Murni, seorang biarawati yang sedang cuti karena ingin menyembuhkan jiwa setelah terganggu mimpi-mimpi buruk yang terus berdatangan, menerima pesan aneh di ponselnya -suara paniknya sendiri yang membuatnya penasaran. Ia mengikuti petunjuk yang membawanya ke sebuah warung makan tua yang hanya buka saat malam.
Di warung itu ia bertemu dengan Mahanta, seorang juru masak pendiam yang misterius. Namun warung itu bukan warung biasa. Pelanggannya adalah jiwa-jiwa yang belum bisa pergi, dan menu makanannya bisa menenangkan roh atau mengirimnya ke dalam kegelapan. Murni perlahan terseret dalam dunia antara hidup dan mati. Ia mulai melihat masa lalu yang bukan miliknya. Meskipun Mahanta tampaknya menyimpan rahasia gelap tentang siapa dirinya dan siapa Murni sesungguhnya, pria itu bungkam. Sampai cinta yang semestinya dilarang oleh langit dan neraka merayap hadir dan mengungkapkan segalanya.
L'oubli (B. Perancis): keadaan tidak menyadari atau tidak sadar akan apa yang sedang terjadi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dela Tan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Season 1 ; Bab 5 – Wajah-Wajah Tanpa Warna
Langit malam tak benar-benar gelap. Awan-awan bergelayut, laksana perut seorang wanita yang tengah hamil tua. Seolah menahan hujan yang enggan turun, menggantung muram di atas deretan bangunan tua.
Warung Murni berdiri seperti luka yang belum dijahit, remang dalam cahaya kuning lampu jalan yang sudah berkedip lelah.
Murni duduk sendiri di salah satu bangku kayu yang goyah. Di hadapannya, sepiring nasi goreng panas mengepulkan uap. Wanginya asing tapi menggoda, membangkitkan rasa seperti sesuatu yang pernah dikenalnya…
Di kehidupan lain? Mungkin. Ia tidak yakin.
Sejak menginjakkan kaki di warung ini, ia tak lagi merasa sebagai pribadi yang sama. Pribadi sederhana yang sedari kecil hanya memiliki satu keinginan: menjadi pengantin Tuhan, mengabdi sepenuhnya pada gereja. Ia tidak pernah memiliki minat selain itu. Tidak pada hal-hal duniawi, apalagi lawan jenis.
Namun, sejak pesan aneh yang membawanya ke tempat ini, warung dengan namanya. Bertemu juru masak misterius dengan daya tarik magis yang terus menerus membuatnya menyeret kaki ke sini, Murni merasa seolah ia pernah memiliki kehidupan lain.
Tapi bagaimana mungkin?
Sejak bayi ia tumbuh di biara. Bahkan orang tuanya pun ia tak pernah mengenalnya. Kepala biara menceritakan bahwa dirinya ditemukan di depan pintu biara. Tanpa nama, tanpa pengantar, tanpa keterangan atau petunjuk apa pun.
Ketika kepala biara pertama kali melihatnya, menurut pengakuannya, “Kau tampak sangat murni, meskipun kau terlihat seperti baru dilahirkan, matamu terbuka lebar, sangat jernih, menatapku dan membuatku jatuh cinta seketika. Itulah sebabnya kau diberi nama Murni.”
Kepala biara sudah seperti ibu baginya. Itu jika seperti itulah rasanya memiliki ibu.
Murni tumbuh di biara sejak bayi, hanya mengenal para biarawati lain, atau sesekali bertemu Romo. Kegiatannya hanya berdoa, berkebun, main musik di gereja, menjadi anggota paduan suara, merangkai bunga, memasak, menjenguk dan mendoakan umat yang sakit. Semua untuk melayani Tuhan. Semua persiapannya sebagai pengantin Tuhan.
Ia berpikir sampai uap yang mengepul dari nasi goreng telah lenyap, pasti sekarang nasi itu sudah tidak lagi panas. Tetapi tangannya belum juga menyentuh sendok yang tergeletak di samping piring.
Di kejauhan, Mahanta tampak masih sibuk di balik dapur, tak banyak bicara malam ini.
Murni mengedarkan pandangan ke sekitar, memperhatikan piring-piring yang datang dan pergi. Pelanggan-pelanggan warung itu semakin aneh.
Seorang pria tua dengan mata yang tak pernah berkedip duduk memunggungi tembok, hanya menatap meja. Sepasang perempuan muda berbaju putih duduk diam, tak pernah menyentuh makanan. Seorang anak kecil masuk dengan langkah pelan dan tersenyum ke arah Murni, senyum yang lebih menyerupai luka terbuka.
Dan satu hal yang paling membuat bulu kuduk Murni berdiri: tidak ada satu pun dari mereka yang bersuara.
Bahkan ketika sendok bersentuhan dengan piring, suara itu seperti diserap udara malam.
“Siapa mereka?” bisik Murni, setengah bertanya pada dirinya sendiri, setengah lagi berharap Mahanta akan mendengar.
Mahanta tidak menoleh, tetapi suaranya terdengar dari balik asap penggorengan. “Yang belum selesai. Yang tersesat.”
Rupanya lelaki itu mendengar, meskipun dimana dia berada cukup berjarak.
“Pelanggan?”
“Bukan. Penumpang.”
Murni mengerutkan kening. “Jadi selain pelanggan ada yang disebut penumpang? Penumpang apa?”
“Yang gagal turun di stasiun terakhir,” jawab Mahanta. Suaranya setenang air, tetapi setiap kata seolah memukul bagian dalam dada Murni dengan hantaman gelombang. Ia merasa seolah duduk di pangkuan kenyataan yang tak sepenuhnya nyata. Oleng, tidak sepenuhnya mengerti.
Mungkin otaknya tumpul. Atau ini semua terlalu tinggi untuk dicerna nalarnya.
Murni akhirnya menyentuh sendok. Makanan itu terlalu sunyi untuk dibiarkan. Ia menyendokkan nasi ke mulut, dan pada saat itu juga, semua suara kembali.
Dentang sendok. Napasnya sendiri. Suara desisan uap dari wajan Mahanta. Bahkan dengusan pelan dari pelanggan-pelanggan bisu itu.
Ia mendongak. Warung itu kembali hidup.
Namun, bukan itu yang membuat tangannya gemetar.
Di seberang meja, duduk dirinya sendiri. Atau seseorang, atau sesuatu, yang menyerupainya. Persis seperti dirinya. Murni seolah sedang memandang cermin.
Hanya saja…
Wajahnya pucat. Sorot mata hampa. Mulutnya terbuka sedikit, seperti hendak berkata sesuatu tapi tak pernah menyelesaikannya.
Murni menjatuhkan sendok ke meja. Bunyi logam bertemu kayu terdengar bagai dentang lonceng gereja tua. Sosok itu tak bereaksi.
Dengan napas tercekat, Murni berdiri dan menjauh. Satu langkah, dua langkah. Tapi meja tetap di depannya. Kursi itu tetap terisi oleh sosok yang memiliki wajahnya.
Mahanta keluar dari dapur, membawa semangkuk sup beruap dengan daun kemangi mengambang di atasnya. Dia berjalan menuju sosok itu, dan tanpa berkata apa pun, meletakkan mangkuk itu di hadapannya.
Sosok itu —bayangannya —menyentuh mangkuk, mengangkat sendok, dan mulai makan. Diam. Tenang.
Murni berbalik pada Mahanta dengan napas tersengal-sengal.
“Itu... aku.”
Mahanta menatapnya lama. “Kau belum selesai.”
“Apa… maksudmu?” Bahkan kata-katanya patah-patah.
Mahanta mendekat, suaranya rendah. “Tidak semua yang datang ke sini bisa pergi. Sebagian hanya datang untuk melihat... apa yang telah mereka tinggalkan.”
“Ini mimpi?”
Mahanta menggeleng. “Kalau ini mimpi, maka kita semua tidur bersama dosa-dosa kita.”
Pelanggan-pelanggan lain mulai bangkit satu per satu. Mereka meninggalkan meja dengan tenang, melangkah ke luar warung tanpa menoleh, tubuh mereka menembus bayang-bayang warung dan menghilang ke dalam kabut malam.
Tinggal Murni, Mahanta, dan... dirinya sendiri.
Murni mencoba mendekat ke sosok itu. Napasnya menggantung. Namun, saat ia menyentuh bahu sosok itu… semuanya menghilang.
Meja kosong. Mangkuk sup lenyap. Bahkan Mahanta pun berdiri beberapa meter jauhnya, seakan-akan tak pernah berada di dekatnya.
Ia menoleh cepat. “Apa yang barusan aku lihat?”
Mahanta tak menjawab. Hanya memunggunginya, mencuci piring tanpa air. Busanya merah seperti darah yang terlalu encer.
“Aku… pernah mati? Apakah aku pernah mati?” Murni menahan napas, menunggu jawaban Mahanta dengan tegang. Bahkan kedua tangannya mengepal tanpa ia sadari.
Lelaki itu berhenti.
Dan untuk pertama kalinya, Mahanta menatap Murni langsung. Dalam cahaya lampu yang meredup, Murni menyadari matanya tak punya bayangan.
“Belum,” ujarnya. “Tapi kau sedang menuju ke sana waktu pertama kali dipanggil.”
Murni membeku. Tangannya terangkat ke kepalanya yang terasa berdenyut-denyut. “Aku… aku tidak mengerti. Tolong jelaskan dengan bahasa yang lebih sederhana.”
Mahanta menggeleng, suaranya lirih. “Aku tidak bisa. Kau harus menemukan jawabannya sendiri.”
Karya kakak semua top /Good//Good//Good/
kesedihan ,bebannya pindah ke murni ?
🤔
apakah jiwa nya blm kembali ke asal
masih gentayangan
tapi kebanyakan semakin di larang semakin penasaran