Elang Alghifari, CEO termuda yang sukses, dijebak oleh sahabat dan calon istrinya sendiri. Dalam semalam, ia kehilangan segalanya—perusahaan, reputasi, kebebasan. Tiga tahun di penjara mengubahnya dari pemimpin visioner menjadi pria yang hidup untuk satu tujuan: pembalasan.
Namun di balik jeruji besi, ia bertemu Farrel—mentor yang mengajarkan bahwa dendam adalah seni, bukan emosi. Setelah bebas, Elang kabur ke Pangalengan dan bertemu Anya Gabrielle, gadis sederhana yang mengajarkan arti cinta tulus dan iman yang telah lama ia lupakan.
Dengan identitas baru, Elang kembali ke Jakarta untuk merebut kembali segalanya. Tapi semakin dalam ia tenggelam dalam dendam, semakin jauh ia dari kemanusiaannya. Di antara rencana pembalasan yang sempurna dan cinta yang menyelamatkan, Elang harus memilih: menjadi monster yang mengalahkan musuh, atau manusia yang memenangkan hidupnya kembali.
Jatuh untuk Bangkit adalah kisah epik tentang pengkhianatan, dendam, cinta,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 34; RAHASIA DIBALIK DOKUMEN
#
Jam menunjukkan pukul sembilan malam ketika Elang masih duduk di depan layar komputer di cubicle sempit yang sudah jadi rumah keduanya selama seminggu terakhir. Gedung Hartavira sudah sepi—cleaning service sudah selesai membersihkan lantai ini sejak setengah jam lalu, lampu-lampu di cubicle lain sudah padam, dan hanya tersisa suara dengung AC yang monoton menemani kesendirian Elang.
Tapi dia tidak pulang. Tidak bisa. Karena sejak sore tadi, sejak semua orang pergi dan dia akhirnya punya akses tanpa pengawasan, dia menggali lebih dalam ke server perusahaan—bukan hanya data yang Brian izinkan dia akses, tapi folder-folder tersembunyi yang dilindungi password.
Password yang ternyata sangat mudah ditebak untuk orang yang membangun sistem keamanan perusahaan ini dari nol: kombinasi tanggal pendirian Garuda Investama dengan kode pos kantor lama. Brian terlalu malas atau terlalu bodoh untuk mengubahnya.
Dan apa yang Elang temukan membuat tangannya bergetar di atas mouse, membuat napas keluar gemetar, membuat sesuatu yang seperti tawa getir ingin meledak dari tenggorokan.
Folder bernama "Proyek Khusus" dengan subfolder berlabel "KS-2023" sampai "KS-2025". Elang klik folder pertama—dan layar terisi dengan file PDF, spreadsheet Excel, dan foto-foto yang membuat darahnya mendidih sekaligus membeku.
Transaksi. Ratusan transaksi ke rekening-rekening dengan nama yang dia kenal dari berita: pejabat pemerintahan, kepala dinas, komisaris BUMN. Jumlahnya tidak main-main—lima miliar di sini, sepuluh miliar di sana, bahkan ada satu transaksi lima puluh miliar ke rekening atas nama istri seorang menteri.
"Suap," Elang berbisik ke ruangan kosong dengan suara yang nyaris tidak keluar. "Kamu main suap, Brian. Ratusan miliar. Untuk proyek-proyek pemerintah, untuk tender, untuk—"
Dia scroll lebih jauh. Ada dokumen kontrak dengan cap palsu, tanda tangan yang dipalsukan—termasuk tanda tangan Elang sendiri di beberapa dokumen dari tiga tahun lalu. Dokumen yang dia tidak pernah lihat, tidak pernah tanda tangani, tapi tanda tangannya ada di sana dengan sempurna.
"Kamu bukan cuma menjebak aku," Elang melanjutkan dengan suara yang mulai naik, gemetar antara amarah dan sesuatu seperti histeria, "kamu juga gunakan namaku untuk legitimasi transaksi kotormu. Kamu buat aku jadi perisai. Kamu—"
Tangannya mengepal di atas meja sampai buku-buku jari memutih. Layar di depannya kabur karena air mata yang tiba-tiba mengumpul—bukan air mata kesedihan, tapi air mata amarah yang terlalu besar untuk ditampung di dada.
Tapi kemudian—seperti suara Farrel yang bergema dari memory penjara—dia ingat: "Dendam yang baik adalah dendam yang dibiarkan matang. Jangan panas. Dingin. Kumpulkan peluru, baru tembak ketika mereka lengah."
Elang menarik napas dalam, menghapus air mata dengan punggung tangan, dan mulai bekerja dengan metodis. Copy semua file ke flashdisk terenkripsi yang selalu dia bawa. Satu per satu, dengan teliti, memastikan tidak ada yang tertinggal. Ratusan file, gigabyte data, bukti yang cukup untuk mengirim Brian ke penjara seumur hidup—atau setidaknya dua puluh tahun.
"Belum," dia berbisik sambil menatap progress bar yang bergerak lambat. "Belum waktunya, Brian. Aku mau kamu merasakan semua yang aku rasakan. Jatuh dari puncak. Kehilangan segalanya. Melihat dunia yang kamu bangun runtuh pelan-pelan sampai kamu bahkan tidak punya tempat berdiri."
Flashdisk selesai menyalin. Elang cabut dengan hati-hati, simpan di kantong celana paling dalam, terus mulai menghapus jejak digital dia masuk ke folder terlarang ini. Clear history, clear cache, clear log—semua teknik yang Farrel ajarkan tentang cara bergerak di dunia digital tanpa meninggalkan jejak.
Dia baru saja selesai ketika suara pintu ruangan terbuka dengan bunyi yang membuat jantungnya hampir lompat keluar dari dada.
Langkah kaki. Berat. Pasti. Mendekat ke arah cubicle-nya.
Elang cepat tutup semua tab yang mencurigakan, buka kembali spreadsheet analisis keuangan yang sah, dan berpura-pura sedang fokus bekerja ketika bayangan jatuh di atas cubicle-nya.
"Galang?"
Suara Brian. Rendah, sedikit terkejut, tapi juga... curiga?
Elang berbalik di kursi dengan ekspresi yang dia atur jadi terkejut-tapi-profesional. "Pak Brian? Maaf, saya tidak dengar bapak masuk. Masih ada di kantor?"
Brian berdiri di entrance cubicle dengan kemeja yang sudah tidak serapi pagi tadi, lengan digulung sampai siku, dasi dilonggarkan. Mata gelapnya mengamati Elang dengan intensitas yang membuat kulit tengkuk merinding.
"Pertanyaan yang sama buat kamu," Brian menjawab sambil melangkah masuk—tanpa diundang, tanpa permisi—dan bersandar di partisi cubicle dengan tangan dilipat. "Sudah jam sembilan malam. Kenapa masih di sini?"
"Menyelesaikan analisis untuk laporan yang bapak minta," Elang menjawab sambil menunjuk ke layar dengan gerakan yang dia buat sealami mungkin. "Deadline besok pagi, jadi saya mau memastikan semuanya sempurna."
"Sempurna," Brian mengulangi kata itu dengan nada yang aneh—setengah mengejek, setengah... menghargai? "Kamu tipe pekerja keras ya, Galang. Jarang sekarang orang mau lembur sampai malam tanpa diminta."
"Saya percaya kalau mau hasil bagus, harus kasih effort lebih," Elang menjawab dengan senyum profesional yang sudah jadi second nature sekarang. "Lagipula, bapak sudah kasih kepercayaan ke saya. Tidak mau mengecewakan."
"Kepercayaan," Brian bergumam sambil menatap langit-langit cubicle dengan ekspresi yang sulit dibaca. "Kata yang menarik. Kamu percaya pada konsep kepercayaan, Galang?"
Pertanyaan jebakan. Elang bisa rasakannya—ada sesuatu di balik pertanyaan sederhana ini, ada jaring yang sedang dibentangkan.
"Saya percaya kepercayaan adalah fondasi hubungan profesional," dia menjawab dengan hati-hati, memilih setiap kata dengan teliti. "Tanpa kepercayaan, tidak ada kerja sama yang bisa berjalan baik."
"Betul," Brian mengangguk, tapi senyumnya tidak mencapai mata. "Tapi kepercayaan juga bisa dikhianati. Mudah sekali, sebenarnya. Orang yang kamu percaya penuh bisa tiba-tiba tikam kamu dari belakang."
Udara di cubicle terasa menipis. Elang mempertahankan ekspresi netral meskipun hatinya berdetak seperti drum perang.
"Bapak pernah mengalami?" dia bertanya—pertanyaan yang berisiko tapi juga bisa jadi cara untuk mengalihkan perhatian Brian dari kecurigaan tentang apa yang Elang lakukan di sini malam-malam.
Brian tertawa—bunyi yang pahit dan tajam. "Pernah? Tentu saja pernah." Dia mendorong diri dari partisi dan melangkah lebih dekat, duduk di ujung meja Elang dengan casual yang terasa invasive. "Aku punya partner, dulu. Sahabat, bahkan. Kami bangun perusahaan ini—" dia gerakkan tangan menunjuk sekeliling, "—dari nol. Dari kantong pas-pasan dan mimpi besar."
Elang tahu ke mana arah pembicaraan ini. Tahu, dan harus menahan setiap serat di tubuhnya untuk tidak bereaksi, tidak menunjukkan bahwa dia *tahu* cerita ini karena dia *adalah* cerita ini.
"Lalu apa yang terjadi?" dia bertanya dengan nada yang penasaran-tapi-tidak-terlalu-penasaran.
"Dia serakah," Brian menjawab dengan dingin yang menusuk. "Mau ambil semua keuntungan sendiri. Main belakang dengan auditor, korupsi dana perusahaan. Ratusan miliar, Galang. Ratusan miliar yang dia curi untuk kantong pribadi."
Kebohongan. Setiap kata adalah kebohongan yang dilapisi dengan kepercayaan diri seorang pembohong profesional. Dan yang paling menyakitkan—Brian mungkin sudah percaya pada kebohongannya sendiri. Sudah merevisi sejarah di kepalanya sampai dia benar-benar percaya Elang adalah penjahat dan dia adalah pahlawan yang menyelamatkan perusahaan.
"Mengerikan," Elang berkata dengan empati palsu yang sempurna. "Lalu dia sekarang di mana?"
Brian diam sebentar, mata menatap ke jendela gelap di seberang dengan ekspresi yang... apa itu? Penyesalan? Tidak mungkin. Mungkin hanya bayangan dari lampu neon.
"Penjara," dia akhirnya menjawab. "Tiga tahun. Keluar delapan bulan lalu. Namanya Elang Alghifari."
Mendengar namanya sendiri diucapkan dengan keras di ruangan ini, oleh mulut Brian, membuat Elang harus menggunakan setiap ons kontrol untuk tidak bereaksi. Wajahnya tetap netral, hanya mengangguk sedikit seperti mencerna informasi.
"Saya rasa pernah dengar nama itu di berita," dia berkata dengan nada yang thoughtful. "Skandal korupsi besar, kan? Beberapa tahun lalu."
"Ya," Brian mengonfirmasi. "Media sempat ramai. Tapi sekarang orang sudah lupa. Dunia bergerak cepat. Skandal kemarin sudah digantikan skandal hari ini."
"Dan dia sekarang di mana? Setelah keluar penjara?"
Pertanyaan yang berbahaya—terlalu menunjukkan interest—tapi Elang tidak bisa menahan diri. Dia perlu tahu apa yang Brian pikir, apa yang Brian ketahui.
Brian menatapnya dengan mata yang menyipit sedikit—mengamati, menilai. "Tidak tahu. Menghilang. Tidak ada jejak digital, tidak ada alamat, tidak ada pekerjaan formal. Seperti hantu."
"Mungkin dia malu," Elang berkata sambil berpura-pura kembali fokus ke layar komputer, berpura-pura pembicaraan ini tidak terlalu penting. "Kehilangan segalanya seperti itu pasti berat. Mungkin dia memilih hidup low profile."
"Atau," Brian berkata dengan suara yang turun lebih rendah, lebih gelap, "mungkin dia merencanakan sesuatu. Mungkin dia diam-diam mengumpulkan kekuatan. Merencanakan balas dendam."
Udara terasa membeku. Elang bisa merasakan mata Brian di tengkuknya meskipun dia tidak berbalik, tidak melihat langsung.
"Balas dendam?" dia mengulangi dengan nada yang skeptis. "Seperti film aksi?"
"Kamu pikir itu konyol?" Brian bertanya—dan sekarang ada sesuatu yang tajam di suaranya, sesuatu seperti challenge.
Elang berbalik menghadap Brian dengan ekspresi yang tenang, dengan senyum kecil yang remeh. "Sedikit, Pak. Maksud saya, orang yang baru keluar penjara, tidak punya uang, tidak punya koneksi—bagaimana dia bisa merencanakan balas dendam terhadap perusahaan besar seperti Hartavira? Itu... tidak realistis."
"Mungkin," Brian mengakui, tapi matanya masih mengamati Elang dengan intensitas yang membuat nyaman. "Atau mungkin aku terlalu paranoid. Terlalu banyak menonton film thriller."
Dia berdiri dari meja, meluruskan kemeja, tapi sebelum berbalik untuk pergi, dia berkata sesuatu yang membuat darah Elang membeku:
"Tapi kamu tahu, Galang, hal yang menarik tentang Elang—dia keras kepala. Sangat keras kepala. Tipe orang yang tidak pernah menyerah bahkan ketika semua orang bilang dia sudah kalah. Aku kenal dia sepuluh tahun. Dan aku tahu—" dia berhenti, menatap langsung ke mata Elang dengan intensitas yang membuat waktu terasa berhenti, "—kalau dia masih hidup di luar sana, dia tidak akan diam saja. Dia akan kembali. Entah bagaimana. Entah dengan wajah apa. Dia akan kembali."
Keheningan yang berat. Mata mereka bertemu—mata cokelat gelap Brian yang penuh kecurigaan bertemu mata cokelat gelap Elang yang penuh dengan amarah yang ditahan. Sedetik. Dua detik. Tiga.
Kemudian Brian tersenyum—senyum yang tidak hangat, tidak tulus, hanya gerakan otot wajah tanpa emosi di baliknya.
"Tapi untungnya, Elang mungkin sudah mati. Atau patah total. Dan bahkan kalau dia hidup, dia tidak akan bodoh untuk kembali ke sini dengan risiko ditangkap lagi." Dia menepuk bahu Elang dengan gesture yang seharusnya friendly tapi terasa seperti ancaman. "Jangan terlalu lama lembur, Galang. Kesehatan lebih penting dari pekerjaan. Sampai jumpa besok pagi."
Dia berjalan keluar dengan langkah yang tenang, meninggalkan Elang sendirian di cubicle dengan jantung yang berdetak terlalu cepat, tangan yang gemetar di atas keyboard, dan pikiran yang berputar dengan seribu pertanyaan.
*Dia tahu? Dia curiga? Atau dia cuma testing? Atau—*
Hape bergetar di saku. Elang keluarkan dengan tangan yang masih gemetar—pesan dari Harris:
*Brian baru saja keluar dari gedung. Dia terlihat... gelisah. Hati-hati. Jangan lakukan gerakan mencurigakan untuk beberapa hari ke depan.*
Elang tidak membalas. Hanya menatap layar dengan pikiran yang kacau, dengan emosi yang terlalu besar untuk diberi nama.
Dia sudah dapat bukti. Bukti yang cukup untuk menghancurkan Brian berkali-kali lipat. Tapi Brian juga mulai curiga—mungkin belum yakin, mungkin masih bimbang, tapi sudah ada benih ketidakpercayaan yang ditanam.
Ini permainan psikologis sekarang. Permainan siapa yang akan pecah duluan—Elang dengan identitas palsunya, atau Brian dengan paranoia yang tumbuh.
Dan Elang tidak tahu—benar-benar tidak tahu—siapa yang akan menang.
Dia hanya tahu satu hal: permainan baru saja naik ke level yang lebih berbahaya.
Dan tidak ada jalan mundur lagi.
---
**[Bersambung