

“Iya,” jawab Meira jujur, dengan tatapan polos. “Kata Bunda nda boleh bohong, jadi olang. Mei bangun kalna cuala belcedih Bunda. Kenapa? Kan kita nda cucah lagi loh. Kenapa Bunda belcedih? Lindu Bu Lomlah yah?”

Arexa terkekeh pelan. “Enggak, bukan itu. Sudahlah, ayo tidur.”

Ia mengajak Meira kembali ke atas ranjang. Keduanya berbaring berdampingan. Arexa dengan lembut memeriksa bekas jahitan di d4da anaknya. Luka itu perlahan mulai mengering.

“Mei, kalau ngerasain sesak atau sakit di d4da, bilang Bunda ya.”

“Iya ... Mei cecak kalau nda makan. Cudah, ayo tidul Bunda bial bica calapan pagi ...,” mata Meira mulai terpejam, dan tak lama suara dengkuran halus terdengar.

Arexa tersenyum, melihat Meira tidur dengan lelap. Anak itu bahkan rela bangun demi menenangkannya. Padahal matanya sudah sangat mengantuk.

“Mei ... Bunda sayang sekali sama Mei,” bisiknya. Entah Meira mendengar atau tidak, anak itu tersenyum dalam tidurnya.

.

.

.

Pagi-pagi sekali, Meira terbangun. Ia turun dari ranjang, mencuci wajah di kamar mandi, lalu berjalan mengendap-endap agar tidak membangunkan Arexa yang masih terlelap.

“Woaaah, pandangan peltama awal aku beljumpaaa!” Meira bersenandung riang ketika menc1um aroma masakan yang sangat menggugah selera. Ia pun berjalan mengikuti bau tersebut.

“Ceolah-olah hanyaaa, impian yang belaluuu ... biacanya cetiap pagi nongklong di walung Bu Lomlah, cekalang Mei halus nongkloooong di dapuuuul. Makanan, Mama datang cayaaaang!”

Anak itu berlari kecil menuju dapur dengan semangat yang meluap. Tapi langkahnya terhenti saat melihat siapa yang memasak. Tidak ada satu pun pelayan. Hanya Raffa, yang tengah memasak dengan tenang.

“Eeeh, kenapa nda ada Bibi? Kenapa Om Baik yang macak?” gumamnya.

Raffa menoleh saat merasa diperhatikan. Ia melihat Meira memiringkan kepala, menatapnya dengan penasaran.

“Sudah bangun? Maaf, Om baru menyiapkan sarapan,” ucap Raffa ramah.

Meira mendekat dan menatap pria itu dengan serius. “Om bica macaaaak?”

“Tentu bisa. Memangnya kenapa?”

Meira menoleh ke arah dapur. “Enak nda? Pelacaan Mei nda enak.”

Raffa tertawa kecil. “Kamu seperti ponakan Om, selalu meragukan pria. Duduklah di meja makan, Om bawakan makanannya.”

Meira mengangguk semangat dan berlari menuju meja makan. Ia duduk manis, menunggu. Tak lama, Raffa datang dengan dua piring nasi goreng.

“Makanlah,” ucapnya sambil meletakkan piring di depan Meira.

“Om nda makan? Kok pilingnya dua? Uang Om nda ada lagi yah? Mei banyak kali makannya yah? Kalau gitu, bagi dua cama Mei nda papa.” Meira mengoceh panjang, khawatir pria itu tak dapat bagian karena dirinya.

Raffa menggeleng. “Om nggak biasa sarapan berat. Para pelayan libur hari Minggu, jadi Om masak untukmu dan Bunda.”

Meira menarik piringnya. “Kalau nda mau ya cudah. Mei nda makca. Makca olang itu nda boleh, iya kan? Baik hati kali loh Mei ini, nda pelnah makca olang. Kalau olang nda mau, ya nda boleh makca.”

Raffa terkekeh. Sontak ia teringat ponakan kembarannya yang usianya mungkin setara dengan Meira. Bedanya, Meira sangat kurus. Sementara ponakan kembarnya ... gembul sekali.

“Om, cemalam Bunda nangis tahu nda? Belcedih lagi Bunda cemalam.”

Raffa langsung mengernyit. “Oh ya? Memangnya kenapa Bunda menangis?”

Meira menyuap nasi gorengnya dulu sebelum menjawab, membuat Raffa sedikit cemas menanti jawabannya.

“Nda tahu ... Tapi Bunda celalu nangis. Bica sehaliaaan... dali matahali bangun campe matahali tidul. Kaciaaan ... Om, kenapa nda adopci Bunda Mei aja?”

Raffa hampir tersedak lud4hnya sendiri. “Adopsi?! Mei, begini ... Om dan Bunda sudah menikah. Itu artinya, Om jadi Ayah Meira juga.”

Tang!

Meira langsung menjatuhkan sendoknya. Matanya melebar sempurna. “JADIII ... OM ITU BANG JONO?!” teriaknya keras.

“Jono?” Raffa mel0ng0.

Meira mengangguk. “Kenapa nda pulang-pulaaaang, kacoan Bunda ngulus Mei cendiliaaaan! Bunda campe kelja cehaliaaan!"

Raffa meringis. “Salah sasaran nggak sih," gumamnya.

“Belalti ... Mei udah punya Ayah lagi yah?!” seru Meira dengan semangat menggebu.

Sorot mata Meira yang penuh rindu, senyumnya yang ceria, raut wajahnya yang polos namun sarat luka, membuat Raffa terdiam. Hatinya bergetar melihat anak sekecil itu bisa menyembunyikan duka begitu dalam.

Sudut bibirnya tertarik. “Yah ... Kamu bisa panggil Om ... Ayah, Papa, Daddy atau panggilan apa pun yang kamu suka.”

Mata Meira berbinar. Ia langsung turun dari kursinya dan memeluk tubuh Raffa erat-erat. Raffa sempat terkejut, tapi kemudian membalas pelukan itu dengan tulus.

“Ayah ... ” lirih Meira. Matanya berkaca-kaca, tapi cepat-cepat ia usap air mata yang mengalir. Pelukannya hangat ... seperti pelukan yang sudah lama ia rindukan.

Pandangan Raffa jatuh pada Arexa yang berdiri di ambang pintu. Wanita itu tertegun, melihat apa yang terjadi. Meira berbalik dan menatap ibunya.

“Bundaaa! Om Baik ini Ayah Mei yah? Mei jadi punya Ayah! Mei punya Ayah!” serunya dengan semangat.

Arexa tersenyum, matanya beralih ke arah Raffa yang kini salah tingkah. Melihat anaknya yang bahagia, Arexa ikut merasa damai ... meski bayang-bayang malam tadi masih tersisa di hatinya.

“Duduklah, saya memasakkan nasi goreng untukmu,” ujar Raffa.

Meira menarik sang bunda untuk duduk di sebelahnya. Raffa menyajikan sepiring nasi goreng di hadapan Arexa. Wanita itu tampak bingung. Hanya ia dan Meira yang makan, sementara Raffa tidak. Ingin bertanya, tapi bibirnya terasa getir untuk membuka suara.

"Saya minta maaf soal semalam. Saya tidak tahu, jika hal itu membuatmu takut. Kita lanjutkan proses bayi tabungnya saja."

"Tidak mau!" Tolak Arexa yang mana membuat Raffa menatapnya dengan tatapan frustasi.

Raffa mengacak-ngacak rambutnya kesal, "Bayi tabung tidak mau, cara alami pun tidak mau. Kamu mau membuat bayi dengan apa? Adonan tepung?!"

"Bukan begitu ...,"

"Beli lah, beli lah adonannya. Kalau ada, saya bayar berapapun harganya. Saya cukup setres meladeni wanita sepertimu." Raffa beranjak pergi, meninggalkan Arexa yang menghela nafas pelan.

_________________________________

Lunaaaas yah😆 gak kemaleman kan

1
🍁 Fidh 🍁☘☘☘☘☘
🥰🥰🥰😘😘😘😘😍😍😍
Ais
lanjut thor kenz
𝕸𝖆𝖗𝖞𝖆𝖒🌹🌹💐💐
pasti nerawang😂
@E𝆯⃟🚀BuNdAιиɑ͜͡✦⍣⃝కꫝ🎸🇵🇸
Tania, saranku.. abaikan ferdi, pergilah ke Bali. kamu bakal ketemu anak & menantumu disana.
Bundanya Pandu Pharamadina
Arexa yg penuh misteri, dan nunggu kebucinan Raffa
Cindy
lanjut kak
≛⃝⃕|ℙ$°Siti Hindun§𝆺𝅥⃝©☆⃝𝗧ꋬꋊ
RATUSAAANNN 🏃🏻‍♀️🏃🏻‍♀️🏃🏻‍♀️🏃🏻‍♀️
≛⃝⃕|ℙ$°Siti Hindun§𝆺𝅥⃝©☆⃝𝗧ꋬꋊ
ish si Papa, kayak gak pernah muda aja. maklum Pa, pengantin baru lagi kejar target🤣🤣🤣
Miu Miu 🍄🐰
mau banyak" lagi KK Thor biar tidur lebih nyenyak nanti MLM GK nungguin up mu /Facepalm/
@pry😛
s7🤣🤣🤣🤣🤣🤣
@pry😛
iiiiiddddiiihhh
nyaks 💜
🤦‍♀️🤦‍♀️🤦‍♀️🤦‍♀️🤣🤣🤣🤣
Eni Istiarsi
Ya ampun Papa Ferdi.. kayak nggak pernah muda aja 😄
Rani Hermione
kmu kok kepo banget sih terong ngintip orang lgi seneng",, untung bukan Meira yg ngintip, klo Meira kasian sekali kamu nak matamu ternoda🤭
Khair.on.il09
Like like like
Irma Juniarti
banyak banyak thour 😁😁✌️
Irma Juniarti
sabar ya papa Ferdi.
🍒⃞⃟🦅25122022👻 ⃝᭄̈́̈́
kenapa kenapa
Irma Juniarti
🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣nda mau ya, teloongg mau intip yg lagi mesraan😂😂😂😂😂
Irma Juniarti
teloongg nanti bintitan loh🤣🤣🤣🤣🤣
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!