Samantha tidak mampu mengingat apa yang terjadi, dia hanya ingat malam itu dia minum segelas anggur, dan dia mulai mengantuk...kantuk yang tidak biasa. Dan saat terbangun dia berada dalam satu ranjang dengan pria yang bahkan tidak ia kenal.
Malam yang kelam itu akhirnya menjadi sebuah petaka untuk Samantha, lelaki asing yang ingin memiliki seutuhnya atas diri Samantha, dan Samantha yang tidak ingin menyerah dengan pernikahannya.
Mampukah Samantha dan Leonard menjadi pasangan abadi? Ataukah hati wanita itu bergeser menyukai pria dari kesalahan kelamnya?
PERINGATAN KONTEN(CONTENT WARNING)
Kisah ini memuat luka, cinta yang kelam, dan batas antar cinta dan kepasrahan. Tidak disarankan untuk pembaca dibawah usia 18 tahun kebawah atau yang rentan terhadap konten tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon wiedha saldi sutrisno, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 9: Terbiasa Dengan Dosa
Nathaniel bersandar di kursi kerjanya, kancing kemeja belum sepenuhnya terpasang kembali, rambutnya sedikit berantakan. Tapi sorot matanya... tenang dan penuh kepuasan.
Ia baru saja menuntaskan sesuatu yang ia rindukan sejak pagi. Sentuhan Samantha. Suaranya yang terengah. Tatapan matanya yang mencoba marah namun penuh keterpaksaan. Tubuh wanita itu, miliknya.
Miliknya.
Ia tidak peduli lagi. Tidak soal etika, tidak soal kantor, tidak soal siapa pun yang mungkin mencurigai.
"Mereka bisa bicara sesukanya, mereka bisa menatap dengan tatapan penuh tuduhan… Tapi mereka tak akan pernah tahu, bahwa wanita itu hanya tunduk padaku," gumamnya sambil memutar cincin peraknya, sebuah kebiasaan yang muncul saat pikirannya penuh dengan gairah yang belum tuntas.
Ia tahu Samantha mencoba mengendalikan situasi. Menjaga jarak. Menolak dominasi. Tapi tubuhnya tak bisa berbohong. Tangan yang menggenggam lengan bajunya, kaki yang mengunci pinggul Nathaniel saat mereka berpadu, semuanya adalah pengakuan tanpa kata.
Nathaniel telah hidup cukup lama dalam dunia penuh topeng dan basa-basi. Ia tahu bagaimana menembus batas-batas itu. Dengan kekuasaan. Dengan kendali. Dengan pemaksaan halus yang bahkan bisa membuat korban ragu apakah mereka benar-benar korban.
Dan Samantha... adalah puzzle paling indah yang pernah ingin ia kuasai.
Dia bisa saja memilih wanita lain. Lebih mudah. Lebih menurut. Tapi tidak. Hanya Samantha yang mampu menantangnya. Dan itu membuatnya tak bisa berpaling. Bukan hanya karena gairah, tapi karena sesuatu yang lebih purba. Lebih dalam.
Samantha adalah celah pada dinding emosinya yang selama ini rapat.
Kini dinding itu mulai retak. Retakan yang ia biarkan tumbuh. Karena di sanalah candunya berasal.
Ia tahu risiko bermain di kantor. Ia tahu Leonard bukan pria bodoh. Ia tahu Evelyn mungkin sedang mencium sesuatu. Tapi siapa peduli?
"Aku adalah Nathaniel Graves."
"Aku membangun segalanya dari puing-puing."
"Dan jika seseorang berpikir bisa mencabut satu-satunya hal yang membuatku merasakan hidup... aku akan menghancurkan mereka tanpa ragu."
Matanya menatap layar ponsel, rekaman pendek dari CCTV kantor yang diam-diam ia akses. Gambar samar Samantha melintas di lorong dengan langkah tergesa, rambut terurai, senyum yang dipaksakan.
"Kau tak bisa sembunyi dariku, Samantha. Karena aku tidak akan pernah berhenti. Sampai kau sadar, bahwa kau diciptakan untukku."
Ia menyandarkan kepala ke belakang, membiarkan bayangan tentang Samantha memenuhi pikirannya. Nafasnya dalam, bibirnya melengkung kecil.
Permainan telah dimulai, dan Nathaniel Graves tidak pernah bermain untuk kalah.
...****************...
Cahaya lembut matahari menembus tirai linen abu-abu, mengguratkan bayangan samar di dinding kamar. Leonard membuka mata perlahan, membiarkan siluet keemasan itu menyambutnya. Tapi bukannya ketenangan, yang ia rasakan justru kekosongan di sisi tempat tidur. Dingin. Sepi.
Ia menoleh.
Samantha berdiri di depan cermin, sudah lengkap dengan setelan kerja warna krem pucat yang membungkus tubuhnya sempurna. Rambutnya disanggul rapi, bibirnya merah muda seperti pagi itu sendiri—tapi ada sesuatu dalam tatapannya yang tidak bisa dijangkau.
"Kau bangun?" katanya lembut sambil tersenyum.
"Sudah kubuatkan sup jamur favoritmu. Di dapur, tinggal dipanaskan."
Leonard hanya memandangi wanita itu tanpa berkata apa-apa. Matanya masih buram oleh kantuk, tapi jauh di dalam sana, ada rasa pahit yang pelan-pelan mencuat.
"Minggu pagi," katanya akhirnya.
"Kau kerja?"
Samantha menoleh cepat, sedikit gugup, tapi senyumnya tetap terjaga.
"Masih ada yang harus diselesaikan. Presentasi untuk investor luar. Nathaniel minta dicek ulang, dan aku juga harus menyusun ulang timeline acara gala perusahaan…"
Leonard duduk, menyibak selimut.
"Kau bisa tolak," gumamnya.
"Atau kau memang lebih memilih kerja daripada... waktu bersamaku?"
Diam.
Tak ada denting sendok, tak ada bisik angin. Hanya ketegangan tipis di antara dua insan yang pernah saling menginginkan tanpa jeda.
Samantha berjalan mendekat, duduk di sisi tempat tidur. Tangannya menyentuh lengan Leonard, tapi lelaki itu menghindar halus.
"Aku hanya... ingin menyelesaikan ini cepat. Supaya kita punya waktu nanti malam, mungkin... kita bisa nonton film?"
Tawaran yang terdengar manis, tapi terasa hambar. Leonard menghela napas, mengalihkan pandangannya.
"Setiap kali aku bangun, kau sudah siap pergi. Tak ada sarapan bersama. Tak ada candaan pagi. Tak ada pelukan malas... bahkan tak ada waktu untuk bercinta."
Suaranya pelan, tapi sarat kekecewaan.
Samantha menunduk. Hatinya mengencang.
Ia tahu lelaki itu berhak marah.
Berhak curiga.
Tapi ia juga tahu, ia tak punya pilihan.
Karena di layar ponselnya tadi malam, satu pesan masuk dari Nathaniel.
"Jangan ingkari janjimu. Minggu ini milikku. Atau semuanya berakhir."
Ia menatap Leonard, lelaki baik yang tak tahu apa-apa, dan hatinya sedikit remuk. Tapi tubuhnya tetap berdiri. Tetap tersenyum. Tetap pergi.
"Aku akan pulang secepatnya," bisiknya.
Lalu pintu tertutup.
Dan Leonard hanya duduk diam, usai memandangi Samantha yang menghilang di balik pintu.
Di luar, burung-burung bernyanyi, tapi di dalam, cinta mereka mulai retak tanpa suara.
...****************...
Langit mulai mendung saat Samantha tiba di apartemen mewah Nathaniel di kawasan pusat kota. Pintu lift terbuka langsung ke unit penthouse, lantai paling atas, dunia yang sunyi dari hiruk pikuk, dunia yang hanya milik mereka berdua.
Nathaniel telah menunggunya.
Tak ada jas kerja atau ekspresi dingin seperti di kantor. Pria itu mengenakan sweater rajut tipis berwarna kelabu dan celana santai. Rambutnya sedikit berantakan, dan aroma kayu manis dari diffuser ruangan membuat suasana terasa intim, nyaris menyesatkan.
Samantha berdiri di ambang pintu, sedikit ragu.
Namun Nathaniel melangkah pelan, matanya mengunci pandangnya seperti seseorang yang baru saja mendapatkan kembali benda yang telah lama ia cari.
"Kau datang..." suaranya berat, dalam, dan penuh ketertarikan yang tidak disembunyikan.
Samantha tak menjawab. Ia hanya melepas mantel, meletakkannya di gantungan, lalu berjalan masuk. Langkahnya tak berisik, tapi jantungnya berdentum, bercampur perasaan bersalah, takut, dan… gairah yang tak ia bisa jelaskan.
Nathaniel menghampirinya.
Jarak mereka hanya sejengkal saat ia berkata pelan, nyaris seperti gumaman.
"Setiap jam minggu ini... aku memikirkanmu. Aku ingin kamu di sini, tanpa harus terburu-buru, tanpa harus memikirkan siapa pun... kecuali aku."
Samantha menelan ludah.
Ia bisa saja memutar balik dan pergi, tapi kakinya tak bergerak.
"Jangan katakan ini salah," bisik Nathaniel lagi, satu tangan menyentuh pipinya, menyusuri garis rahangnya. "Karena kau di sini... artinya kau ingin ini juga."
Dan dengan satu tarikan lembut, Nathaniel membawanya ke dalam pelukannya, mencium bibir Samantha dengan kehausan yang tertahan.
Mereka menghabiskan sore itu dengan tubuh yang saling mengisi, menggantikan ruang-ruang kosong yang tidak pernah berhasil ditambal oleh kata-kata. Di atas ranjang linen putih dengan pemandangan kota yang sunyi, Nathaniel memperlakukan Samantha seperti harta yang tak bisa dilepaskan.
Tangannya menjelajah penuh penguasaan.
Bibirnya membisikkan janji, dan setiap ciumannya seperti perangkap candu.
Tapi yang membuat Samantha terdiam, bukan hanya cara Nathaniel menyentuhnya, tapi cara pria itu menatapnya setelah semua selesai, seolah dia adalah satu-satunya hal yang berarti di dunia ini.
"Aku ingin kau di sisiku, Samantha. Selamanya," bisik Nathaniel di tengah keheningan.
Samantha terdiam.
Dan untuk sesaat... ia tak yakin lagi, siapa sebenarnya yang sedang bermain api.