Setelah tau jika dia bukan putri kandung Varen Andreas, Lea Amara tidak merasa kecewa maupun sedih. Akan tetapi sebaliknya, dia justru bahagia karena dengan begitu tidak ada penghalang untuk dia bisa memilikinya lebih dari sekedar seorang ayah.
Perasaannya mungkin dianggap tak wajar karena mencintai sosok pria yang telah merawatnya dari bayi, dan membesarkan nya dengan segenap kasih sayang. Tapi itu lah kenyataan yang tak bisa dielak. Dia mencintainya tanpa syarat, tanpa mengenal usia, waktu, maupun statusnya sebagai seorang anak.
Mampukah Lea menaklukan hati Varen Andreas yang membeku dan menolak keras cintanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Annami Shavian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MCD 5
Lea menggeleng menolak usulan Varen dengan penuh percaya diri.
"No need, dad. Aku bisa jaga diri tanpa perlu belajar bela diri lagi. Jadi, Daddy tenang saja okey."
Lea merasa sudah cukup bisa menjaga dirinya sendiri dengan kemampuan yang dimiliki. Seperti kemampuan menjambak tante-tante gila saat di restauran tadi, dan mengelabui dua preman dengan akal liciknya. Dia rasa itu sudah lebih dari cukup.
"Dengan apa kamu bisa menjaga dirimu jika tidak memiliki kekuatan, Lea? tadi saja kalau tidak ada Daddy entah bagaimana nasib mu."
Lea hanya diam. Tapi hatinya membenarkan kata-kata Varen.
"Kamu tau, di luar sana ada ribuan orang jahat yang sedang berkeliaran bebas. Dan orang-orang jahat itu bisa saja mengintai kamu sewaktu-waktu, kapan dan dimana saja yang tidak pernah kamu tau."
Lea masih diam tapi telinganya tak henti menyimak meski hatinya agak dongkol.
"Begini saja. Jika kamu tidak mau belajar ilmu bela diri bagaimana kalau Daddy menyewa seorang bodyguard untuk menjagamu?"
What ? Lea langsung menoleh pada Varen. Varen dapat melihat ekspresi tak setuju Lea meski tatapan nya sedang fokus pada jalanan.
"Bagaimana?"
Lea tak kunjung memutuskan. Entah apa yang membuat gadis itu sulit memberi keputusannya.
"Okey kalau begitu. Fix, Daddy akan menyewa seorang bodyguard untuk_"
"Okey, dad. Okey. Aku mau belajar ilmu bela diri. Daddy puas?" putus Lea dengan setengah hati atau terpaksa.
Varen geleng-geleng kepala. Niatnya hanya ingin memberikan yang terbaik demi keamanan Lea, tapi anak itu cukup keras kepala.
Akhirnya setelah sedikit berdebat, Lea terpaksa memilih belajar ilmu bela diri dari pada di kawal seorang bodyguard. Pasti tidak akan nyaman dan tidak bisa bebas jika di kawal bodyguard kemana-kemana pikirnya.
Lea menyandarkan punggungnya ke jok. Tatapan nya menerawang. Jika dipikir-pikir ada benarnya juga apa yang usulkan Daddy nya itu. Jika dia jago silat, setidaknya dia bisa melawan Clara dan geng nya yang selalu usil padanya. Tak hanya Clara, mahasiswa lainnya pun tak sedikit yang usil padanya.
Selain itu, Varen tak akan selalu ada di dekatnya dan melindunginya dari orang-orang jahat. Ada kala nya mereka harus terpisah karena kegiatan masing-masing. Jadi ya, dia harus memiliki ilmu bela diri untuk menjaga dirinya sendiri.
Seperti keinginannya, Varen membawa Lea ke sebuah padepokan sesuai dengan alamat yang diberikan Rey.
"Ayok turun !!"
Dengan perasaan setengah malas, Lea menurunkan kakinya.
Tak lama, seorang pria paruh baya lengkap dengan pakaian ala pendekar menghampiri mereka.
"Tuan Varen Andreas, bukan?"
Varen tersenyum." Benar. Anda, Tuan Subaki?"
Pria itu tertawa." Cukup panggil saya Subaki saja, Tuan."
"Oh begitu. Baiklah."
Kedua orang dewasa itu saling berkenalan dan terlibat perbincangan. Sementara itu, Lea menyisir ke sekitar. Jika dilihat dari luar, padepokan itu cukup asri, nyaman dan tenang.
"Lea !!"
Lea tersentak, lalu melihat ke arah dua orang dewasa tersebut.
"Kemari..."
Lea segera mendekat.
"Ini putri saya namanya Lea. Dia yang akan belajar ilmu bela diri di sini."
Selama dikenalkan, Lea hanya diam dengan wajah cemberut. Dia kesal lantaran Varen mengenalkan dirinya sebagai putrinya.
'Apa susahnya sih kenalkan dia sebagai pacar atau calon istri gitu. Ini sangat menyebalkan'
Subaki membawa Varen dan Lea masuk ke dalam padepokan. Sampai di dalam, Lea terbengong melihat situasi. Dia pikir padepokan ini sepi, ternyata banyak anak manusia di dalamnya. Ada yang masih kecil-kecil ada pula yang sudah remaja atau dewasa. Ada perempuan dan ada laki-laki.
Semua anak manusia itu menoleh ke arahnya dan Varen. Hal itu membuat Lea kesal setengah mati dan ingin berteriak 'jangan memandangi calon suami ku kalian. Kalau tidak mau ku congkel mata kalian.' Karena semua sorot mata perempuan dewasa yang ada di sana itu tertuju pada Varen.
"Besok Daddy tidak perlu mengantarku kemari. Aku bisa pergi sendiri," ujar Lea setelah keluar dari padepokan tersebut. Karena besok adalah hari pertama Lea akan belajar ilmu bela diri di sana.
"Kenapa?" Tanya Varen. Seingat dia sebelum datang ke padepokan itu, Lea berulang kali mengingatkan dia untuk selalu mengantarnya selama mengikuti kegiatan di sana. Tapi kini kenapa anak itu berubah pikiran secepat itu?
"Aku sudah dewasa. Jadi tidak perlu di antar."
"Begitu? baiklah. Nanti Daddy akan meminta sopir saja yang mengantar mu kesini."
"Terserah. Asal jangan Daddy."
"Baiklah." Varen tersenyum.
"Good morning, Lea!"
Seminggu berlalu, Varen menyapa Lea yang saat ini sedang menunggunya untuk sarapan bersama di meja makan.
Lea menoleh dan tersenyum lebar pada Varen, hingga nampak lah gigi kelinci yang membuat gadis itu terlihat imut dan menggemaskan di mata Varen.
"Daad...." Bibir yang tadi merekah sempurna kini mengerucut, karena Varen mengacak rambut Lea sambil menarik kursi untuk diduduki.
"Kenapa rambutmu jadi warna warni begitu hem?"
"Stress." Lea menjawab sekenanya.
"Stres? kok bisa?" Kening Varen mengkerut.
"Ya bisa dong."
"Bisa kamu ceritakan apa penyebabnya?"
"Mau tau?" Lea menatap Varen serius.
Varen mengangguk seraya menyuap roti yang telah diolesi selai.
"Karena Daddy tidak mau menerima cintaku."
Uhuk
Uhuk
Varen terbatuk. Dia hampir menelan makanan yang masih di kunyah kasar.
Lea mengulum senyum.
"Are you okey, Daddy?"
"Yeah." Varen terlihat tak nyaman di tatap Lea. Dia meraih gelas berisi air minum dan di teguknya hingga tandas.
"Daddy tidak perlu berkomentar tentang rambut baru ku. Aku hanya ingin ganti penampilan saja," imbuh Lea.
Varen menghela nafas lega. 'syukurlah anak ini tidak lagi membahas soal cinta monyet nya'
"Ehem. Daddy hanya ingin bilang rambut mu itu lucu seperti kue lapis. Rasanya Daddy jadi ingin makan kue lapis legit melihat rambutmu itu." Varen tertawa garing, karena dia merasa kata-katanya tidak lucu. Dia hanya mencoba membuat lelucon agar Lea melupakan kata-katanya.
"Huh. Dasar Daddy kolot, jadul. Rambutku Ini namanya hair style ala gen Z tahun 2025. Jaman Daddy muda mana ada model rambut begini." Lea tidak mau kalah dengan Varen, segera membalasnya dengan ejekan.
Varen tak merasa tersinggung, dia justru senang karena telah berhasil membuat Lea melupakan kata-katanya soal cinta." Iya deh, iya genset."
Kemudian, Varen dan Lea makan dalam diam. Hanya dentingan sendok saja yang terdengar di atas meja tersebut.
"Pagi ini aku mau nebeng mobil Daddy lagi, boleh?"
"Memangnya mobilmu belum selesai diperbaiki?" Pertanyaan Varen dijawab anggukkan Lea.
"Baiklah. Nanti Daddy akan menyuruh sopir mengantar mu."
"No, I want you."
Atas keinginan Lea, Varen mengantarkan gadis itu ke kampus. Dan setelah sampai dimana biasa Lea diturunkan, dia tak kunjung turun. Lea hanya diam dan menatap Varen dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Kenapa tidak turun, hem? Apa ada sesuatu yang mau kamu bicarakan pada Daddy?"
Dahi Varen mengkerut begitu wajah Lea mendekat pada wajahnya perlahan.
"I love you, Daddy."
Cup.
Varen tertegun. Perasaan aneh seketika mengalir dalam dirinya saat Lea mencium ujung bibirnya. Lalu, dia meraba ujung bibir bekas dicium Lea dengan linglung.
"Ke-kenapa kamu mencium Daddy di sini, Lea?" Lirih Varen.
Lea tersenyum tanpa dosa. Dia menjawab," bukan kah aku ini putri Daddy? memangnya kenapa kalau seorang putri mencium bibir Daddy nya? tidak ada yang salah bukan?"