Hujan deras membasahi batu kerikil dan kayu bantalan rel kereta, sesekali kilatan petir merambat di gelapnya awan.
Senja yang biasanya tampak indah dengan matahari jingganya tergantikan oleh pekatnya awan hitam.
Eris berdiri ditengah rel kereta tanpa mantel hujan, tanpa payung, seluruh pakaiannya basah kuyup sedikit menggigil menahan dingin.
Di Hadapannya berdiri seorang gadis memakai gaun kasual berwarna coklat.
Pakaiannya basah, rambutnya basah, dan dari sorot matanya seperti menyimpan kesedihan yang mendalam, seolah menggambarkan suasana hatinya saat ini.
Wajahnya tertunduk lesu, matanya sembab samar terlihat air mata mengalir di pipi bercampur dengan air hujan yang membasahinya.
“Eris, apapun yang terjadi aku tidak ingin kehilangan kamu” ucap Fatia
Bagaimana kisah lengkapnya?
Selamat membaca!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Toekidjo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berkunjung ke rumah paman
Eris berasal dari sebuah desa pelosok di kaki gunung slamet. Tepatnya di sebuah desa kecil didaerah kabupaten Brebes
Sebuah desa yang masih asri, pepohonan tumbuh dengan rindangnya di kanan kiri jalan yang masih berbatu dan belum teraspal.
Sedikit berjalan ke belakang rumah, sebuah tebing berdiri kokoh setinggi belasan meter, dibawah tebing hamparan hutan sepanjang mata memandang.
Sapuan angin seolah membawa terbang ringan saat berdiri di pinggir tebing dan memejamkan mata.
Eris tinggal seorang diri di sebuah rumah sederhana, karena kedua orang tuanya pergi merantau. Ditemani neneknya yang tinggal di rumah berbeda tapi masih dalam deret bangunan yang sama.
...****************...
Sabtu pagi, matahari sudah beranjak meninggi, sinarnya menerobos masuk melalui lubang diatas jendela kamar.
Memaksa Eris menarik selimut untuk menutupi matanya, kembali bersembunyi meringkuk dibalik selimut.
Tak lama berselang suara langkah kaki mendekat kearah pintu, terdengar ketukan
“tok-tok-tok, Eris bangun sudah siang” teriak nenek dari dari balik pintu.
“Iya nek” sembari membuka pintu, Eris melangkahkan kakinya menuju tempat duduk diruang tamu.
Nenek berjalan ke arah ruang belakang,“Itu sarapan sudah nenek siapkan, kamu buruan makan!”
“Iya, nek” sambil menahan kantuk Eris mengucek matanya, mulut terbuka lebar terdengar suara huammmm…
Berjalan ke ruang belakang, Eris ke kamar mandi mencuci muka, kemudian melangkah ke meja makan, membuka tudung nasi dan mulai melahap sarapanya.
“Hari ini kamu libur kerja kan, nanti kerumah paman Tasmun ya, anterin barang titipan bapakmu” tanya nenek sambil terus menyapu ruang belakang kearah ruang depan.
“Dimana barangnya, nek?” tanya Eris sembari merapikan tudung nasi dan beranjak ke tempat cuci piring.
Dengan cekatan Eris mulai mencuci piring kotor yang barusan digunakan.
Hal seperti ini sudah biasa Eris lakukan, mengingat dia hanya tinggal sendirian dirumah.
“Itu barangnya di kardus samping lemari” jawab nenek
Eris bergegas menuju tempat yang nenek tunjuk, dan mendapati barang yang disebutkan. Bertanya-tanya dalam hati,
“Barang apa ini, terbungkus rapi di dalam kardus, diikat satu melingkar tiga melintang, jika tidak salah tebak pasti ini bahan ramuan jamu, karena dari aromanya khas banget bau- bau tanaman obat gitu”
Paman Tasmun adalah rekan kerja orang tua Eris di perantauan, karena masih ada urusan paman Tasmun berangkatnya belakangan.
Pekerjaan orang tua Eris adalah pembuat jamu tradisional dari bahan tanaman obat yang didapat dari para petani didesa, tumbuh liar dihutan, jika ada kekurangan baru beli ditoko. Jamu-jamu tersebut dikemas dalam botol kemasan atau diminum langsung.
Eris sudah berada di depan pintu sambil memanggul kardus.
“Saya berangkat ke rumah paman ya nek,” kemudian melangkahkan kaki berjalan keluar rumah.
“Hati-hati dijalan, salam buat pamanmu” seru nenek
“Iya nek” jawab eris
Sepanjang perjalanan Eris hanya diam dan fokus di setiap langkahnya, sesekali tangannya bergantian kanan dan kiri memegangi kardus yang dipanggulnya.
Suasana kampung memang selalu sepi, karena kebanyakan penghuninya berada di ladang atau sawah di siang hari.
Letak rumah paman Tasmun agak jauh, berada di gundukan bukit sebelah. Jadi harus berjalan menuruni bukit, melewati beberapa petak persawahan, melewati rel kereta api, kemudian menyeberangi sungai.
Terlihat beberapa orang sedang sibuk di sawah, ada yang mencari rumput untuk pakan ternak, ada juga yang sedang sibuk bertani.
Saat melintasi rel kereta, Eris agak berhati-hati menengok kanan kiri untuk memastikan tidak ada kereta.
Masyarakat sekitar sudah memahami betul jadwal kereta api lewat, tiga kali dalam sehari yaitu pagi, sore dan malam hari. Karena di daerah pelosok, jadi penumpangnya tidak banyak, membuat jadwal kereta disesuaikan.
Walaupun sedikit bahaya tetapi tidak bisa dipungkiri jalur rel kereta ini sangat indah saat dipandang mata, besi sejajar sampai jauh di ujung meruncing menciptakan satu titik yang tidak dapat dijangkau oleh mata.
Kanan kirinya ditumbuhi tanaman yang seolah bergelayut ke arah dalam, menciptakan pemandangan yang sungguh indah dipandang, bak lorong yang lurus tak berujung.
Rel kereta api ini juga persis melintasi area diantara dua bukit yang seolah mengapitnya
Tanpa sadar Eris bergumam dalam hati
“Andai aku punya kekasih, suatu saat nanti aku pasti akan membawanya ke tempat ini”
Tersadar dari lamunan, Eris sedikit kaget karena persimpangan yang harusnya belok terlewat beberapa langkah, terpaksa dia harus memutar langkah dan kembali.
Keluar dari jalur kereta, menyusuri jalan setapak kemudian melewati jembatan kecil dari bambu.
Tampak di kejauhan rumah paman Tasmun sudah terlihat, Eris mempercepat langkahnya sembari mengatur nafas yang sudah sedikit ngos-ngosan dan berhenti tepat di teras, menurunkan kardus dari pundaknya perlahan, kemudian duduk bersandar tiang teras.
Waktu menunjukan hampir jam sebelas siang, terik sinar matahari seolah membakar kulit.
Sembari mengibaskan kerah bajunya, Eris kemudian beranjak dari duduknya, berjalan perlahan mendekati pintu dan mengetuknya.
“Tok-tok-tok, permisi, apakah ada orang” ketukan pertama belum ada respon dari pemilik rumah.
Eris mengulanginya untuk kedua kali
“tok-tok-tok, permisi paman Tasmun, ini Eris mau antar barang” seru eris sambil sedikit melongok melalui kaca jendela.
“Iya” suara seseorang menyahut dari arah dalam rumah, tidak lama kemudian “cetek” suara kunci pintu dibuka,
Keluarlah seorang gadis cantik, kira-kira seumuran dengan Eris.
“Eh mas Eris, maaf ya mas lama buka pintunya tadi dibelakang bantu ibu beres-beres dapur” seru Alfiah.
“Iya Al, ndak apa-apa” jawab Eris.
Alfiah adalah anak pertama paman Tasmun, orangnya cantik kulitnya putih mulus, rambutnya lurus hitam lebat, badanya sedikit bongsor cenderung ke gemuk tapi masih dalam batas wajar.
“Taruh di dekat meja saja mas kardusnya” seru Alfiah, membuyarkan lamunan Eris yang sedari tadi terlihat diam mematung.
“Eh iya” jawab Eris dengan tergagap kemudian berjalan ke arah tempat yang ditunjuk Alfiah.
Selesai menaruh kardus Eris kemudian berjalan mendekati kursi tamu lalu mulai duduk disana.
“Paman kemana?” tanya Eris sambil menyandarkan punggungnya ke bahu kursi.
“Ayah sedang keluar, mungkin sebentar lagi pulang” jawab Alfiah sambil tersenyum
“aku buatkan minum dulu ya mas, mau minum apa?” Tanya Alfiah.
“Apa aja deh, yang penting gak ngerepotin” jawab Eris
Tidak berapa lama, Alfiah keluar dengan nampan berisi gelas agak tinggi, terlihat air berwarna hijau ada es batu di dalamnya, bulir-bulir air mulai merembes dari gelas seolah siap melepas dahaga tenggorokan siapa saja yang meminumnya.
“Silahkan diminum mas, adanya ini sirup marjan” Alfiah berkata sambil tersenyum, lebih ke arah menahan tawa sebenarnya
“Apa sebenarnya yang salah dengan diriku, apa aku salah pakai baju atau apa”, bisik Eris dalam hati
“Kenapa kamu sepertinya ingin tertawa al, apakah ada yang salah denganku?” tanya Eris
“Nggak ada mas, cuman ya itu mas Eris matanya gak lepas melototi minuman yang aku bawa ini, sampai-sampe menelan ludah gitu” jawab Alfiah
“Hahaha” Eris spontan tertawa
“Maaf-maaf, cuacanya panas banget soalnya” ucap Eris
Alfiah yang memang sudah menebak apa yang sedang Eris rasakan dan bersikap biasa aja.
“Silahkan diminum mas” Alfiah berkata sembari menyodorkan gelas minuman
“Iya terima kasih” dengan secepat kilat Eris meraih gelas, kemudian meminumnya teguk dan teguk lagi
“glek-glek-glek, ahhhh… mantab” menyisakan sedikit didalam gelas dan hampir habis.
“Haus ya mas?” goda Alfiah sambil tersenyum menutupi mulutnya dengan tangan
“Hehe, iya” Eris menjawab sembari kembali bersandar di kursi.