Aku adalah seorang gadis desa yang dijodohkan oleh orang tuaku dengan seorang duda dari sebuah kota. dia mempunyai seorang anak perempuan yang memasuki usia 5 tahun. dia seorang laki-laki yang bahkan aku tidak tahu apa isi di hatinya. aku tidak mencintainya dia pun begitu. awal menikah rumah tangga kami sangat dingin, kami tinggal satu atap tapi hidup seperti orang asing dia yang hanya sibuk dengan pekerjaannya dan aku sibuk dengan berusaha untuk menjadi istri dan ibu yang baik untuk anak perempuannya. akan tetapi semua itu perlahan berubah ketika aku mulai mencintainya, namun pertanyaannya apakah dia juga mencintaiku. atau aku hanya jatuh cinta sendirian, ketika sahabat masa lalu suamiku hadir dengan alasan ingin bertemu anak sambungku, ternyata itu hanya alasan saja untuk mendekati suamiku.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amelia greyson, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
5
Hari demi hari kini berlalu dengan cepat, kini hubungan ku dan anak sambungku Maira semakin membaik. Maira yang dulu tampak tidak suka akan kehadiranku kini mulai membuka sedikit demi sedikit hatinya. Meskipun kami baru memulai langkah yang amat sangat kecil, aku bahagia sekali karna aku merasakan sudah adanya perubahan dalam cara dia melihatku. Sejak hari itu, aku memutuskan untuk melanjutkan percakapan yang sudah lama aku pikirkan—tentang sekolah.
Sejak kami memulai percakapan singkat itu di bawah pohon beberapa hari lalu, aku tahu jadi mengetahui bahwa Maira sangat ingin bersekolah. Meski dia masih sangat muda baru lima tahun aku merasa penting untuk memberinya kesempatan itu, agar dia bisa bermain dan belajar dengan teman-temanya, aku yakin dia pasti ingin memiliki teman yang seumuran dengannya, karna selama ini dia tidak pernah bermain keluar dari rumahnya kecuali keluar bersama papanya.
Pagi itu, setelah sarapan, aku mendekati mas Arif di ruang kerjanya. "Mas Arif, aku pikir sudah saatnya Maira mulai bersekolah. Aku sudah mencari informasi tentang sekolah TK terdekat."
Mas Arif menatapku dengan serius. " Aku juga ingin menyampaikan hal itu kepada Maira, tetapi apakah sekolah yang kamu cari sudah bagus untuk Maira ?" Tanya mas Arif dengan serius kepadaku.
Aku mengangguk dengan penuh keyakinan. "Mas Maira itu mungkin terlihat sangat pendiam, tapi aku yakin dia membutuhkan teman sebayanya. Aku juga melihat dia semakin tertarik untuk belajar dan berinteraksi lebih banyak dengan orang lain. Ini mungkin saat yang tepat untuknya."
Arif terdiam sejenak, memikirkan kata-kataku. "Kalau begitu, kita bisa coba. Tapi aku ingin memastikan sekolah itu cocok untuk Maira."
Setelah percakapan itu, aku segera menghubungi sekolah yang aku rasa terbaik untuk Maira. Mereka menyambut kami dengan hangat, bahkan menawarkan jadwal untuk mengunjungi sekolah dan bertemu dengan pengajar. Hari berikutnya, aku mengajak Maira untuk melihat sekolah tersebut.
"Maira, tante ingin mengajak Maira ke suatu tempat !" Aku sangat bersemangat untuk kembawannya, berharap bisa membuat Maira tertarik.
Maira mengangkat kepalanya dan menatapku, tampak sedikit penasaran. "Tempat apa, Tante?"
"Tempat yang bisa bikin Maira punya banyak teman baru. Kita akan lihat sekolah!"
Maira tersenyum lebar, sepertinya sedikit bersemangat, meskipun masih ada keraguan di matanya. "Aku takut kalau nanti nggak ada yang mau main sama aku."
Aku merangkulnya pelan. "Jangan khawatir, sayang. Tante yakin banyak yang akan suka sama Maira. Semua teman baru akan senang kalau bisa bermain dengan Maira."
Kami berangkat menuju sekolah, dan Maira tampak semakin tertarik melihat lingkungan sekitar. Di sekolah, kami bertemu dengan guru dan melihat ruangan kelas yang cerah, penuh dengan mainan dan buku-buku. Maira langsung tertarik dengan banyak hal—dari boneka, hingga meja dan kursi yang tampaknya sangat nyaman untuk bermain.
"Sini, Maira, Tante akan tunjukkan tempat-tempat seru!" kataku dengan penuh semangat. Maira mulai terlihat lebih nyaman, meskipun ada sedikit keraguan di matanya.
Aku dan Maira berjalan memutari area sekolah tersebut, berharap Maira akan senang dengan hal yang aku lakukan ini untuk nya, sepeti yang aku bayangkan benar saja Maira sangat senang sekali setelah aku ajak memutari area sekolah tersebut.
Setelah itu aku mengajak maira untuk bertemu dengan guru kelas, para guru yang lain nya juga mereka memperkenalkan diri dengan ramah dan menjelaskan tentang berbagai kegiatan yang akan dilakukan oleh anak-anak di sekolah. Aku bisa melihat betapa Maira mulai tertarik dengan suasana baru ini.
"Sekolah ini kelihatannya menyenangkan, kan, Maira?" tanyaku sambil tersenyum.
Maira mengangguk kecil, meski belum sepenuhnya yakin. "Iya, Tante. Tapi aku tetap takut kalau nggak ada teman."
Aku membungkuk sedikit dan menggenggam tangannya. "Teman-teman akan datang seiring waktu, Maira. Kamu nggak sendirian di sini."
Setelah berkeliling dan berbicara dengan beberapa orang tua lainnya yang sedang mendaftar anak-anak mereka, kami memutuskan untuk melanjutkan proses pendaftaran. Maira akhirnya mulai merasa lebih nyaman, dan senyum lebar muncul di wajahnya saat kami keluar dari sekolah.
"Terima kasih, Tante, aku mau coba sekolah," katanya, sambil memegang tanganku erat.
Hatiku penuh dengan kebahagiaan mendengar kata-kata itu. Aku tahu ini adalah langkah penting dalam hidup Maira—sebuah awal baru untuknya. Meskipun masih banyak ketakutan dan keraguan dalam dirinya, aku percaya, dengan waktu dan dukungan yang tepat, dia akan belajar untuk membuka hati dan menjalin hubungan dengan teman-temannya.
" Tante, maira menyayangi tante apakah tante mau jadi ibu buat Maira ? "
*************************************
Tak ada apapun yang berubah secara kasat mata. Rumah ini masih rumah yang sama, dari awal aku melangkahkan kaki kedalamnya, dindingnya masih dingin, langkah Mas Arif yang masih diam, dan aku masih merenungkan sendiri bagaimana nasibku untuk ke depannya, apakah aku akan bahagia bersama mas Arif, atau akan menjadi mantan istrinya di masa yang akan datang.
Dulu, aku merasa sendirian di tengah rumah ini. Kini, aku merasa penuh oleh rasa yang bahkan tak pernah ku duga , cinta. Ya aku mencintai Mas Arif. Bahkan aku sudah menyukai mas Arif sebelum aku bisa mengambil hatinya maira.
Cinta yang datang tanpa rencana, yang tidak pernah aku rencanakan sama sekali. Cinta yang terlahir dari tatapan sesaat, dari pandangan nya yang dingin ketika melihatku.
Aku mencintainya. Sangat sangat mencintainya
Tak ada kalimat yang dapat aku sampaikan selain dari itu
Aku mencintainya dalam diam. Dalam jeda-jeda waktu ketika dia berjalan melewatiku. Dalam caranya tidak pernah benar-benar dekat, tapi juga tak pernah benar-benar pergi. Cintaku tidak mengharapkan balasan, tidak juga mendesak untuk diucapkan. Tapi keberadaannya begitu nyata hingga kadang membuatku sesak sendiri.
Aku mencintainya ketika melihatnya lelah sepulang kerja, dengan dasi yang sedikit miring dan mata yang menyimpan beban. Aku ingin menghapus lelahnya, walaupun dia belum mengizinkanku masuk sejauh itu. Tapi aku tetap berdiri di pintu, menunggu kapan waktunya dia membukakan jalan.
Aku tidak tahu apakah perasaanku ini akan sampai padanya. Tapi aku tahu satu hal: mencintainya tidak membuatku lemah. Justru aku merasa lebih hidup. Lebih berani. Karena kini aku tahu, yang kurawat bukan sekadar pernikahan tanpa rasa—tapi benih yang diam-diam kutumbuhkan dengan sendirinya yang berasal dari harapan-harapanku.
Dan malam itu, saat kulihat mas Arif duduk di ruang kerja sambil memandangi foto mantan istrinya, dadaku terasa sesak sekali melihat itu, tetapi apa yang bisa aku lakukan, mungkin benar bahwa mas Arif tidak bisa melupakan masa lalunya itu.
Sampai saat ini aku tidak mengetahui sedikit pun cerita tentang mereka menagapa mereka bisa berpisah dan meninggalkan satu orang putri yang sangat cantik bernama Maira ini. Lama kU perhatikan dia memandangi foto mantan istrinya tetapi dia tidak menunjukkan reaksi apapun saat melihat foto itu, semakin lama aku melihatnya maka semakin sakit pula rasanya didalam dadaku.
Aku hanya menatapnya dari kejauhan. Tapi hatiku berbisik, lirih dan tulus.
"Aku mencintaimu… dan jika kamu belum siap mendengarnya sekarang, tak apa. Karena aku akan tetap mencintaimu, meski dalam diam."