Ketukan palu dari hakim ketua, mengakhiri biduk rumah tangga Nirma bersama Yasir Huda.
Jalinan kasih yang dimulai dengan cara tidak benar itu, akhirnya kandas juga ... setelah Nirma dikhianati saat dirinya tengah berbadan dua.
Nirma memutuskan untuk berjuang seorang diri, demi masa depannya bersama sang buah hati yang terlahir tidak sempurna.
Wanita pendosa itu berusaha memantaskan diri agar bisa segera kembali ke kampung halaman berkumpul bersama Ibu serta kakaknya.
Namun, cobaan datang silih berganti, berhasil memporak-porandakan kehidupannya, membuatnya terombang-ambing dalam lautan kebimbangan.
Sampai di mana sosok Juragan Byakta Nugraha, berulangkali menawarkan pernikahan Simbiosis Mutualisme, agar dirinya bisa merasakan menjadi seorang Ayah, ia divonis sulit memiliki keturunan.
Mana yang akan menang? Keteguhan pendirian Nirma, atau ambisi tersembunyi Juragan Byakta Nugraha ...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 35
“Nirma! Di mana kau?!” begitu turun dari mobil, Meutia langsung berteriak kencang.
Guk!
Guk!
Anggun menyalak tak kalah garang, sampai tali kekangnya tertarik kuat kala memberontak ingin dilepaskan.
“Guk … guk! Cuma segitu bisa mu? Aku pun lebih pintar daripada kau!” Meutia membuka sandal yang ia kenakan, mengacungkan pada Anjing mengenakan rok tutu.
“Menyalak lah kau! Ayo cepat lebih keras lagi suaramu tu! Biar ku tapuk sandal muncung jelek kau itu!”
Guk!
Guk!
Anggun tidak gentar, suaranya lebih melengking dari sebelumnya, kakinya ia hentak-hentakan dengan lidah menjulur, tubuh memutar-mutar.
“Berani betul kau ejek aku ya jelek! Dasar Anjing jadi-jadian! Dah macam Banci saja kau itu. Badan kudisan pun percaya diri mengenakan pakaian ala biduan kampung!” Meutia yang sudah terlanjur emosi, memukul sandalnya di lantai paving blok.
Giren yang tadi terkejut bukan kepalang, sampai menyemburkan kopinya, kini mulai sadarkan diri, ia melangkah cepat mencoba menyelamatkan mental anaknya.
“Kakak ini tak elok betul lah. Dah tahu berhadapan dengan binatang, mengapa tampil lebih garang? Harusnya mengalah lah, biar dia tenang dan tak menyalak berkepanjangan!”
Meutia kembali mengenakan sandalnya, ia berkacak pinggang. “Mengapa aku harus mengalah? Jelas-jelas dia yang salah! Kau ini pasti Induk tu Anjing banci ‘kan? Ajari anakmu tu agar lebih manusiawi!”
“Dia hewan Kak, mana mungkin bisa disamakan seperti manusia?” Giren tidak mempedulikan Anggun yang kepalanya mengelus-elus betisnya.
Meutia bersedekap tangan, melotot kan matanya. “Itu bukan urusanku, tapi tugasmu! Dasar Abang-abang Tuyul!”
“Alamak, baru kali ini ada manusia macam dia. Lebih mengerikan daripada hantu yang pernah kutemui di jembatan.” Giren bergidik ngeri, bulu kuduknya meremang, menatap sosok berpakaian syar'i yang berjalan ke teras rumah sang tuan.
“Nak, lain kali bila kau bertemu dengannya, langsung bersembunyi daripada tekanan batin nantinya!” Giren mengelus kepala Anggun yang mengenakan bando berwarna kuning, senada dengan pakaiannya.
“Nirma keluar kau! Jangan sampai ku rampok guci keramik antik ini!”
“Meutia! Kita ini bertamu, tak elok kau berlagak macam Preman!” Wahyuni menarik lengan adiknya.
“Kau macam tak tahu adikmu saja Yun. Malah lebih ganas dia daripada Bandit kota kecamatan.” Dhien meletakkan dua kotak besar yang ia jinjing di atas lantai.
“Nah itu kak Dhien paham. Ini jua karena kalian yang telah menipuku!” geram Meutia, netranya mencari keberadaan sahabatnya.
“Mana ada kami menipu mu, Tia. Kau saja yang sibuk tak menentu.” Nirma keluar dari tempat persembunyiannya, mendekati para sahabatnya.
“Sini kau!” Meutia mengejar Nirma yang berlari mengelilingi sofa, bukan si Kancil banyak akal namanya bila tidak bisa mengelabui. Ibu dari Intan itu menaikkan sedikit gamisnya, sampai terlihat celana panjang sebagai dalaman. Ia menaiki sofa dan melompat turun menerkam Nirma. “Kena kau!”
“Meutia ampun!” Nirma menggeliat bak cacing kepanasan, perutnya digelitik tak berkesudahan, bokongnya dipukul sedikit keras.
Dhien dan Wahyuni hanya geleng-geleng kepala saja, mereka memilih duduk di sofa walaupun belum dipersilahkan.
“Kak, mau minum apa?” Wulan bertanya kepada para tamu yang datang.
“Kak, ada mentimun tak? Kalau ada tolong diserut, terus dicampur biji selasih, ditambahi sirup, tak ketinggalan es batu. Sebab sudah haus kali awak ini!” Meutia beranjak dari atas lutut Nirma.
“Mentimun nya ada Kak, tapi_”
“Terima kasih banyak ya Kak. Untuk camilannya, cukup bakwan goreng, sukun goreng, keripik singkong, dah itu saja cukup Kak, tak perlu banyak-banyak,” ucapnya tanpa melihat ekspresi Wulan yang melongo, dikarenakan Meutia sibuk membenahi penampilannya.
“Tak usah didengar si Paok itu Kak. Sediakan apa yang ada saja!” tukas Dhien.
Wulan bergegas ke belakang sebelum dirinya stres berkepanjangan menghadapi tamu jadi-jadian.
Meutia menatap sengit Dhien. “Kakak ini tak seru lah, kita kan hendak berghibah. Jadi perlu asupan biar bertenaga.”
Nirma tidak mempedulikan Meutia, ia menyalami Dhien dan Wahyuni, lalu duduk di tengah-tengah mereka. “Apa Kakak mau menginap?”
“Dhien yang menginap, kalau aku dan Tia kembali pulang. Sebab Intan dan Siron sedang gabagen (campak),” beritahu Wahyuni.
“Sejak kapan Kak?”
“Baru kemarin, mungkin sewaktu kau ijab kabul, mereka tak bisa hadir, tak mengapa ‘kan?” Wahyu mengusap lengan Nirma.
“Tak apa Kak, lebih penting kesehatan mereka. Semoga Siron dan Intan cepat sembuh,” imbuhnya.
“Aamiin!” seru mereka serempak.
"Ayek, Danang dan Rizal, mengapa mereka tak ada mampir kesini, Kak?" Nirma menanyakan trio Cebol, yang belum ada singgah sepulang sekolah.
"Mereka bertiga terkena cacar air, sehingga tak masuk sekolah," ujar Dhien.
“Assalamualaikum.” Nur Amala, Agam Siddiq, Dzikri Ramadhan, kedua pengasuh menggendong si kembar, terlihat memasuki hunian besar juragan Byakta.
“Walaikumsalam.”
Nirma bergegas berdiri, melangkah mengikis jarak, langsung saja mendekap sang kakak. “Udah Ima tungguin sedari pagi loo, Mbak.”
Mala membalas pelukan itu. “Maaf ya Dek, baru bisa sekarang. Soalnya banyak yang mau di urus dulu.”
Kemudian Nirma menangkupkan tangan kepada abang iparnya, lalu menoleh pada sosok dewasa berwajah teduh. “Bang Dzikri kemana saja? Mengapa baru kelihatan?”
“Sibuk mengejar si durian runtuh dia, Nir!” Meutia yang menjawab.
“Jangan kau dengarkan dia, Nirma! Dirinya merasa dikhianati sebab tak kalian beri tahu, sedari kemarin menggerutu tak jelas nya itu. Saya sedang ada pekerjaan di pelosok kota kecamatan, jadi sering hilir mudik kesana kemari.” Dzikri membalas salam Nirma dengan menangkupkan tangannya.
Nirma mengangguk, tatapannya begitu heran melihat dua orang pemuda masuk dengan membawa pakaian terbungkus plastik rapi.
Dirinya mendekati sang kakak yang ikutan duduk dengan lainnya, sedangkan abang ipar dan Dzikri memilih ke halaman belakang, di mana juragan Byakta sedang bermain bersama Kamal.
Si kembar di bawa masuk ke kamar tamu bersama pengasuh mereka.
Mak Syam dan Wak Sarmi, sedang belanja di pajak (pasar) kota kecamatan yang dekat dengan hunian juragan Byakta.
“Mbak, siapa mereka? Terus yang di bawa itu apa?”
Mala menepuk busa sofa. “Sini Dek!”
Begitu Nirma telah duduk sempurna, Mala menggenggam jemari lentik adiknya. “Itu baju pengantin mu dan ayahnya Kamal. Seandainya saja Mbak mengetahuinya lebih awal, pasti akan membuatkan khusus untuk kalian. Tapi, dikarenakan mendadak. Mbak memilihkan di butik Tante Sania, guru sekaligus teman bisnis.”
“Betulkah Mbak?” Nirma ingin memastikan lagi, sudut matanya telah berembun, ia begitu kagum kepada kakaknya .
Selain membuka usaha catering, Nur Amala juga seorang desainer busana muslimah. Dia juga menjalankan usaha dekorasi pesta milik sang suami.
Wanita berkerudung hitam lebar itu mengangguk. “Iya. Anggap saja sebagai penebus momen yang dulu kami tak dilibatkan padahal ingin sekali ikut merasakan keseruannya.”
Hiks hiks.
“Maaf Mbak. Maaf atas tindakan kurang ajar Nirma dulu, menikah tanpa meminta restu, tahu-tahu mengabari sudah hamil duluan.” Nirma memeluk erat kakaknya.
“Dek … Mbak berucap seperti ini bukan berniat membuatmu kembali merasa bersalah, tapi hanya ingin mengungkapkan bila kali ini, Mbak, Mamak, dan para sahabat kita, betulan bersuka cita menyambut hari bahagia mu. Kami ingin memberikan yang terbaik, meskipun acaranya sederhana, terpenting penuh makna.” Mala membingkai wajah Nirma, mengusap buliran air mata di pipi berkulit lembut adiknya.
“Terima kasih, Mbak.” Kemudian dia menoleh ke arah para sahabatnya yang duduk di sofa panjang. “Terima kasih, Kak Dhien, Kak Wahyuni, Meutia.”
“Apa kau telah siap untuk lusa, Nirma?” Wahyuni bertanya seraya menatap lembut.
Dhien pun ikut bersuara. “Bersediakah kau melepas semua kenangan masa lalu, membakarnya menjadi abu, agar langkahmu bersama dengan juragan Byakta tak dihantui bayang-bayang mantanmu itu, Nirma ...?”
.
.
Bersambung.
Apakah akan ada huru-hara rumah tangga lagi?
Juragan siap-siap, ya😞😄
dwit banyak anak banyak dongggg
kena mental langsung si Asil!
sebab,Mak TKW ni bln depan sudah finish kontrak kerja,mau pulkam sudah.
mas By,sebagai calon mantu di masa depan boleh nggak sy melamar kerja jadi asisten rumah tangga atau baby sister Nya Kamal.
karna pulang kampung nanti susah mau cari kerja..😄
sok suci
Bakalan pening kepala atas/bawah ini mah🤣🤣🤣