Maelon Herlambang - Pria, 16 Tahun.
Dibesarkan di lapisan pertama, panti asuhan Gema Harapan, kota Teralis. Di sekeliling kota ditutupi banyak tembok besar untuk mencegah monster. Maelon dikhianati oleh teman yang dia lindungi, Alaya. Sekarang dia dibuang dari kota itu dan menjadi umpan monster, Apakah Maelon bisa bertahan hidup didunia yang brutal dan tidak mengenal ampun ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GrayDarkness, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35: Tugas Patroli
“Besok pagi,” ujar Roy, sambil menoleh setengah ke arah Maelon dan Vivi, suaranya berat namun tak terburu-buru, “aku ingin kalian berdua melakukan patroli ke sekitar batas desa. Anggap ini sebagai ujian pertama kalian untuk membaca keadaan... bukan hanya dengan mata, tapi dengan intuisi seorang pengguna Doctrina.”
Ia melangkah kembali ke kursinya, dan duduk perlahan, tubuhnya seperti bayangan yang menyesap kegelapan di sudut ruangan. “Untuk malam ini, beristirahatlah. Jangan abaikan satu hal penting: terus serap batu inti jiwa Doctrina. Kekuatan kalian harus tumbuh, perlahan tapi stabil. Dunia di luar pagar desa takkan mengampuni kelambanan.”
Maelon dan Vivi sama-sama mengangguk, tak lagi membalas dengan kata. Ucapan Roy selalu terasa seperti ukiran pada batu nisan—berat, tak bisa ditawar, dan selalu menyimpan makna lebih dari sekadar perintah. Mereka berbalik, keluar dari ruang tengah yang kini tenggelam dalam senyap, hanya menyisakan cahaya minyak yang mengerjap seperti mata yang tak mau tertutup.
Lorong menuju kamar mereka pendek dan gelap, tapi langkah Maelon terasa lebih lambat dari biasanya. Tubuhnya letih, tapi pikirannya masih seperti nyala bara yang belum padam. Di kamar yang sempit dan tenang, ia menutup pintu perlahan, menelusuri setiap bunyi engsel seperti mengunci dunia di luar dirinya.
Meja kecil di pojok kamar menyambutnya seperti biasa—di atasnya, tergeletak beberapa batu inti jiwa Doctrina tingkat satu. Ia mengambil satu, menggenggamnya perlahan, dan duduk bersila di tengah ruangan. Cahaya dari celah papan kayu dinding merembes tipis, menciptakan garis cahaya lembut di lantai tanah yang kering.
Tarikan napas Maelon panjang, dan saat ia menghembuskannya, energi Aetheron di dalam dirinya beresonansi dengan batu di tangannya. Cahaya samar membalut permukaan batu, dan aliran kekuatan yang halus mulai meresap ke dalam nadinya. Tapi ia merasakannya—sesuatu tak sama. Seolah kekuatan itu tersangkut di lapisan tubuhnya, tidak terserap seutuhnya. Alirannya lambat, melemah, nyaris hampa.
Ia membuka mata perlahan, menatap batu yang mulai kehilangan kilaunya. “Tidak cukup…” bisiknya. Ada rasa ganjil yang tidak ia pahami sepenuhnya. Barangkali tubuhnya sudah mulai menuntut sumber kekuatan yang lebih besar—sesuatu yang sesuai dengan posisinya di Lapsus Drelm.
Dengan tangan sedikit gemetar, ia mengambil batu kedua. Rasanya seperti melawan batas dalam dirinya sendiri—dorongan untuk menunda, untuk beristirahat, menggoda seperti pelukan lembut yang mematikan. Tapi Maelon tak pernah pandai bersahabat dengan kelemahan. Ia memejamkan mata, meletakkan batu kedua di telapak yang masih terasa hangat, dan mulai lagi.
Kali ini, dorongan energi terasa lebih mantap. Dua batu bekerja serentak, memompa kekuatan ke jaringan tubuhnya yang haus. Urat-urat Aetheron di dalam dirinya menerima aliran itu seperti akar menemukan air dalam tanah yang gersang. Napasnya memburu perlahan, tapi tak ada rasa sakit—hanya kepadatan, semacam tekanan dari dalam yang menyatu dengan setiap denyut nadi.
Butuh waktu lama, mungkin setengah jam atau lebih. Tapi ketika proses itu selesai, Maelon membuka matanya, tubuhnya berkeringat dingin namun matanya lebih tenang. Tak ada terobosan besar malam ini, tapi ada kemantapan, fondasi baru yang mulai mengeras di dalam dirinya. Ia menatap tangannya sendiri, mengatup dan membuka jemarinya. Masih dirinya… namun tidak sepenuhnya sama.
Ia merapikan batu yang tersisa, menyimpannya rapi, lalu beranjak ke tempat tidur—tempat di mana tubuh bisa terlelap tapi pikiran jarang sepenuhnya beristirahat. Ia menarik selimut, membiarkan malam menelannya perlahan. Di luar kamar, suara hutan malam samar-samar terdengar… gemerisik, sunyi, dan misterius. Dunia tidak pernah sepenuhnya tidur.
Dan dalam ruang senyap itulah, Maelon akhirnya memejamkan mata. Besok, dunia akan menuntut lebih. Tapi malam ini, ia membiarkan dirinya larut dalam gelap yang hening—di antara sisa tenaga dan harapan samar yang belum ia beri nama.
Pagi menyapa dengan sinar lembut yang menerobos celah-celah dedaunan, menyebar di atas tanah berembun dan dinding-dinding kayu desa yang telah mulai menggeliat dengan suara langkah, percikan air, dan deru lembut aktivitas. Maelon dan Vivi berjalan perlahan di jalur tanah yang mengitari batas dalam desa, mata mereka mengamati setiap sudut, tetapi langkah mereka tidak tergesa. Ini bukan sekadar patroli—ini adalah kesempatan untuk meresapi dunia kecil yang mencoba tetap hidup di tengah kehampaan yang luas dan mengancam.
Vivi melangkah setengah langkah di depan, membiarkan jarinya menyentuh anyaman rumput liar yang menjuntai di pagar bambu. Pandangannya tertuju pada sepasang wanita tua yang sedang menjemur rempah-rempah, seorang anak lelaki yang menarik gerobak kayu kecil, dan seorang pandai besi yang memanaskan logam dengan semangat yang tak berubah sejak pagi pertama ia melihatnya.
“Melihat mereka seperti ini,” ujar Vivi tiba-tiba, suaranya pelan, hampir tenggelam oleh desir angin pagi, “rasanya... sangat menenangkan.”
Maelon menoleh sedikit, memandang wajah Vivi dari samping. “Apa maksudmu?” tanyanya, bukan karena tidak mengerti, tetapi karena ingin mendengar apa yang sebenarnya ia rasakan.
Vivi menarik napas pelan, memejamkan matanya sejenak seolah membiarkan udara yang dihirupnya mengendap di dada. “Meskipun dunia kita seperti ini... tanpa arah, tanpa harapan, tanpa dewa atau cahaya... orang-orang di sini tidak peduli. Mereka tetap hidup. Mereka tetap bergerak. Seolah… seolah kehancuran bukan sesuatu yang perlu ditangisi, tapi hanya satu dari banyak alasan untuk tetap bangun di pagi hari.”
Kata-katanya menusuk diam-diam ke dalam benak Maelon. Ia memandang sekeliling—melihat pria paruh baya yang membelah kayu, seorang perempuan muda yang memintal benang sambil menyenandungkan lagu kecil yang entah ditujukan untuk siapa. Maelon tidak menjawab langsung, tapi ia mengangguk pelan. Barulah saat itu ia memahami makna di balik keteguhan diam yang menyelimuti desa ini.
Vivi menoleh kepadanya, matanya masih menyimpan keingintahuan samar. “Bolehkah aku tahu… tentang masa lalumu?” tanyanya, suara itu tak memaksa, tapi terasa tulus, seperti air sungai yang mengalir lambat dan dalam.
Maelon diam sejenak. Langkahnya melambat, dan ia memandang jalan tanah di bawah kakinya seolah jawabannya tertulis di sana. Lalu, dengan suara rendah dan tenang, ia mulai berbicara.
“Aku dulu tinggal di panti asuhan. Namanya… Gema Harapan. Letaknya di kota Teralis. Kau tahu kota itu? Tersembunyi di balik tembok tinggi, seperti kurungan yang dibangun untuk membungkam apa pun yang tidak ingin dunia lihat.”
Vivi mengangguk perlahan. “Aku pernah mendengar… tempat itu selalu terlihat rapih dari luar.”
Maelon tersenyum samar, tetapi tidak ada kebahagiaan di wajahnya. “Rapih... seperti kain kafan yang baru dijahit. Di dalamnya... semua anak diperlakukan seperti beban yang harus segera dibuang. Tidak ada kasih, tidak ada kebebasan. Kami hanya angka. Dan terkadang, angka itu menghilang. Anak-anak akan... lenyap, dan para petugas akan berkata mereka diadopsi. Tapi tak ada jejak, tak ada kabar. Hanya ruang kosong yang tidak pernah ditanyakan lagi.”
Suara Maelon menegang di akhir kalimatnya, dan tangan kirinya mengepal tanpa ia sadari. Wajahnya menunduk sedikit, namun matanya tidak memudar.
Vivi menatapnya dengan sorot yang berubah. Tidak ada rasa kasihan di sana—hanya pemahaman yang sunyi, seperti seseorang yang mengenali rasa lapar di mata orang lain karena ia pernah merasakannya juga.
“Mungkinkah… mereka bukan diadopsi?” tanya Vivi, perlahan. “Mungkinkah… mereka dijadikan bahan persembahan? Atau eksperimen? Kita tahu para petinggi menyembunyikan banyak hal.”
Maelon terdiam. Ia tak langsung menjawab. Tapi di dalam pikirannya, kepingan ingatan yang dulu tak terhubung perlahan mulai saling menempel. Tatapan penuh teror dari anak yang menghilang dua hari setelah dibawa masuk ke ruang bawah tanah. Bau logam tajam yang tak pernah dibersihkan sempurna dari dinding. Suara-suara samar yang teredam di malam hari.
Sekarang, semuanya masuk akal. Dan kemarahan yang dulu hanya bara kecil di dalam dada, kini mulai menyulut diri.
“Mungkin,” kata Maelon akhirnya, suaranya rendah dan dalam. “Dan kalau itu benar... mereka akan menebusnya. Aku tidak tahu kapan. Tapi akan ada waktunya.”
Vivi menatapnya lama, lalu mengalihkan pandangan kembali ke desa, ke kehidupan sederhana yang berjalan seperti arloji tua. “Kita tidak bisa memperbaiki masa lalu, Maelon. Tapi kita bisa membakar jalan bagi mereka yang masih tertinggal di dalamnya.”
Maelon mengangguk, dan mereka melanjutkan langkah mereka menyusuri batas desa. Angin pagi membawa aroma tanah dan kayu, dan cahaya matahari mulai mengeras di ujung timur. Hari baru dimulai, tapi di balik ketenangannya, luka lama mulai terbuka, dan tekad yang lebih gelap mulai terbentuk.