Dewi Ayu Ningrat, gadis ningrat yang jauh dari citra ningrat, kabur dari rumah setelah tahu dirinya akan dijodohkan. Ia lari ke kota, mencari kehidupan mandiri, lalu bekerja di sebuah perusahaan besar. Dewi tidak tahu, bosnya yang dingin dan nyaris tanpa ekspresi itu adalah calon suaminya sendiri, Dewa Satria Wicaksono. Dewa menyadari siapa Dewi, tapi memilih mendekatinya dengan cara diam-diam, sambil menikmati tiap momen konyol dan keberanian gadis itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Dua minggu sudah berlalu sejak Dewi keluar dari rumah sakit.
Tubuhnya belum sepenuhnya pulih, namun semangat dalam dirinya menyala kembali. Ia kembali ke kantor Kala Kita bersama Dewa perusahaan fashion dan seni kolaboratif yang mereka bangun dari nol. Kini, kantor dua lantai bergaya industrial itu tak pernah sepi dari canda, ide kreatif, dan lembar moodboard yang menempel di setiap dinding.
Namun, di balik itu semua, ada satu hal yang mulai berubah pelan-pelan: hubungan Dewi dan Dewa.
Sejak kecelakaan, Dewa jadi lebih protektif, lebih serius, dan… kadang terlalu ambisius.
---
[Ruang Meeting Kala Kita]
Dewa meletakkan map tebal di atas meja. Di hadapan Dewi dan tim inti, ia berkata pelan, tapi tegas.
“Lüdermann Group dari Berlin ingin akuisisi sebagian saham Kala Kita. Mereka mau menjadikan kita markas utama fashion kreatif Asia Tenggara.”
Suasana hening.
Naya menoleh pada Dewi. “Itu… besar banget.”
Tapi Dewi tidak terlihat senang. Ia membuka map itu pelan. Di sana, tertulis jelas:
"Pengalihan posisi Direktur Kreatif ke Konsultan Tetap"
Dewi menatap Dewa. “Mereka mau beli brand-nya, tapi menghapus ruhnya. Dan kamu setuju dengan ini?”
Dewa tenang. “Mereka tidak menghapus kamu. Hanya restrukturisasi. Kamu tetap bisa berkarya…” jawab Dewa
“Tapi bukan sebagai pemimpin. Bukan sebagai aku yang membangun ini dari nol!” jawab Dewi dingin
“Dewi—” umpan dewa terpotong
“Dewa, kamu lupa kita bangun ini bukan untuk dijual. Kita bangun ini untuk mengubah cara dunia melihat kreativitas lokal!” jawab Dewi cepat
Naya melirik keduanya, cemas. “Mungkin bisa kita bahas lagi...”
Tapi Dewi sudah bangkit. “Aku keluar dulu. Takut emosiku beneran meledak di sini.”
---
[Sore — Balkon rumah Naya]
Dewi duduk sendiri. Secangkir teh di tangan, tapi sudah dingin sejak tadi.
Naya menyusul. “Kamu marah?”
“Banget.” jawab Dewi
“Kamu marah karena akuisisi? Atau karena Dewa ambil keputusan sepihak?” tanya Naya
Dewi menghela napas. “Aku kira kami satu visi. Tapi dia berubah. Sejak aku koma, dia terlalu ingin melindungiku… sampai lupa aku masih bisa berdiri sendiri.”
Naya menepuk pundaknya. “Kadang orang yang terlalu takut kehilangan… malah menyakiti tanpa sadar.”
---
[Malam — Studio kerja Dewa]
Dewa menatap maket kantor Kala Kita. Tangannya menggenggam blueprint yang ia rancang seminggu lalu pengembangan studio, pembukaan cabang, branding global.
Armand, yang kini jadi manajer pengembangan bisnis Kala Kita, masuk pelan.
“Mas Dewa, mereka dari Berlin akan datang Senin depan. Apa tetap dijadwalkan?” tanya Arman
Dewa diam lama.
“Mbak Dewi menolak?” tanya Armand.
“Iya.” jawab Dewa
“Lalu Mas?” tanya Arman
Dewa menatap blueprint itu, lalu menunduk. “Aku pikir aku menyelamatkannya dari mimpi kecil. Padahal dia hanya ingin mimpi itu tetap milik kami berdua. Bukan milik investor.”
---
[Keesokan harinya — Ruang Studio Kala Kita]
Dewi sedang memeriksa koleksi kain ketika Dewa masuk.
“Boleh bicara?” tanya Dewa
Dewi menoleh. Dewa tak membawa berkas, tak membawa agenda. Hanya dirinya.
“Aku batalkan semua pertemuan dengan pihak Berlin,” kata Dewa.
Dewi mengernyit. “Kenapa?”
“Karena aku sadar. Kala Kita dibangun bukan dari dana besar atau proposal internasional. Tapi dari kamu yang dulu bilang ingin ada panggung untuk seni dan budaya Indonesia dengan caramu sendiri.”
Dewa melangkah lebih dekat.
“Aku terlalu takut kamu jatuh lagi… sampai-sampai aku lupa kamu adalah orang yang paling kuat yang aku kenal.”
Dewi terdiam.
Dewa melanjutkan, suara lebih pelan, “Aku nggak ingin mendominasimu, Dewi. Aku ingin jadi seseorang yang jalan bersamamu. Kalau mimpi ini harus kecil dulu agar tetap jadi milik kita… aku setuju.”
Dewi tersenyum kecil. “Terima kasih… karena akhirnya kamu mendengar aku, bukan hanya mencoba menyelamatkanku.”
Dewa tertawa. “Menyelamatkanmu… ternyata bukan soal mengambil kendali. Tapi percaya pada kekuatanmu.”
---
Malam itu, Dewi menulis:
Mereka bilang, pria sejati melindungi.
Tapi aku lebih menghargai pria yang berjalan di sampingku, bukan menuntunku.
Dan Dewa… akhirnya berhenti mencoba memegang tanganku terlalu erat.
Karena sekarang, kami menggenggam tangan satu sama lain. Sama tinggi. Sama kuat.
...----------------...
Pagi itu, Kala Kita seperti biasa dipenuhi aktivitas. Model sedang bersiap untuk pemotretan, tim kreatif sibuk mengecek detail bordir koleksi Nusantara, dan Dewi… baru saja turun dari ruang editing.
Semua berjalan normal.
Sampai sebuah suara dari arah pintu depan membekukan langkahnya.
“Dewi… Ayu… Ningrat?” Seru seseorang
Dewi menoleh, alisnya bertaut. Di depan pintu, berdiri seorang pria jangkung dengan rambut sedikit gondrong, kemeja putih terbuka di bagian leher, dan senyum yang meskipun sudah lama tak ia lihat masih ia kenali.
“Gilang?” seru Dewi
---
[Ruang tamu Kala Kita]
Gilang duduk dengan santai, sementara Dewi masih berdiri di hadapannya dengan campuran bingung dan siaga.
“Udah lama banget, ya?” tanya Gilang, mencoba mencairkan suasana.
“Lima tahun terakhir aku bahkan nggak tahu kamu masih di Indonesia.” ujar Dewi
“Setelah kuliah di Australia, aku balik... dan dengar kabar soal kamu. Hebat ya, Ningrat yang dulu tukang bolos sekarang punya brand sendiri.” ujar Gilang
Dewi menyilangkan tangan. “Kamu ke sini cuma mau nostalgia, Gilang?”
Gilang tersenyum miring. “Nggak juga. Aku ke sini karena ada yang harus aku selesaikan.”
---
[Sementara itu – Lantai atas, ruang kerja Dewa]
Armand masuk membawa selembar kertas dan tablet.
“Mas, ada tamu aneh barusan. Namanya Gilang, ngaku kenal Dewi dari masa SMA. Sekarang dia kerja di salah satu agensi media. Dan… dia minta wawancara tentang 'kisah masa lalu Dewi Ayu Ningrat'."
Dewa menatap tajam.“Dia sekarang di mana?”
“Ruang tamu bawah. Lagi ngobrol sama Mbak Dewi.”
Dewa langsung berdiri. “Pastikan tidak ada kamera aktif, dan jangan biarkan dia sendirian di mana pun.”
---
[Ruang tamu – Kala Kita]
Dewi sudah duduk, namun dengan postur defensif.
“Gilang, kalau ini soal waktu kita dulu, itu udah masa lalu. Aku udah selesai.” ujar Dewi
“Sayangnya, masa lalu kita belum selesai,” jawab Gilang pelan. “Kamu masih ingat… surat pernyataan itu?”
Dewi terdiam. Matanya menajam.
“Kamu bohong waktu itu. Dan gara-gara itu, aku dikeluarkan dari sekolah.”
“Karena kamu menyebar foto-foto pribadi orang lain, Gilang. Kamu pikir aku bakal diam aja?”
“Tapi kamu bilang kamu nggak akan buka suara! Kamu janji!”
Dewi berdiri, nadanya dingin. “Dan kamu pikir setelah kamu membuatku hampir bunuh diri waktu itu, aku masih peduli janji ke pelaku?”
Gilang berdiri juga, kini wajahnya menegang.
“Aku bisa buka semuanya ke media, Dewi.”
“Terserah,” jawab Dewi lantang. “Aku nggak takut pada masa lalu, apalagi pada kamu. Kalau kamu pikir aku akan mundur karena ancaman recehmu, kamu salah besar.”
Dewa muncul di ambang pintu.
“Masalahnya bukan ancaman, Gilang,” suara Dewa dingin, “tapi pencemaran nama baik. Dan kalau kamu berani menyentuh satu helai rambut Dewi, aku akan pastikan karirmu hancur sebelum matahari besok terbit.”
Gilang melangkah mundur.
“Dewa… Satria?”
“Benar,” Dewa menatap tajam. “Pendiri Kala Kita. Dan seseorang yang tidak akan membiarkan satu pun bayangan masa lalu menginjak perempuan ini.”
Gilang terlihat terintimidasi.
Dewa melangkah maju.
“Sekarang keluar. Dan pastikan ini jadi terakhir kalinya kamu menyebut nama Dewi dengan nada seperti itu.”
Gilang menatap Dewi sekali lagi—ada dendam yang belum padam di matanya—lalu pergi.
---
[Setelah Gilang pergi – Ruang kerja Kala Kita]
Dewa menuangkan air putih untuk Dewi. Tangannya masih sedikit gemetar.
“Maaf…” kata Dewi pelan. “Aku nggak pernah cerita soal Gilang. Karena aku kira dia udah benar-benar hilang dari hidupku.”
Dewa duduk di sebelahnya. “Kamu nggak perlu minta maaf.”
“Tapi dia benar… aku pernah bikin pernyataan waktu itu. Aku bohong demi menyelamatkan diriku sendiri.”
Dewa menatapnya lekat. “Itu bukan kebohongan, Dewi. Itu pertahanan. Kamu remaja waktu itu. Kamu trauma. Dan kamu selamat. Itu yang penting.”
Air mata mulai mengalir pelan dari mata Dewi.
Dewa menggenggam tangannya. “Kamu kuat. Kamu selalu kuat.”
“Tapi kalau dia sebarin itu ke media…”
“Maka aku yang akan berdiri di depanmu. Aku nggak akan biarkan mereka merusak kamu.”
Dewi mengangguk, lalu bersandar di bahu Dewa. “Terima kasih.”
Dewa berbisik pelan, nyaris tak terdengar.
“Bukan karena aku baik. Tapi karena aku... mencintaimu.”
Dewi memejamkan mata.
Bersambung