Menikah sekali seumur hidup hingga sesurga menjadi impian untuk setiap orang. Tapi karena berawal dari perjodohan, semua itu hanya sebatas impian bagi Maryam.
Di hari pertama pernikahannya, Maryam dan Ibrahim telah sepakat untuk menjalani pernikahan ini selama setahun. Bukan tanpa alasan Maryam mengajukan hal itu, dia sadar diri jika kehadirannya sebagai istri bagi seorang Ibrahim jauh dari kata dikehendaki.
Maryam dapat melihat ketidaknyamanan yang dialami Ibrahim menikah dengannya. Oleh karena itu, sebelum semuanya lebih jauh, Inayah mengajukan agar mereka bertahan untuk satu tahun ke depan dalam pernikahan itu.
Bagaimana kelanjutan pernikahan mereka selanjutnya?
Ikuti kisah Maryam dan Ibra di novel terbaru "Mantan Terindah".
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lailatus Sakinah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kejujuran Maryam
Maryam membereskan baju-baju yang dibawanya ke Jakarta, ada juga beberapa baju dibelikan oleh mama mertuanya, saat Maryam tiba di Jakarta sehari sebelum lebaran baju-baju itu sudah ada di kamar yang ditempatinya dengan Ibra.
"Assalamu'alaikum Ma, maaf aku tidak bisa terus ada di Jakarta. Alhamdulillah sudah ada Bi Asih. Hari ini aku aku pamit pulang ke Garut. Insya Allah setelah Mama dan Papa kembali ke Jakarta aku akan menemui Mama dan Papa. Salam untuk keluarga di Yogya."
Pesan yang Maryam kirim ke nomor kontak mama mertuanya pagi itu. Cukup lama bercentang abu, sepertinya Mama Amel sedang sibuk di sana.
"Selesai." gumam Maryam setelah memastikan tidak ada satu pun barang miliknya yang tertinggal. Dia tampaknya benar-benar tidak ingin meninggalkan jejak sekecil apapun di rumah mertuanya itu. Bisa jadi hari ini adalah hari terakhir dia berada di kamar itu.
"Bi Asih, terima kasih sudah datang tepat waktu, nitip rumah ya Bi." Maryam menyalami asisten rumah tangga mama mertuanya itu, Bi Asih tampak bengong melihat menantu majikannya yang tampak lain hari ini.
"Iya Neng, sama-sama. Alhamdulillah Bibi sudah kenyang tinggal di kampungnya, justru kangen kembali ke rumah ini. Tapi sayang Neng nya malah mau pergi."
"Iya Bi, kebetulan saya belum silaturahmi secara langsung ke keluarga di Garut, udah kelamaan lebarannya kelewat."
"Iya Neng, kalau begitu hati-hati di jalan ya Neng."
"Iya Bi, terima kasih. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Maryam mantap melangkahkan kaki keluar dari rumah mertuanya. Di depan, mobil online pesanannya sudah menunggu.
"Assalamu'alaikum. Akang, akhirnya waktunya tiba. Aku pamit pulang, aku tunggu kamu tepat di tanggal sepuluh Syawal, kita selesaikan semuanya. Sekarang aku pamit. Terima kasih untuk semuanya."
Klik ... Pesan yang Maryam tulis untuk Ibra telah terkirim, sampai perjalanan menuju stasiun pasar senin usai, pesannya masih bercentang dua berwarna abu.
"Huft." Maryam tidak mau banyak berharap, dia juga tidak mau pikirannya terkontaminasi dengan hal-hal negatif dengan membayangkan apa yang sedang dilakukan suaminya saat ini.
Dua hari lagi usia pernikahannya dengan lelaki asing yang tiba-tiba menjadi suaminya itu tepat satu tahun. Itu artinya ada komitmen tidak tertulis yang harus keduanya jalankan.
Maryam tahu, perceraian adalah perkara halal namun dibenci. Sebagai wanita yang sudah cukup dewasa, dia pun sebenarnya ingin berumah tangga hanya sekali seumur hidup, menjalani ibadah panjang rumah tangga ini dengan saling setia dan saling mengikat janji sehidup sesurga.
Sempat terlintas di pikiran Maryam mempertahankan rumah tangganya, berharap Ibra pun memiliki pemikiran dan niat yang sama.
Namun, kenyataan hari ini tentang Ibra yang berada di rumah sakit menemani Tasya membuat Maryam akhirnya memantapkan hati merealisasikan rencana setahun yang lalu.
Kedatangan Maryam seorang diri ke Garut tentu menimbulkan tanda tanya di pikiran semua anggota keluarganya. Setelah melepas rindu dan saling bermaafan Maryam pun pamit untuk beristirahat.
Dia butuh tambahan energi untuk menjelaskan tentang keadaan rumah tangganya. Setelah cukup istirahat nanti Maryam mantap akan menceritakan semuanya kepada semua anggota keluarganya.
Kumandang adzan Ashar membangunkan Maryam yang terlelap sejak jam satu siang tadi. Dia menoleh ke sekitar kamarnya, tak ada yang berubah, semuanya masih sama seperti dulu, saat dia masih gadis.
Nyala ponsel yang sengaja di silent mengalihkan pandangan Maryam, nyawanya belum benar-benar terkumpul dengan langkah lunglai dia berdiri untuk mengambil ponsel yang diletakkan di atas meja yang ada di kamarnya, meja yang dulu sering dia gunakan untuk belajar.
"Assalamu'alaikum, Maryam. Akhirnya kamu mengangkat teleponku." suara Ibra terdengar panik di seberang sana membuat Maryam mulai memfokuskan diri.
"Wa'alaikumsalam. Ada apa, Kang?" tanya Maryam balik bertanya, dia belum membuka balasan pesan dari suaminya beberapa jam yang lalu karena tertidur dengan lelapnya.
"Kamu dimana sekarang? Aku ke rumah mama kamu gak ada, Bi Asih bilang kamu pulang, pulang kemana? Ini aku lagi perjalanan balik lagi ke Bandung. Kamu di rumah kan?"
"Iya, aku di rumah. Di rumah orang tua ku."
"Kamu di Garut?"
"Iya."
"Kenapa gak bilang kalau mau ke Garut? Kenapa gak tunggu aku?" suara panik Ibra semakin terdengar jelas. Laki-laki itu berbicara dengan tangan yang tapis memegang kemudi.
"Akang lagi di jalan? Bawa mobil?" Maryam khawatir, walau pun hatinya kecewa tetapi dia tidak ingin terjadi apa-apa pada lelaki yang masih berstatus suaminya itu.
"Iya, tunggu aku. Aku akan langsung ke Garut sekarang."
"Iya Kang, hati-hati di jalan, fii amanillah."
"Aamiin."
Percakapan via telepon pun terputus, Maryam menghembuskan nafasnya. Setelah salat Ashar dia akan mengatakan keadaan rumah tangga yang dijalaninya itu sejujurnya kepada kedua orang tuanya.
Abah dan Ambu sudah duduk di karpet yang digelar di ruang keluarga. Di hadapan keduanya Maryam pun sudah bersimpuh dengan kedua tangan saling bertaut. Walau bagaimana pun hal yang akan dilakukannya bukan perkara mudah, kedua kakaknya sukses menjalani rumah tangga karena perjodohan hingga mereka memiliki keturunan.
Maryam bisa membayangkan, betapa Abah dan Ambu kecewa dan mungkin malu ketika memiliki putri seperti dirinya yang gagal dalam berumah tangga hingga berakhir dengan status janda.
Tapi sepahit apapun kenyataan yang nanti terjadi dia harus siap menerimanya. Abah dan Ambu adalah tempatnya pulang, Maryam tak bisa untuk tidak mengungkapkan masalahnya kepada kedua orang tuanya.
"Dek, ..." suara Khadijah, kakak pertama Maryam yang turut hadir di sana, membuyarkan lamunan Maryam.
"Ayo, berceritalah pada kami, jangan ragu. Apapun keadaan kamu, kami akan selalu ada buat kamu."
"I ..ya Teh." tenggorokan Maryam sudah tercekat oleh tangis tertahan. Dia menatap Abah dan Ambu bergantian, keduanya tersenyum memberi kekuatan pada putri sulung mereka.
"Aku dan Kang Ibra tidak baik-baik saja ..."
Maryam pun menceritakan dari awal, bagaimana hingga terucap kesepakatan keduanya perihal satu tahun menjalani rumah tangga hingga bagaimana hubungan yang mereka jalin selama setahun pernikahan ini, semuanya Maryam ceritakan. Dia juga menyampaikan jika kehadiran dirinya di hidup Ibra seolah menjadi penghalang bersatunya dua hari yang sudah saling tertaut sejak lama.
"Aku harap Abah dan Ambu menghargai keputusanku dengan Kang Ibra yang akan berpisah baik-baik. Walaupun pernikahan kami dijodohkan tetapi pertemuan kami dengan cara hang baik maka perpisahan pun kami akan lakukan dengan baik-baik saja. Aku justru mendo'akan kebahagiaan untuk Kang Ibra dan meminta maaf jika kebahagiaan yang seharusnya sudah lama dia dapatkan terhalang karena menikah dengan aku."
"Abah, Ambu, tolong restui Iam dan Kang Ibra berpisah ya. Selanjutkan biarkan kami menjalani hidup masing-masing."
"Aku tahu Abah dan Ambu pasti kecewa karena memiliki putri seperti aku yang tidak bisa mempertahankan rumah tangga dan berakhir menjadi janda, tapi aku harap kali ini Abah dan Ambu bisa menutup mata dan telinga dari pandangan orang lain tentang aku. Aku akan hidup dengan baik setelah ini, jangan khawatir."
Abah menghembuskan nafasnya kasar, beliau menutup wajah dengan kedua tangannya dan tidak lama bahunya bergetar tanda jika beliau tengah menangis.
"Maafkan Iam Abah." Maryam semakin menunjuk, air matanya berjatuhan membasahi pangkuannya, sebagai seorang anak dia merasa telah gagal karena telah membuat Abah dan Ambu nya menangis.
makin nyut2tan hati ini,gmn ibra perasaan mu stlh tau semua yg kau lakukan tak dpt d sembunyikan dr istri,krn perasaan istri itu sangat peka.....
maryam semangat😭💪