Rayna tak pernah benar-benar memilih. Di antara dua hati yang mencintainya, hanya satu yang selalu diam-diam ia doakan.
Ketika waktu dan takdir mengguncang segalanya, sebuah tragedi membawa Rayna pada luka yang tak pernah ia bayangkan: kehilangan, penyesalan, dan janji-janji yang tak sempat diucapkan.
Lewat kenangan yang tertinggal dan sepucuk catatan terakhir, Rayna mencoba memahami-apa arti mencintai seseorang tanpa pernah tahu apakah ia akan kembali.
"Katanya, kalau cinta itu tulus... waktu takkan memisahkan. Hanya menguji."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Iyikadin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 31 - Selimut Untuk Ben!
"Cara dia memperlakukan aku membuatku sadar, kadang hati cuma butuh alasan kecil untuk mulai pulih."
...***...
Ben sedikit cemberut, teringat jelas perkataan Rayna barusan, "Ya enggak lah Ben, ya kali gue gitu."
Kalimat itu terus berputar di kepalanya. Ia mencoba menertawakan dirinya sendiri, tapi rasa penasaran tetap menempel kuat.
Ia masih memikirkan apakah Rayna benar-benar bercanda… atau sebenarnya ada sedikit kebenaran di balik ucapannya. Karena cara Rayna tadi ngomong, cepat, gugup, mata berpaling sebentar, itu bukan gaya bercandanya.
Dalam hati, Ben berharap satu hal kecil yang bahkan ia sendiri malu untuk akui, bahwa mungkin, walaupun sangat kecil kemungkinannya… Rayna memang benar-benar ingin begitu.
"Gak asik lo, Ray," ujar Ben sambil menghela napas kecil.
"Gue udah selesai makan nih, langsung gue cuci aja ya," kata Ben sambil bangun dari kursinya.
"Eh jangan, gue aja yang cuci. Lo simpen aja bekas makannya di wastafel," kata Rayna sambil meraih tisu untuk membersihkan tangannya.
Ben langsung mengangkat alis, seolah menunggu kalimat itu dari tadi. "Nah, gitu dong," ujarnya dengan nada puas. "Itu baru calon istri yang baik."
Rayna memutar bola matanya begitu lebar sampai hampir terdengar bunyinya. "Ih, apaan sih Ben… gak jelas banget lo."
Tapi Ben cuma tertawa kecil, jelas menikmati reaksi Rayna yang selalu ia anggap lucu. "Yaudah, yaudah… gue taro dulu mangkoknya," katanya sambil berdiri, membawa mangkoknya ke wastafel dengan gaya sok penting.
Padahal dari nada suaranya, Rayna tau banget itu cuma basa-basi. Ben jelas-jelas berharap dia yang cuci bekas makannya.
Setelah menyimpan mangkok itu, Ben membalikkan badannya ke arah Rayna.
"Gue pinjem buku pelajaran untuk ujian besok dong… gue mau baca sambil nunggu lo beres makan."
"Emm… ambil aja. Ada di laci ruang tamu deh kalo gak salah. Bekas gue waktu itu," jawab Rayna sambil tetap fokus ke makannya.
"Oke, gue pinjem ya."
"Iya.. Ambil aja."
Tanpa peringatan, Ben menghampirinya dan mencubit pipi Rayna pelan. Memang, kebiasaan isengnya itu selalu muncul di waktu yang tak tentu.
"Siap, sayangkuu..." katanya sambil terkekeh, lalu berjalan ke ruang tamu.
"Ihhh Ben, sakit tau!" protes Rayna sambil memegang pipinya.
Tapi Ben hanya mengangkat tangan tanda mengerti, tanpa benar-benar berhenti atau menoleh, seolah ia memang sengaja pura-pura gak denger.
"Kenapa sih dia tuh iseng banget…" gerutu Rayna pelan sambil mengusap pipinya yang masih terasa hangat bekas cubitan Ben.
Nada omelannya kecil, tapi matanya secara refleks melirik ke arah ruang tamu, seolah memastikan Ben gak balik lagi buat iseng kedua kalinya.
Meski begitu, sudut bibirnya sedikit terangkat tanpa ia sadari. Kesal… tapi bukan yang benar-benar kesal.
Ada rasa yang lebih aneh dari itu. Rasa yang justru bikin jantungnya berdetak sedikit lebih cepat tiap Ben melakukan hal-hal kecil kayak tadi.
Rayna fokus menikmati makanannya, berusaha tidak memikirkan Ben yang selalu saja punya cara untuk bikin hatinya rusuh.
Suara sendok yang beradu pelan dengan mangkok jadi satu-satunya bunyi di dapur kecil itu.
Beberapa menit setelahnya…
"Ahh, akhirnya selesai juga makannya," gumam Rayna sambil menaruh sendok. "Tinggal cuci piring."
Ia berdiri perlahan, menghela napas panjang, setengah karena kenyang, setengah karena harus menghadapi cowok yang entah kenapa selalu sukses bikin mood-nya naik turun.
Setelah semua peralatan makan selesai di cuci, Rayna mengelap tangannya dengan kain lap yang tergantung tak jauh dari sana.
"Emm… Ben fokus banget bacanya sampe nggak ada suara sedikit pun," gumam Rayna sambil berjalan ke ruang tamu, penasaran.
Tapi begitu kepalanya muncul di ambang pintu, Rayna langsung mengerjap.
"Lah… ini anak…"
Ben tidak sedang membaca.
Ia tertidur pulas di sofa, buku pelajaran masih terbuka di dadanya, satu tangannya terkulai ke samping. Napasnya teratur, wajahnya keliatan damai, jauh banget dari usil dan berisik yang biasanya.
"Katanya mau baca," bisik Rayna, mendekat sedikit. "Malah tidur…"
Ia berdiri beberapa detik, memperhatikan Ben tanpa sadar tersenyum kecil. Ada sesuatu yang hangat merambat di dadanya, tapi ia buru-buru mengalihkan pandangannya.
Rayna terus menatap Ben yang tertidur pulas. Detik demi detik berlalu, tapi ia tak juga mengalihkan pandangannya.
"Ben selama ini udah tulus banget sama gue…" bisiknya pelan, hampir seperti takut suaranya membangunkan Ben.
"Tapi… gue…"
Huft.
Ia menarik napas panjang, bahunya ikut turun.
"Sulit…" lanjutnya lirih.
Matanya kembali jatuh pada wajah Ben yang tenang, adem banget sampai bikin hati Rayna ikut melunak.
"Lihat wajahnya yang kayak gini… gue jadi ngerasa bersalah atas sikap gue selama ini ke dia," ucapnya dengan suara patah.
"Kapan ya gue bisa… tulus cinta sama Ben, kayak dia tulus sama gue…"
Ia menggigit bibirnya sendiri, dada terasa sesak.
"Gue udah… gue selalu nyoba," katanya, suara makin kecil.
"Tapi melupakan seseorang yang udah belasan tahun ada di hati itu… memang butuh waktu."
Rayna memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan diri, tapi rasa bersalah dan ragu itu tetap menempel.
Rayna menunduk sedikit, menatap jemari Ben yang masih menggenggam sisi buku itu. Ada rasa hangat… tapi juga nyeri.
"Sorry ya, Ben…" ucapnya pelan, hampir hanya berupa hembusan napas.
"Gue masih berusaha untuk itu…"
Ia tersenyum kecil, senyum yang lebih mirip luka, lalu mengusap rambutnya sendiri gugup.
"Lo pantas dapet yang tulus… dan gue lagi belajar ke arah situ. Pelan-pelan."
Matanya kembali jatuh ke wajah Ben, seolah mencari jawaban di sana.
"Semoga suatu hari… hati gue nyampe ke lo," tambahnya lagi, lebih lirih.
Sementara Ben masih tertidur pulas, tidak sadar kalau seseorang yang ia sayang sedang berjuang diam-diam untuk membalas ketulusannya.
Rayna berdiri pelan dari sisi sofa. Ia berjalan ke kamarnya, membuka lemari, dan menarik selimut tipis kesukaannya.
Setelah kembali ke ruang tamu, ia menunduk di sisi Ben, lalu perlahan merapikan posisi selimut itu agar menutup dada Ben yang masih memeluk buku.
"Biar dia nggak kedinginan…" bisik Rayna, setengah alasan, setengah perasaan.
Baru setengah ia merapikan ujung selimut di bahu Ben, tiba-tiba...
Ceklek.
Pintu depan terbuka.
"Mama pulang…"
Rayna membeku... Matanya melebar...
Tangannya masih di atas dada Ben, selimut belum selesai diselimutin.
Mama masuk dua langkah… lalu terhenti.
"Loh, Rayna… ngapain kamu?"
Nada herannya bukan heran biasa, lebih ke heran yang penuh dugaan.
Rayna langsung berdiri tergesa dan memutar badan.
"M-ma… bukan seperti yang Mama pikir kok"
"Ngapain kamu? Kamu dari tadi berduaan sama Ben di rumah?"
Mata Mama membesar, benar-benar terlihat kaget melihat posisi mereka.
Rayna terdiam.
Ben… masih tidur pulas.
Sementara mereka berdua, Rayna dan Mama, saling menatap dengan wajah sama-sama shock, tapi seolah jelas, yang di kepala Mama udah jauh lebih liar daripada kenyataan.
Rayna cuma bisa berkedip-kedip, panik.
"Mama… ini… bukan gitu kok…"
Bersambung...