Dua abad lalu, Seraphyne membuat satu permintaan pada Batu Api yaitu menyelamatkan orang yang ia cintai. Permintaan itu dikabulkan dengan bayaran tak terduga—keabadian yang terikat pada kutukan dan darah.
Kini, Seraphyne hidup di balik kabut pegunungan, tersembunyi dari dunia yang terus berubah. Ia menyaksikan kerajaan runtuh, kekasih yang tak lagi mengenalnya, dan sejarah yang melupakannya. Batu itu masih bersinar merah dalam genggamannya, membisikkan harapan kepada siapa pun yang cukup putus asa untuk mencarinya.
Kerajaan-kerajaan jatuh demi kekuatan Batu Api. Para bangsawan memohon, mencuri, membunuh demi satu keinginan.
Namun tak satu pun dari mereka siap membayar harga sebenarnya. Seraphyne tak ingin menjadi dewi. Tapi dunia telah menjadikannya iblis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Iasna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4: Meja Batu
Di sebuah ruang bawah tanah kuno yang hanya bisa diakses oleh para penjaga batu, enam sosok berjubah telah hadir. Cahaya redup dari batu-batu mereka menyala samar, mewarnai dinding dengan warna-warna menyala—ungu, biru kehijauan, emas, abu-abu perak, hitam kelam, dan merah api.
Mereka duduk mengelilingi Meja Batu, lingkaran besar dari obsidian tua, tertanam simbol kuno yang hanya bisa dibaca oleh pewaris kekuatan. Udara di sana berat, bukan karena suhu—tapi karena ketegangan yang membekukan waktu.
Tairen, pemilik Batu Angin, membuka pertemuan. Suaranya dingin namun tegas. “Keseimbangan mulai goyah. Badai muncul di tempat yang seharusnya damai. Aliran energi dari timur menyimpang.”
Veyron, pemilik Batu Air, mengangguk. “Di laut utara, pasang surut kacau. Perahu-perahu karam tanpa sebab. Batu menunjukkan ada yang menarik arus secara paksa.”
Tharos, penjaga Batu Tanah, mengetuk jari di atas meja. “Ada yang menyalahgunakan kekuatan. Salah satu dari kita mengganggu garis takdir.”
Mereka menoleh pada sosok berjubah merah yang tenang di ujung meja—Seraphyne. Wanita itu tidak menggunakan penutup mata kali ini sehingga warna merah api menyala di kedua matanya.
“Apakah ini karena batu api?” desis Caer, pemilik Batu Kegelapan. “Kau mengabulkan terlalu banyak permintaan, Seraphyne. Bahkan saat tak seharusnya. Kau membawa kembali kehidupan yang telah hilang, kau membakar takdir yang mestinya padam.”
Seraphyne mengangkat wajahnya. Matanya tak gentar, tapi juga tak membela diri.
“Batu memilih pemiliknya. Jika seseorang datang memohon dengan nyawa sebagai gantinya, kenapa aku harus menolak?”
“Karena itulah dunia mulai retak,” potong Lumira, pemilik Batu Cahaya. “Terlalu banyak yang kau izinkan untuk hidup. Harus ada yang mati. Harus ada yang hilang. Itulah keseimbangan.”
Tairen melipat tangannya. “Ini bukan soal belas kasihan. Ini soal aturan kuno. Kau tahu itu, Seraphyne.”
Diam sejenak menguasai ruangan.
Seraphyne menarik napas pelan. “Kalau begitu, tunjukkan bukti bahwa akulah yang menyimpang. Keseimbangan tidak goyah hanya karena api menari. Mungkin... ada kekuatan ketujuh yang kalian abaikan.”
Semua menegang. Satu kata yang tak ingin mereka bahas kini menggema di Meja Batu:
Batu Ketujuh.
Yang keberadaannya dirahasiakan. Yang pemiliknya... belum dikenal siapa pun.
Suasana di Meja Batu membeku saat kata 'Batu Ketujuh' diucapkan. Tak seorang pun bergerak. Bahkan napas terasa berat, seperti ada kekuatan tak terlihat yang menekan dada mereka.
“Batu... apa yang kau maksud?” tanya Veyron, suaranya gemetar.
Seraphyne tidak menjawab. Justru Lumira, pemilik Batu Cahaya, yang pertama kali bicara. “Kau tahu itu bukan hanya mitos, bukan, Seraphyne?”
“Mitos... atau sengaja disembunyikan?” gumam Seraphyne, matanya menatap kosong pada permukaan Meja Batu.
Caer, si pemilik Batu Kegelapan, akhirnya tertawa pelan. “Ah... akhirnya kita mengucapkannya. Batu Ketujuh—Batu Kehendak. Batu yang tidak dikendalikan oleh alam, tapi oleh niat. Batu yang tidak memilih pemilik, tapi diciptakan oleh keinginan itu sendiri.”
Tairen terlihat gelisah. “Itu berbahaya. Batu seperti itu akan membuat seseorang menjadi pusat dunia. Tidak ada lagi harga yang setara untuk setiap permintaan.”
“Dan tidak ada batasan bagi kehendak manusia,” bisik Tharos. “Kita pernah kehilangan satu dunia karena itu. Seraphyne... apakah kau pikir seseorang memilikinya sekarang?”
Seraphyne tidak menjawab langsung, tetapi matanya menunjukkan ketakutan samar.
“Aku tidak tahu,” katanya akhirnya. “Tapi sejak tanda-tanda ini muncul—pergeseran cuaca, kelahiran anak-anak dengan penglihatan, keinginan yang terkabul tanpa jejak batu... aku mulai mencurigainya.”
Veyron memejamkan mata, wajahnya murung. “Jika itu benar... maka ini lebih dari sekadar ketidakseimbangan. Ini adalah ancaman untuk kita.”
“Dan akan membuat semua batu lain tak berarti,” tambah Caer.
“Siapa yang mungkin menginginkannya?” tanya Lumira. “Siapa yang bisa memiliki kehendak yang cukup kuat untuk menciptakan Batu itu?”
Ruangan hening.
Semua tahu, hanya satu jenis manusia yang bisa menginginkan kuasa melebihi takdir—
Seseorang yang kehilangan segalanya.
Dan saat itu, untuk pertama kalinya, semua mata terarah pada Seraphyne.
Bukan karena mereka yakin dia pelakunya,
tapi karena tak ada yang tahu seberapa besar luka dalam yang dia pendam.
"Jika aku yang memiliki batu kehendak, aku tidak akan mungkin berada di sini. Kalian tidak perlu menuduhku." ucap Seraphyne sambil berdiri. "Sepertinya pembahasan kita selalu seperti ini. 6 elemen batu yang katanya saling mengimbangi tapi pada kenyataannya saling menuduh. Aku tidak akan datang lagi ke pertemuan, sampaikan kepada dia." lanjutnya, kemudian dia langsung menghilang dari sana.
Sepeninggal Seraphyne, ke 5 pemilik batu saling pandang sama lain. Memang ketika pertemuan mereka selalu menuduh Seraphyne yang merusak segalanya. Tapi sekarang mereka semakin curiga jika Seraphyne memiliki batu ketujuh—batu kehendak.
"Apa sudah selesai?" Ramord yang berdiri di depan gerbang Thalos terkejut saat mendapati Seraphyne muncul di sampingnya.
"Aku tidak akan datang lagi ke pertemuan elemen batu."
Ramord tidak lagi bertanya. Dia melihat api kemarahan di sekeliling Seraphyne menandakan bahwa pertemuan itu kembali memojokkannya.
"Apa ada tempat yang harus aku bakar hari ini?"
Ramord meneguk salivanya. "Hari ini adalah hari kematian Derhan, orang yang meminta kehidupan bergelimang harta sampai ia berusia 60 tahun."
Seraphyne tersenyum sinis. "Aku akan memberikan kematian tragis untuknya."
Di desa kecil bernama Virelle, tak jauh dari perbatasan utara, hari itu cerah. Terlalu cerah untuk seseorang yang akan mati.
Pria itu bernama Derhan, dulunya pengrajin biasa. Dua puluh tahun lalu, ia datang kepada Seraphyne dan berlutut di bawah gerimis permohonan.
"Aku ingin hidup kaya raya, dihormati. Tapi jangan selamanya. Sampai umurku enam puluh saja," katanya.
Seraphyne mengingatnya. Tatapan mata pria itu penuh keserakahan, namun ia mengangguk. Batu Api menyala dan permohonan dikabulkan. Dan kini… usia Derhan genap enam puluh tahun.
Derhan sudah menunggu di rumahnya yang megah, dikelilingi emas dan pelayan. Tapi wajahnya pucat, tangannya gemetar. Ketika ia melihat Seraphyne berdiri di hadapannya dengan jubah merah darah dan matanya yang tertutup kain merah—ia langsung berlutut.
"Aku… aku belum siap. Tolong… beri aku sepuluh tahun lagi… tidak! Dua puluh! Aku punya cucu! Aku…"
Suaranya pecah, kata-kata menjadi gumaman putus asa. Seraphyne hanya berdiri diam.
"Sungguh manusia yang serakah." kekehan kecil terdengar setelah itu.
"Aku tahu aturannya," katanya pelan. "Satu permintaan. Harga yang setara. Dan kau... sudah diberi waktu dua dekade penuh untuk menikmati apa yang tak seharusnya menjadi milikmu."
"Aku mohon Seraphyne, beri aku waktu sampai cucuku dewasa. Tidak, tolong sampai cucuku menikah!"
Seraphyne berjalan mendekati Derhan. "Lalu setelah itu apa? Sampai cucumu punya anak, atau sampai anak cucumu menikah?"
Derhan memeluk lutut Seraphyne. "Kau bisa mengubahnya Seraphyne! Kau dewi, kau bisa memberiku kehidupan yang panjang!"
"Dewi?" Seraphyne tertawa tapi terdengar sangat mengerikan seolah siap mencabik-cabik orang yang berlutut di kakinya. "Orang-orang sepertimu telah menjadikanku sebagai iblis!"
Batu Api di tangannya menyala menyilaukan. Nyala merah membentuk lingkaran api di sekeliling mereka, memisahkan dunia luar.
“Kalau kau ingin hidup lebih panjang, maka biarlah kau tahu seperti apa panjangnya penderitaan.”
Api melahap Derhan bukan dalam sekejap, tapi lambat. Api itu membakar kenangan, membakar kekayaan, membakar setiap keserakahan yang pernah ia nikmati. Derhan menjerit, suaranya menembus angin, tapi desa itu sunyi.
Saat api padam, hanya arang yang tersisa. Dan Seraphyne pun pergi tanpa menoleh.